Kebijakan BKK/NKK : Terkorupsinya Suara Mahasiswa

Claresta Dhyhan Ediganiputri
3 min readSep 14, 2018

--

Sejak masa perjuangan kemerdekaan, mahasiswa digambarkan sebagai agen perubah bangsa. Golongan muda yang sanggup mengguncang dunia, jika dikutip dari perkataan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno. Mahasiswa digambarkan sebagai golongan yang berambisi tinggi, dengan semangat dan energi yang meluap-luap dalam dada.

Seperti jika kita menengok ke belakang, kita bisa lihat berbagai gerakan mahasiswa yang bahkan dapat memberi corak dalam sejarahperjuangan kemerdekaan Indonesia, masa kemerdekaan Indonesia, dan masa pasca kemerdekaan Indonesia. Kekuatan mahasiswa begitu besar, sampai ada pihak yang berkeinginan untuk menekan lingkup pergerakan mahasiswa di ranah politik.

Hingga pada masa Orde Baru, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan Kabinet Pembangunan III (1978–1983), mengeluarkan kebijakan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, atau biasa disebut dengan NKK/BKK.

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No. 0156/U/1978 dan Surat Keputusan No. 037/U/1979, aktivitas politik dan organisasi mahasiswa di kampus dihilangkan. Kampus menjadi kawasan steril dari aktivitas politik. Bagi mereka yang nekat untuk terus melakukan pergerakan di ranah politik, maka akan mendapat sanksi, salah satunya di pecat dari status kemahasiswaannya di kampus tersebut.

Meski dipercaya dapat mematikan daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah, tujuan dari kebijakan ini adalah mengembalikan fungsi utama kampus sebagai lembaga keilmuan yang berfokus pada pengembangan ilmu dan teknologi. Mahasiswa dituntut untuk tidak melakukan tindakan yang dianggap sebagai praktik politik di lingkungan kampus.

Berdasarkan hasil dari survei yang dilakukan, sebagian besar dari responden yang merupakan mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia menolak kebijakan di atas.

“Karena organisasi kampus merupakan salah satu wadah tempat mahasiswa berpendapat tentang hal apapun, termasuk politik didalamnya. Selain itu dengan adanya organisasi kampus, mahasiswa menjadi lebih aktif, mandiri, percaya diri, sudah mampu mengembangan kemampuan konsep berpikir dalam berbagai aspek kehidupan. Jika dihapuskan maka tidak ada lagi wadah untuk berkembang bagi mahasiswa diluar jam kuliah,” jawab salah seorang responden yang menolak kebijakan tersebut.

Responden yang berpendapat sama juga menjawab, “Menurut saya dengan menghapus BEM akan sama saja dengan menghilangkan hak para mahasiswa untuk berkumpul dan berpendapat,” dan juga pendapat yang mengatakan, “Sedih sih, serasa dibungkam saja pendapatnya, mahasiswa tuh harus pro aktif juga, boleh ikut politik tapi tidak boleh ditunggangi oleh siapa-siapa, terutama partai.”

Namun bukan berarti para responden yang memilih opsi “Iya,” setuju, tidak memiliki alasan dalam menentukan jawabannya.

“Perguruan tinggi seharusnya fokus menjadi tempat menuntut ilmu dan sebagai wadah penelitian dan pengabdian pada masyarakat tanpa harus memihak suatu kelompok politik,” jawab seorang responden yang memilih opsi “Iya.”

Kemudian ditambah dengan jawaban responden lain yang beropini sama, “Kegiatan berbau politik di kampus malah membuat perhatian civitas akademika selalu terpancing — semakin tidak menghiraukan aktivitas akademiknya dan malah menganggap politik lebih penting dan lebih menguntungkan.”

Kebijakan NKK/BKK dinilai sebagai pelanggaran Hak Manusia untuk berkumpul dan berpendapat. Ditambah, kebijakan ini diberlakukan kepada agen perubah bangsa, mahasiswa Indonesia yang diharapkan dapat memberikan kontribusi demi Indonesia yang lebih baik.

Dicabutnya kebijakan ini menandakan suara mahasiswa dalam ranah politik dapat tumbuh dan berkembang kembali. Mahasiswa sebagai generasi penerus kepemimpinan bangsa patut berpikir kritis bukan hanya dalam masalah akademik dan pengembangan teknologi, namun juga dalam lingkup sosial dan politik.

--

--