Mie Ayam Malam

dii☁
6 min readSep 30, 2023

—Eva.

"Va, beneran nggak apa-apa kalau gue makan di sini?" Tanya Mas Handian setelah satu porsi mie ayamnya berhasil Ia aduk sempurna. "Kalau bikin nggak nyaman bilang, ya? Nanti gue ke mobil, terus lo di depan pagar,"

"Ngapain di depan pagar?”

"Makan mie ayam.”

Astaga.

"Nggak apa-apa, Mas, di dalam juga ada temen gue yang mau nginep," kata gue seraya membuka tutup botol dengan susah payah sampai akhirnya Mas Handian ikut membantu membukanya padahal gue tidak memintanya.

Salah tingkah boleh nggak, ya?

"Raikal udah tidur?"

"Belum," gue menggeleng samar. "Dia kalau udah sama Ara, anteng banget. Jarang mau diganggu sama gue,"

"Dia tahu gue ke sini?"

"Tahu, tapi cuma titip salam aja dan katanya dia udah kenyang.”

"Hahhahaha, padahal gue belum tanya dia mau mie ayam atau enggak,"

Awalnya, Mas Handian bertujuan untuk mengunjungi kedai mie ayam dekat rumah gue, tapi karena rasa magernya muncul gitu aja, akhirnya dia meminta izin untuk makan di rumah gue dan gue pun mengizinkan.

Sebetulnya agak nggak nyangka juga sih, kalau bos gue ini betul-betul datang ke sini hanya demi mie ayam. Gue tahu kalau Mas Handian memang penggemar mie ayam, tapi senangnya yang suka dadakan gitu, kadang bikin gue kaget dan sedikit kewalahan.

Mas Handian dan segala tingkah randomnya, gue semakin percaya kalau ada yang bilang dia belum pernah menikah.

Duda apaan yang tingkahnya kayak begini?

"Enak nggak?" Tanya gue sedikit penasaran, karena sejak suapan pertama, si pecinta mie ayam ini belum berkata apa-apa.

"Enak," balasnya cepat. "Enak yang belum sampai enak banget, tapi bakalan jadi tipe mie ayam yang bakal gue cari kalau lagi kepingin makan mie ayam. Mienya kecil-kecil dan kenyal, gue suka. Kematangannya juga pas, enggak kematangan dan enggak setengah matang. Cuma ayamnya kebanyakkan daging, coba dikasih sedikit tulang-tulangan, kayaknya bisa tambah enak," pungkasnya yang berhasil membuat gue mengerjap dan menghentikan aktivitas makan gue.

Gue bertanya satu kalimat, jawabannya bisa satu paragraf.

Jadi curiga, kalau nantinya gue ungkapin perasaan duluan, dibalasnya malah sekadar thank you.

Hahahahahahaha.

Melihat Mas Handian makan, bikin siapa aja yang lihat kayaknya mau ikutan makan juga. Kalau kata Ijah yang ada keturunan sunda, lihat Mas Handian makan itu bikin kabita, alias bikin kepingin.

"Va,"

"Ya?"

"Habis ini cari kopi, mau nggak?"

"Boleh, tapi gue izin dulu ke Raikal, ya?"

Mas Han mengangguk pelan.

"Sama kalau bisa jangan lama-lama, nggak enak ninggalin temen gue sama Raikal,"

"Iya santai, gue butuh yang pahit abis makan mie ayam,"

"Oke!”

Mas Handian kembali melanjutkan makan malamnya dengan sesekali menegur gue untuk segera menghabiskan makanan gue. Gue hanya mengangguk patuh seperti Raikal yang langsung menghabiskan makanannya ketika gue sudah memanggil namanya sebanyak dua kali.

Usai mendapatkan kopi yang dimau, Mas Handian benar-benar langsung mengajak gue untuk pulang, sesuai permintaan gue sebelumnya agar tidak terlalu lama. Meskipun Raikal ada Ara yang menemani, tapi terlalu lama meninggalkan Rai hanya dengan Ara, perasaan gue sedikit tidak tenang. Karena bagaimanapun juga, gue belum pernah meninggalkan Raikal cukup lama selain karena harus bekerja.

