METRO MINI

Dadang Hidayat
2 min readJul 28, 2015

--

Kepulan asap knalpot bus metro mini itu terus mengepul; berwarna hitam disertai bau bensin yang tidak karuan.

Satu per satu para penumpang segera memasuki bus kecil tersebut sebelum sang sopir menancap gasnya.

Tidak semua penumpang kebagian tempat duduk, seperti biasa, ada beberapa orang yang bersedia berdiri karena tidak ada pilihan lain, takut telat masuk kerja, atau karena memang dengan cuma-cuma memberikan tempat duduknya untuk penumpang lain yang lebih membutuhkannya, terutama untuk kaum lansia atau ibu-ibu yang sedang hamil, misalnya.

Namun, meskipun begitu, sebagai penumpang, baik yang berdiri maupun yang duduk, tetap akan dikenai biaya ongkos yang sama: Rp 4.000. Jauh dekat, harganya sama saja.

Saat penumpang sudah penuh, barulah sang sopir menjalankan tugas utamanya, yakni menjalankan bus itu dengan penuh semangat dan muatan, tentu saja.

Dengan diiringi suara mesin dan suara khas metro mini yang sedang berjalan, para penumpang seringkali juga ditemani oleh lagu-lagu dari para pengamen yang datang dan pergi selama masa perjalanan.

Meskipun suara-suara itu saling bertentangan dan bahkan saling meniadakan, tetapi tidak pernah ada satupun penumpang yang dapat menghentikan kegaduhannya.

Hanya orang-orang tuli atau pemakai headphone-lah yang bisa mengatasi masalah kegaduhan itu.

Tidak hanya itu, selama dalam perjalanan setiap penumpang metro mini tentu saja akan merasakan bagaimana tubuhnya terguncang-guncang karena kondisi bus mini yang sangat memprihatinkan, terlebih saat bus tersebut sengaja atau tidak melindas beberapa ruas jalan raya yang terkutuk: penuh lobang atau polisi tidur.

Kegetiran para penumpang bus metro mini semakin menjadi-jadi tatkala kondisi jalanan yang sedang macet dan cuaca panas menghampiri mereka, ketika kondisi seperti itu terjadi, sebuah bus metro mini tak ubahnya seperti oven pembuat kue yang sangat memuakkan.

--

--