Esensi Pendidikan

Daniel A. Simon
5 min readOct 25, 2022

--

Corbis / Getty Images

Apa itu pendidikan? apakah pendidikan hanyalah sekedar produk penguasa kepada rakyatnya agar terdidik dan dapat mengerjakan berbagai macam pekerjaan yang akan memudahkan “hidup” penguasa tersebut? Ataukah pendidikan sebuah nilai yang dibangun oleh peradaban manusia agar manusia dapat belajar dari kesalahan-kesalahannya dan mendapatkan cara atau teknik dalam memahami dan menyelesaikan suatu masalah dengan lebih baik? Merunut asal mula kata education berasal dari bahasa latin, yaitu ēducātiō (berkembang) dan ēducō (saya mendidik, saya melatih). Apapun definisi pendidikan yang ada, saya merasa bahwa pendidikan adalah sebuah tonggak yang membedakan manusia dengan hewan, yaitu kemampuan untuk mendistribusikan olah pikir dan mengajarkannya kembali secara masif baik secara lisan maupun tulisan.

Plato mendirikan Akademi di Athena, lembaga pendidikan tinggi pertama di Eropa. Kota Alexandria di Mesir, didirikan pada 330 SM, menjadi penerus Athena sebagai tempat lahir intelektual Yunani Kuno. Di sana, Perpustakaan Alexandria yang agung dibangun pada abad ke-3 SM. Pendidikan yang bermula dari komoditas eksklusif untuk kaum pemuka agama, aristokrat, dan pria (Aristotle menganggap perempuan adalah makhluk yang tidak sempurna). Lalu meluas hingga pada akhirnya dapat terakses oleh hampir semua kalangan. Namun apakah perluasan akses pendidikan mempersempit inequality dan mendorong manusia mencapai tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi?

Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan saat ini sudah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu, dimana sistem ini bak model “buruh pabrik”, sekolah masuk pukul 7 pagi tepat, setiap siswa belajar hal yang sama dengan kecepatan pergantian materi yang sama, jam istirahat yang sama, seragam yang sama, jam pulang yang sama. Hakikat manusia sebagai makhluk bebas tidak di implementasikan dan kemampuan serta minat siswa yang saling berbeda juga tidak diakomodir karena pendidikan “ini” bertujuan menciptakan calon pekerja yang “terampil” dan mudah diatur. Tentu sistem ini sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini, dimana dunia berkembang sangat cepat, dogma lama kewalahan mengejar, bisa jadi ilmu atau keterampilan yang dipelajari saat ini menjadi tidak relevan 10 tahun ke depan. Ini berbeda dengan era dulu, contoh: masyarakat pada era tahun 1800-an tidak mengalami perubahan secepat masyarakat era saat ini. Ilmu yang ditanamkan kepada seseorang pada tahun 1810, sangat mungkin tetap relevan pada tahun 1840.

Berbicara mengenai pendidikan terutama pendidikan formal tidaklah jauh dikaitkan dengan kurikulum, kurikulum selalu menjadi pokok bahasan mengenai bagaimana pendidikan dapat terdorong maju dan tetap relevan. Istilah curriculum digunakan pada konteks pendidikan pertama kali dalam Professio Regia, sebuah karya profesor Universitas Paris yang diterbitkan pada 1576. Belakangan kurikulum model barat yang salah satunya diejawantahkan dalam International Baccalaureate Program, sedang digandrungi. Tak terkecuali di Indonesia, dimana kurikulum nasional kita bergeser menjadi lebih fokus pada partisipasi siswa, namun bagaimana kita berharap siswa dapat berpartisipasi aktif mengeluarkan ide dan pemikirannya, jika siswa kita saja memiliki dasar yang lemah? Contoh: tingkat literasi dan penguasaan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang rendah. Untuk dapat menghasilkan output berkualitas diperlukan input yang berkualitas, bagaimana dapat berpikir tajam jika kemampuan mengolah informasinya tidak tajam?

