Mie Ayam dan Ya Udah

ra
6 min readSep 28, 2022

--

Hampir 30 menit kami terdiam. Menikmati semangkuk mie ayam yang diletakkan di hadapan masing-masing. Saat aku hendak menyuapkan kerupuk ke dalam mulut, ia tiba-tiba berujar, “Ya udah.”

“Hah?”

“Apa?”

“Ngomong apa kamu tadi?”

Emangnya aku tadi ngomong?”

“Gimana, sih?”

Lah, kamu yang gimana?”

Aku yakin saat ini seluruh urat di leherku sudah terlihat. “Orang kamu tadi jelas-jelas bilang ‘ya udah’ gitu.”

“Oh, itu…”

“Itu apa?”

Ia terdiam sejenak. Menyuapkan sesendok kuah mie ayam. “Apa sih kamu kepo banget?”

Aku mengernyit, “Lah kok ngegas?”

“Emangnya kenapa kalau aku ngomong ‘ya udah’?”

“Ya… gak papa? Cuma aneh aja tadi diem setengah jam terus kamu tiba-tiba ngomong gitu.”

“Ya.. ya udah dong kalau gitu?”

“Ya.. iya sih..”

“Ya udah. Udah selesai kan?”

“Iya..”

“Ya udah ayo pulang.”

“Hm..”

Tak salah aku memberi predikat orang paling aneh sedunia padanya. Memang tak salah jika kami sudah hampir tiga puluh menit saling terdiam, dan juga tak salah jika dugaanku benar bahwa ia sedang kalut dengan pikirannya sendiri.

Ia membuka kunci mobil milikku kemudian membuka pintu dan menduduki kursi pengemudi. Meninggalkanku yang masih terdiam setelah membayar dua mangkuk mie ayam kami. Tak biasanya ia begini.

“Kamu mau mampir dulu? Mama tadi bikin bolu pisang, katanya mau bungkusin buat kamu.” Ucapku begitu menutup pintu mobil, duduk di sampingnya. Ia hanya melirikku sekilas.

“Memang motorku di rumah kamu, kan?”

“Oh iya…”

Dia tertawa pelan. Begitu pelan hingga aku mampu menangkap kegelisahan di sana. Tawa yang harusnya menjadi pelipuranku itu kini terdengar tawar.

Keheningan kembali menyelimuti kami sekian menit waktu bergulir. Tangan kiri yang acap kali menggangguku itu kini diam, bertanggar lesu pada persneling.

“Aku ada salah ya sama kamu?”

Persetan dengan ego tai kucing.

Kupikir ucapanku adalah benar ketika dalam beberapa detik dia tak kunjung menjawab. Dan kupikir semuanya memang salahku ketika dia selanjutnya menghela napas pelan.

Aku menoleh dan melihatnya sedang menggigit bibir dalamnya miliknya sendiri, kebiasaan buruknya yang selalu muncul ketika sedang dipenuhi keraguan.

“Hen?”

“Kenapa kamu minta maaf?”

Rambut hitam panjang yang sebelumnya ditutupi newsboy cap abu-abu miliknya itu bergoyang pelan karena ia kembali mengerutkan dahi.

“Em.. Gak tau? Aku juga bingung, Hen. What’s wrong with you, hm?” Ucapku frustasi. Tanganku terulur untuk menggapai tangan kirinya yang kosong, mencoba menyalurkan perasaanku yang dipenuhi rasa tak adil dan frustasi.

It’s not your fault, Ra. Kamu gak salah apa-apa kok.” Ucapnya dengan pelan dan halus. Tangannya yang sebelumnya kugenggam itu berusaha untuk pergi. Namun sebelum aku protes, ia menautkan kembali tangannya padaku, kini lebih erat.

Aku semakin menghadapkan tubuh padanya, menatapnya curiga. “Kamu tadi abis dari mana? Kok pulang pakai jas?”

“Em.. dari reuni SMA.” Ucapnya pelan. Tangannya setengah memutar kemudi untuk membuat belokan. Wajahnya ia palingkan dariku agar dapat melihat spion, namun aku tahu dia sedang tak ingin membahas topik ini.

Ih!”

Aku memukul tangannya kencang. Dia mengeluh kemudian.

