Distinction Bias: Rahasia Gagalnya Lo dalam Memilih yang Terbaik

Sering ngerasa salah pilih? Artinya lo musti kenalan sama Distinction Bias, Si Penentu Pilihan Hidup. Pahami, inilah dalang dari semua bad decision yang lo buat.

Debbi Aditama
7 min readMay 15, 2024

Di tempat ini gue berdiri, memperhatikan rak-rak yang penuh sepatu olahraga. Setiap rak nge-display sepatu yang hampir sama persis — sepatu lari dengan teknologi terbaru yang menjanjikan kenyamanan luar biasa dan performa yang nggak tertandingi. It really amazed me. Tapi sekarang saatnya gue bikin keputusan.

Haruskah gue pilih sepatu hitam seharga 1,4 juta yang sesuai budget atau gue pilih sepatu merah yang lebih mahal seharga 2 juta yang menjanjikan kualitas dan kenyamanan lebih ok?

Sekalipun hati gue terpikat ke sepatu merah, naluri gue yang bijak mulai bilang, “inget anggaran lo cuma 1,4 juta.” Dengan menghela nafas, akhirnya gue mutusin buat beli sepatu hitam yang biasa aja, sesuai sama budget, dan gue akan bersiap buat nikmatin pengalaman berlari yang mungkin nggak se oke sepatu yang lebih mahal.

Tapi tiba-tiba, hal aneh terjadi. Pas gue pake sepatu itu buat lari, ternyata nyaman kok, oke juga. Bahkan lebih dari oke. Gue bingung, kenapa pas diawal, gue punya keinginan buat beli model yang lebih mahal.

Kenapa Tiba-tiba Berubah Pikiran?

Diantara segudang bias otak, gue jadi korban Distinction Bias,

kecenderungan dalam berlebihan menilai perbedaan kuantitatif kecil, saat dihadapkan dengan pilihan yang perlu membandingkan satu sama lain.

Saat di toko, gue lagi dalam mode membandingkan, mengevaluasi sepatu dengan sepatu lainnya — gue jadi hypersensitive sama perbedaan kecil. Tapi pas udah di luar toko, cuma ada sepasang sepatu dan nggak ada alternatif buat dibandingin.

Pilih Coklat Lo

Yuk bareng-bareng, kita lakukan sedikit eksperimen. Gue mau lo pilih antara dua opsi ini,

Opsi 1: Gue bakal kasih lo 1 cokelat Silver Queen, kalau lo bisa inget momen dalam hidup lo, waktu lo ngerasain kesuksesan terbaik.

Atau…

Opsi 2: Gue bakal kasih lo 3 cokelat Silver Queen, kalau lo bisa inget momen dalam hidup lo, waktu lo ngerasain kegagalan terburuk.

Lo bakal pilih yang mana?

Dalam sebuah penelitian dengan model eksperimen yang sama, ditemukan sekitar dua pertiga dari orang-orang yang diteliti lebih milih buat ambil lebih banyak cokelat. Nggak heran sih, more is better, ya kan? Tapi ternyata, not always.

Meskipun orang-orang itu bebas pilih dan mungkin pengen bikin diri mereka lebih happy dari apa yang dia pilih, pada kenyataannya,

mereka yang milih inget momen negatif buat dapet lebih banyak cokelat, cenderung ngerasain kesedihan, dibandingin sama mereka yang milih momen positif untuk cokelat yang lebih sedikit.

Nah, buat yang mikir, “Hmm, mungkin efek sedih itu muncul karena ngerasa bersalah pas makan cokelat banyak, kan bikin gemuk”, para peneliti juga udah mikirin itu kok. Tapi, hasilnya? Nggak ada beda yang signifikan antara kedua kelompok dalam hal perasaan mereka soal makan cokelat itu.

So, apa sih yang bikin kondisi itu terjadi?

Otak Kita Nggak Sejago Itu

Para psikolog percaya, kalau manusia itu sebenernya punya dua mode berbeda:

  • Comparassion Mode
  • Experience Mode

Saat kita lagi milih-milih, kita masuk ke mode perbandingan (comparassion) — sensitif banget sama perbedaan kecil antar pilihan, kayak pas gue lagi milih sepatu lari. Tapi pas kita udah jalanin pilihan kita, kita beralih ke mode pengalaman (experience) — di sini, nggak ada lagi tuh pilihan lain buat dibandingin sama pengalaman yang kita jalanin.

Kita tuh jago banget kalau disuruh buat bandingkan hal-hal kualitatif. Contohnya, kita tahu banget kalau kerjaan yang seru itu pasti lebih oke daripada kerjaan yang ngebosenin, atau kalau kantor deket rumah bisa jalan kaki itu pasti lebih enak daripada harus bermacet-macetan di jalan karena kantor yang jauh.

Waktu gue minta kalian pilih antara Opsi 1 atau Opsi 2, pasti kalian bakal bilang kalau mengingat kisah sukses itu lebih bikin happy daripada mengingat kegagalan. Tapi kenapa ada yang pilih Opsi 2? For more chocolates of course! Nah, di sinilah masalahnya.

Kita manusia tuh jago dalam penilaian yang sifatnya kualitatif, tapi sebaliknya, nggak jago dalam memprediksi gimana perbedaan kuantitatif — yang melibatkan angka-angka, yang akan mempengaruhi kebahagiaan kita. Dalam eksperimen, orang berpikir kalau 3 cokelat Silver Queen akan buat mereka 3x lebih bahagia. Tapi nyatanya nggak gitu.