"Va, gue boleh nanya nggak?" Mas Handian bertanya begitu setelah kami berdua melewati gerbang komplek. "Ada yang bikin gue penasaran soalnya,"

"Nanya apa?"

"Tentang lo yang bikin Raikal jadi kayak sekarang," katanya. Gue sempat menoleh ke arahnya sebentar sebelum salah satu kaki gue tersandung batu di jalan.

Pilihan Mas Handian untuk berjalan kaki, sepertinya kurang bagus untuk gue malam ini, karena gue sudah tersandung batu dua kali.

"Perlu pakai senter satpam komplek lo buat jalan sampai ke rumah?" Ucapnya dengan nada meledek.

"Lo sih! Tahu gitu naik motor aja daripada jalan,”

"Sehat, Va,"

"Biasanya juga mager,"

"Tuh 'kan, orang nggak mager salah, mager lebih salah, heran gue sama orang-orang kayak lo gini,”

Sialnya gue malah terkekeh, bukannya marah atau apa, tapi gue malah merasa yang diucapkan Mas Handian adalah sebuah lelucon.

"Soal gue yang bikin Raikal kayak sekarang, ya? Enggak ada yang spesial, Mas, masih jauh dari kata hampir sempurna," gue menyesap kopi sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan obrolan. "Gue masih belajar banyak buat jadi orang tua. Masih banyak belajar buat memahami anak gue sendiri, karena pahami diri sendiri aja kadang butuh waktu, sekarang bukan cuma diri sendiri yang harus dipahami, tapi anak gue juga.”

"Selama ini lo beneran cuma sendiri aja ngurus Raikal?"

"Bisa dibilang iya, tapi enggak juga. Gue banyak ngerepotin nyokap, karena harus titipin Rai dari dia berangkat sekolah sampai gue pulang kerja. Setelahnya baru gue yang jagain sampai dia tidur,”

"Kenapa nggak pakai baby sitter? Eh, tapi udah nggak bayi, ya? Ya, maksudnya dijagain sama orang yang emang tugasnya jaga anak kecil gitu — lo ngerti 'kan maksud gue?"

Gue mengangguk pelan sembari terkekeh, kemudian berujar kembali, “selain karena nyokap gue yang emang mau dititipin, biaya buat mbak yang jagain Rai nantinya bisa digunain buat biaya sekolah Raikal tiap bulannya. Kalau ke nyokap 'kan bisa ada negonya, hehehe. Bukannya pelit, tapi gue juga harus pinter-pinter ngebagi keuangan gue, Mas. Biaya pendidikan sekarang makin mahal dan gue nggak mau kalau anak gue nggak bisa menerima pendidikan di sekolah cuma karena gue single parent,”

"Setahu gue, lo anak bungsu, ya?"

Gue mengangguk pelan.

"Sama," katanya. "Gue juga bungsu yang bisa dibilang terpaksa mengikuti kemauan orang tua gue yang seharusnya Abang gue yang nerima itu,"

"Abang lo ke mana?"

"Udah nggak ada.”

"Maaf, Mas.”

"It’s okay, nggak bikin gue sedih juga kok, Va.”

"Kenapa terpaksa kalau boleh tahu?"

"Dulu gue selalu mengikuti apapun yang abang gue lakuin termasuk menuruti perkataan nyokap, tapi setelah gue dewasa dan udah bisa mikir, ternyata nggak selamanya permintaan nyokap harus dituruti. Ada waktu di mana gue merasa harus bisa menentukan pilihan gue, tapi karena sejak kecil selalu diarahkan, mau nggak mau setelah dewasa pun masih kebingungan untuk memilih. Bahkan sekadar memilih sepatu yang udah gue tahu mana yang gue mau, gue masih harus bertanya dulu lebih bagus yang mana, padahal gue udah punya pilihan dan gue udah tahu apa yang gue mau.”

"Ah, iya, gue juga pernah merasakan itu. Sekarang pun gue lagi berusaha buat selalu ajak Raikal nentuin pilihannya sendiri, bukan gue yang menentukan. Ya, sesekali masih suka ikut campur sih, heheheh.”