Aduh! Sakit, Ra…”

Dia berusaha menarik tangannya menjauh, namun kembali kupegang erat. “Kamu tuh ya! Udah tau punya temen toxic semua, tapi masih disamperin! Ngomong apa aja mereka, hah?”

“Tenang, Ra.. Tenang..”

“Gimana aku mau tenang?! Tiap kamu reunian balik-balik selalu diem kaya gini! Aku yang kena imbasnya!”

“Iya. Tau. Iya. Maaf ya? Aku tadi gak bilang kamu. Maaf juga padahal aku udah janji gak bakalan dateng lagi tapi malah dateng. Maaf ya, Ra?” Ucapnya dengan pelan dan penuh tenang. Ibu jarinya bergerak mengelus tanganku berusaha menurunkan amarah.

“Ngomong apa aja mereka?”

“Em.. Banyak sih..”

“Hendery, ih! Bilang gak?!”

Ia tahu apa yang kumaksud, tapi ia tak kunjung menjawabnya. Dan aku tahu ia tahu hal itu akan membuatku lebih marah, tapi ia tak kunjung jujur mengatakannya.

“Kamu tuh kebiasaan tau gak. Kalau ada omongan jelek dari orang kamu sendiri yang terima, kamu sendiri yang telan. Kita tuh udah gak setahun dua tahun pacaran, Der. Mau sampai kapan kamu begini terus? Sampai kita putus? Atau cerai sekalian?”

Hush! Heh! Gak boleh ngomong gitu! Kita nikah dua minggu lagi, jangan ngomong jelek begitu!”

“Jangan sok merasa paling kuat, deh!” Sahutku cepat.

Hendery diam. Tangan kiri yang telah melepas genggamanku itu kini mengusap kasar wajahnya. Rahangnya mengeras dan aku tahu dia sedang mencoba meredam amarahnya.

Keheningan kembali menyelimuti. Aku mencoba memberinya waktu untuk meredam amarahnya, karena aku sendiri juga lelah. Pukul 8 malam kembali dari kantor dengan setumpuk project yang belum tersentuh membuatku juga tak ingin marah berlebih.

Keheningan itu terus menyelimuti hingga tak terasa kami sudah memasuki pekarangan rumahku. Ia mematikan mesin, kemudian tak melakukan apa-apa.

Kini suasana benar-benar senyap, tak ada satupun suara yang terdengar kecuali deru nafas kami berdua.

“Tadi si Evan nanya, kenapa nikahan kita cuma di belakang rumah kamu. Terus aku jawab aja, karena itu memang impian kamu, dan juga karena.. Ayah sakit.. Maaf, aku harusnya gak bilang tentang ayah kamu.”

“Tapi dia bilang, itu karena aku yang gak mampu biayain nikahan kita. Dan aku ngerasa, itu bener.. Aku emang gak mampu bayarin semua kebutuhan nikahan kita..”

Badannya membungkuk, tertelungkup menghadap kemudi dan menyembunyikan wajahnya.

“Dia juga denger masalah startup aku yang bangkrut karena produknya salah waktu, terus nyeritain itu semua ke anak-anak lain. Padahal aku udah berusaha nutupin itu karena sekarang lagi proses remake ulang biar bisa launching sebelum Startup Day tahun ini.”

Aku menoleh padanya. Badannya masih tertelungkup. Dan sejak masalah startup-nya terjadi hingga sekarang, baru kali ini aku melihatnya sejatuh dan serapuh ini.

“Mereka juga bilang kamu… Kamu harusnya nyesel nikah sama aku..”

Kalimat terakhir itu begitu pelan. Begitu pelan hingga nyaris tak kudengar. Punggungnya bergetar dan ia semakin dalam menyembunyikan wajahnya.

“Hey..”

Aku menyentuh punggungnya, “Hey, look at me, Sayang.”

Ia mendongakkan kepalanya. Menatapku dengan mata dan hidung merah dipenuhi air mata. Dan seolah mampu menangkap sinyal yang kuberikan, ia kemudian menghambur ke pelukanku. Terisak semakin kencang.

“Sshh.. Nangis aja gak papa..Sssh..”