Kita sering banget bikin kesalahan yang sama di kehidupan nyata. Kita mikir rumah 120 meter persegi akan buat kita lebih bahagia daripada rumah 100 meter persegi. Kita juga mikir gaji 10.000.000/bulan akan buat kita lebih happy daripada gaji 8.000.000/bulan.

Kita sering banget kasih penekanan lebih pada perbedaan kuantitatif yang mostly fail dan akhirnya milih opsi yang sebenernya nggak bakal bikin kita lebih bahagia.

3 Cara Cerdas Mengakali Otak

1. Jangan Bandingin Face to Face secara Berdampingan

Pas lagi dalam Comparassion Mode, kita suka terjebak dalam permainan “temukan bedanya.” Ini nih yang bikin kita terlalu fokus ke perbedaan kuantitatif yang nggak penting. Buat ngatasin ini, coba deh jangan secara langsung bandingin dua pilihan berdampingan.

Gimana caranya? Evaluasi setiap pilihan secara individu terpisah, satu per satu dan lihat kelebihan masing-masing.

Misal, kalau lo lagi cari rumah, jangan bandingin rumah yang satu sama yang satunya secara langsung. Luangin waktu di setiap rumah, fokus ke apa yang lo suka dan nggak suka dari rumah itu buat dapetin kesan yang utuh. Mulai dari ukuran rumah, jaraknya ke kantor, seberapa dekat sama rumah temen-temen lo, kehangatan dan kenyamanannya, sampai seberapa aneh tetangganya.

Sekarang, pilih rumah yang kasih lo pengalaman keseluruhan yang paling oke.

2. Tahu Apa yang Lo Butuhkan Sebelum Menentukan

Me: Bro, kita butuh mesin pemotong rumput nih.

Bro: Oke aman, serahin ke gue.

— a moment later —

Bro: Nah, ini yang gue beli ada bluetooth-nya, bisa connect ke wifi, punya 4GB data, kuat 10 jam pemakaian…

Me: Tapi, apa bisa buat motong rumput?

Marketing yang jago, sering pakai Distinction Bias, yang bikin lo tergoda dengan fitur-fitur tambahan yang sebenernya nggak terlalu lo butuhin banget, dan akhirnya lo bayar lebih mahal buat barang yang nggak bikin lo lebih bahagia.

Jadi, lain kali sebelum belanja, catat dulu apa yang bener-bener penting buat lo. Tulis alasan kenapa lo butuh barang itu. Setelah kebutuhan lo terpenuhi, pilih opsi termurah yang punya semua yang lo butuhin tanpa tergoda fitur tambahan yang nggak penting.

3. Optimalkan untuk Hal-hal yang Nggak Biasa Lo Lakukan

Para peneliti percaya, kita sering jadi korban Distinction Bias, ketika ngeremehin tendensi manusia tentang,

kecenderungan untuk kembali ke tingkat kebahagiaan yang relatif stabil setelah mengalami peristiwa menyenangkan atau menyakitkan dalam hidup mereka — ini namanya Hedonic Adaptation

Simpelnya, Hedonic Adaptation ini ngasih gambaran kebahagiaan seseorang yang berlangsung sementara setelah mengalami sebuah peristiwa. Padahal, meski kita pikir bakal happy terus-terusan, gaji gede atau rumah mewah nggak bikin bahagia kita long-lasting.

Gambaran praktisnya: kebahagiaan lo bakal balik lagi ke level biasa aja buat hal-hal yang stabil dan pasti, kayak gaji, ukuran rumah, atau kualitas sepatu (kayak contoh kasus gue sebelumnya). Karena hal-hal ini nggak berubah tiap hari, jangan heran kalau rasa bahagia yang lo punya pelan-pelan hilang.

Nah, beda cerita kalau soal kejadian positif yang jarang terjadi atau nggak biasa lo lakukan, kayak quality time atau road trip seru bareng teman. Hal-hal ini jarang terjadi, jadi lo nggak bakal bosen. Dengan lebih banyak masukin pengalaman yang jarang terjadi/nggak biasa lo lakuin ini ke hidup lo, gue jamin lo bakal ngerasain yang namanya long-lasting happiness, kebahagiaan lo bakal lebih awet.

Conclusion

Pada zaman dulu, kita emang cerdas dalam memilih mana yang paling enak di antara buah-buahan dalam semak, atau binatang yang oke dengan daging yang lezat di antara kawanan buat kita survive.

Tapi, hari ini, cara yang sama yang nggak ngebantu kita buat survive, malah bawa kita dalam masalah. Instead of mengoptimalkan apa yang bakal bikin kita dapet long-lasting happiness, kita malah main-main “temukan bedanya” di atribut yang nggak terlalu penting.

Nah, siapa sangka, Marketing-marketing cerdik ini ngemanfaatin bias kognitif kita buat ngejual barang-barang dengan fitur-fitur menggemaskan, yang sebenernya, nggak terlalu bikin kita lebih bahagia juga.

Nggak ada alasan lagi deh buat kita untuk terus jatuh ke trik mereka, nggak perlu lah kita terus-terusan kena gocek seperti itu. Gimanapun juga, trik itu ada di dalam kepala kita sendiri. Dengan memahami keanehan kognitif kita, seperti Distinction Bias ini, we can outsmart our own brains. Kita punya nalar, untuk bisa lebih pintar dari otak kita sendiri, biar bisa lebih bijak dalam setiap making decisions.

Cheers,

Debbi Aditama

Kalau lo udah sampai sejauh ini, big thanks for reading and I hope you enjoy it. Kalau suka tulisan ini dan menurut lo berguna, show some reaction below. ^^

--

--

Debbi Aditama

a Stoic and Freelance Mentor who loves eudaimonia and then tries to be your Personal Growth buddy. 🌱✨