"Kayaknya emang harus gitu pelan-pelan, ya? Diarahkan untuk bisa menentukan apa yang dimau, bukan diarahkan untuk mengikuti apa yang mereka mau. Karena waktu kecil tahunya itu yang terbaik, tapi ketika dirinya udah bisa berpikir dan ternyata salah, nggak enak diusia dewasanya, Va.”

"Iya Mas, bener.”

"Sekarang, nyokap kayak jadi melampiaskan harapan beliau dari abang gue ke diri gue ini, bahkan untuk memilih pasangan aja gue harus menerima pilihan nyokap. Dan berujung pada kegagalan. Sekarang, setelah semuanya udah kejadian, gue mulai berani untuk sedikit menolak apapun yang menurut gue emang nggak bisa gue lakuin.”

"Dijodohin, Mas?"

Mas Handian mengangguk pelan.

"Pilihan orang tua emang nggak selamanya buruk, cuma kadang, orang tua kayaknya suka lupa kalau anak juga berhak menentukan pasangannya sendiri dan memilih pilihannya sendiri. Mungkin kalau abang gue masih ada, gue nggak akan dijodohin saat itu,”

"Udah berlalu, Mas, kenyataan pahitnya juga udah lo terima. Sisanya ya, tinggal gimana luka lo yang kemarin itu betul-betul jadi bekasnya aja. Nggak lagi basah, nggak lagi mudah tergores, tapi betul-betul tinggal bekasnya aja.”

"Mau nggak mau, kadang kita perlu memaksa diri buat betul-betul nerima yang udah kejadian, padahal rasanya mau banget mengulang dan merubah semuanya supaya nggak kejadian kayak gini,"

"Bener, tapi manusia nggak bisa sepenuhnya merubah jalan hidupnya. Ada beberapa hal yang bisa diubah, ada juga yang enggak, dan itu semua tinggal gimana si manusianya mau menyikapi apa yang dia terima dihidupnya.”

Kembali, Mas Handian mengangguk dan menyesap kopinya lagi. Gue juga sempat melihat sudut bibir laki-laki di sebelah gue ini terangkat tipis, meski pencahayaan jalan tidak begitu terang.

Sebanyak apa ya, luka yang dipunya Mas Handian?

Dan sebanyak apa perasaan lelah yang tidak bisa dibaginya, karena masih berusaha untuk mencari pilihannya sendiri?

Melihat Mas Handian yang begitu tenang berbagi tentang cerita penuh luka, membuat gue malah semakin menaruh rasa kagum pada orang ini.

Terlihat banyak tingkah dan terlihat tidak memiliki arah hidup setelah perpisahannya, ternyata banyak luka yang mungkin masih dia pendam seorang diri.

Mas Han, siapapun pasangan lo nantinya, gue mau berdoa supaya orangnya bisa jadi alasan lo berbagi tanpa harus memendam lagi sampai rasanya penuh sesak.

"Va,"

"Ya?"

"Kalau nantinya ada yang menginginkan lo, tapi belum bisa menerima Raikal, lo akan gimana?"

Gue sempat terdiam begitu mendengar pertanyaan Mas Handian. Namun, setelah beberapa saat akhirnya gue menjawab, "enggak bisa, Mas. Gue harus cari pasangan yang lebih bisa nerima Raikal dulu, baru setelahnya nerima kurang dan lebihnya gue yang pernah gagal sebelumnya.”

Mas Handian lagi-lagi hanya mengangguk dan keheningan berhasil menyapa gue maupun Mas Han ditengah perjalanan pulang yang ternyata sudah sampai di depan pagar rumah gue.

Sebelum membuka pagar rumah, diam-diam gue menghela napas cukup panjang tanpa disadari oleh Mas Handian.

Diam-diam juga gue kembali berharap agar bisa dipertemukan dengan orang baru yang bukan hanya ingin menjadikan gue pasangannya, tapi berkeinginan juga untuk menjadi seorang Ayah bagi Raikal dan mau menerima Raikal sebagai anaknya.

--

--