Aku tahu ini semua tak mudah baginya. Aku tahu karena seluruh inderaku lah yang merekamnya. Bagaimana ia mati-matian memulai startup yang selalu ia impikan. Bagaimana itu juga mulai menjadi ketakutannya. Bagaimana itu juga akhirnya benar-benar menjatuhkannya. Dan bagaimana ia menahan itu semua tanpa pernah sekalipun mengesah padaku.

You did well, Sayang. You did well. You’ve been holding on for a long time, so now let it go, okay?”

Leherku yang menjadi sandaran wajahnya kini terasa basah dan pundak miliknya yang seharusnya kokoh itu kini terasa begitu rapuh dan layu.

“Mereka gak tahu yang sebenarnya, jadi gak usah kamu pikirin, okay? Mereka gak tahu seberapa kerasnya kamu mencoba, seberapa besar ketakutan kamu, bahkan seberapa teguhnya pendirian kamu. Jadi mereka gak pantes ngomong gitu dan ngebuat kamu kayak gini, ya?”

Aku bisa merasakan lengannya yang semakin erat mendekapku dan aku hanya mampu membalasnya dengan usapan pada punggung rapuhnya.

You did well enough, Hendery.”

Ia melepaskan pelukannya. Wajahnya yang memerah dipenuhi air mata dengan rambut basah karena keringat itu hampir membuatku mengerutkan hidung karena ia sangat terlihat seperti anak kecil.

Ia menyentuh kedua lenganku, menatapku lebih dalam dan aku mampu merasakan jiwanya yang seperti sedang mencari pembenaran, mencari perlindungan, serta mencari keyakinan.

“Dan apa-apaan kamu tadi bilang gak mampu bayarin nikahan kita? Orang kamu masih bayar 40% WO-nya, kamu masih bayar baju-baju saudara, kamu masih bayar cathering sama gedungnya. Aku cuma bayar 60% dari WO-nya doang, Sayang. Sejak kapan sih kamu perhitungan?”

“Aku gak suka ya, kalau kamu terus-terusan ngerasa gak pantes gitu. You are more than worthy, you are precious, kamu pantes dapetin aku dan aku pantes dapetin kamu. We deserve each other, okay? Gak usah dengerin apa kata temen setan kamu itu. Cup.. cup.. Cup.. Udah jangan nangis, ya?” Ucapku sembari mengusap seluruh air dari wajahnya.

Ia tertawa di sela tangisnya yang hampir reda. Nafasnya masih tersengal dan terus-menerus menarik air hidungnya.

“Utututu.. Hidungnya kesumbet ya? Sini Dek, dibuang dulu ingusnya.” Ucapku penuh canda.

Ia tertawa semakin kencang, kemudian mengambil dua lembar tisu dan menyerahkannya padaku.

“Bersihin beneran.” Ucapnya dengan suara yang ia buat mirip seperti anak kecil. Mulutnya melengkung ke bawah. Alisnya ia naikkan. Pemandangan itu membuatku bersungut kagum. Wajah yang sebelumnya begitu suram kini telah berubah 180 derajat tanpa perasaan sedih dan gelisah.

“Sini! Keluarin! Kenceng!”

“Jangan kenceng-kenceng dong, nanti kena baju kamu. Mau emang?”

“Ya, kencengnya kira-kira! Cepetan sebelum aku berubah pikiran, nih!”

Ye, jangan gitu dong, Ay. Kan sama suami ini masak masih jijikan?”

“Belum suami!” Aku memukul kencang bahunya.

“Mulai deh usil lagi ini kecebong satu!”

Ia tertawa kencang kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku. Membiarkanku benar-benar membersihkan air hidungnya.

Tawanya semakin kencang tatkala melihat ekspresi jijik yang ku lebih-lebihkan sembari membuang tisu bekas air hidungnya.

“Alay!” Ia mendorong kepalaku pelan.

Ih! KDRT!”

Dan perlakuan yang kutahu hanyalah sebuah gurauan itu hanya kubalas dengan senyuman. Diiringi rentetan doa berharap tawa yang keluar dari mulutnya itu tak segera pudar.

Karena dari tawa itulah aku tahu dia baik-baik saja. Karena dari tawa itu pula lah aku baik-baik saja.

--

--