Pendidikan Indonesia sarat akan kentalnya praktik feodal. Guru atau dosen merasa paling pintar dan paling benar, perdebatan substantif dengan nilai intelektualitas sering kali tak terjadi. Siswa yang tertinggal seringkali tidak “diangkat” padahal bukankah nilai pendidikan juga mengutamakan kesempatan yang sama? Pengajar terbuai oleh dogma-dogma yang ada, sehingga pertanyaan-pertanyaan fundamental seringkali dianggap tidak perlu ditanyakan, contohnya seperti eksistensialisme. Dalam ruang kelas sudah seharusnya tidak ada pertanyaan yang terlalu “bodoh” dan tidak ada pertanyaan yang terlalu sensitif. Karena salah satu unsur pendidikan adalah perjalanan menuju terang, disitulah argumen, pandangan diperdebatkan. Tidak semata-mata untuk mengubah posisi pemikiran seseorang atau suatu kelompok, namun untuk saling memahami pandangan masing-masing.

Revolusi Guru

Kualitas guru seringkali tidak dibahas dalam perdebatan mengenai kualitas pendidikan. Peran seorang guru sangatlah krusial dalam menyampaikan ilmu dan memantik potensi yang dimiliki masing-masing individu. Namun di negeri ini profesi guru bukanlah profesi prestige, guru dibilang pahlawan tanpa tanda jasa, itu menunjukkan seolah-olah guru hanya perlu dipuji. Padahal guru juga manusia yang perlu makan, beli rumah, bayar listik, dan sebagainya. Selama ini terkadang terdapat pandangan merendahkan kepada mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, seringkali fakultas ini dianggap lokasi buangan para calon mahasiswa yang tidak diterima di fakultas lain, contoh: tidak diterima di prodi akuntansi maka masuk saja ke prodi pendidikan akuntansi, yang penting masih akuntansi. Tentu hal ini tidaklah sepenuhnya benar, namun hanya labelling yang ditempatkan baik oleh masyarakat awam ataupun dari para mahasiswa itu sendiri.

Seharusnya profesi guru menjadi profesi bergengsi, yang ketika misal ditanya oleh orang, “apa pekerjaan mu?” lalu dijawab “aku seorang guru” rasa bangganya sama dengan orang-orang yang bekerja di start-up atau firma konsultan ternama. Guru sangat penting karena dia bahkan dalam beberapa kasus akan lebih sering berinteraksi dengan murid-murid, dibanding para murid ini berinteraksi dengan orang tua mereka. Guru lah first impression seorang murid pada suatu bidang ilmu, jika guru itu dapat mengajar dan memantik murid itu dengan baik. Maka potensi seorang siswa untuk menyukai bidang itu akan semakin besar, begitupun sebaliknya.

Sekolah Agar Jadi Orang Kaya

Cukuplah menggelitik ketika saya mengingat perkataan orang tua dimana seolah-olah tujuan saya sekolah adalah hanya untuk “sukses” (tentu dalam pemikiran kebanyakan orang, sukses berbentuk materi). 12 tahun pendidikan primer dan 4 tahun pendidikan lanjutan hanyalah untuk mendapat uang sebanyak-banyaknya di masa depan. Tentu itu tidak sepenuhnya salah karena uang dapat mempermudah hidup, tapi apakah pendidikan dan sekolah era modern hanya sebatas itu? Apakah tidak ada tujuan lain yang lebih mulia? Terlebih di era kampus merdeka, rasa-rasanya mahasiswa sudah semakin kurang peduli dengan keilmuan. Yang penting adalah magang, mari magang sebanyak-banyaknya bahkan walau tenaga kita diperas secara tanpa bayaran. Tentu ini adalah suatu dilema karena tujuan akhir pendidikan hampir bagi setiap individu sebenarnya adalah untuk mengakuisisi materi. Namun apakah sekolah hanya cukup untuk tujuan itu saja?

Penutup

Pendidikan bagi saya adalah suatu hal yang unik, ini membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan hanya belajar segala sesuatu dengan mengamati lingkungan sekitar, manusia belajar tidak hanya dengan mengamati lingkungan sekitar, namun juga dengan penyampaian pemikiran-pemikiran baru, perdebatan, dan observasi yang lebih luas dan dalam. Mengembangkan sektor pendidikan berarti mengembangkan seluruh stakeholder, yaitu guru, siswa, orang tua, dan pengambil kebijakan. Apalah itu bonus demografi jika SDM nya tidak mumpuni, sudah saatnya reformasi sektor pendidikan dilakukan, yang tidak hanya berkaitan dengan siswa dan kurikulum, namun juga guru. Bagi saya esensi pendidikan dalam hal ini sekolah adalah untuk mengembangkan pola dan kemampuan pikir, karena yang lebih penting daripada output, adalah fondasi dan kerangka berpikir.

--

--

Daniel A. Simon
0 Followers

Economics student with a concentration on resource and institutional economics.