Eureka! Paradoks ‘Makin Banyak Belajar, Makin Merasa Bodoh’ Akhirnya Terungkap!

Debbi Aditama
5 min readMay 1, 2024

--

Nggak bisa dipungkiri, semakin banyak kita belajar, semakin banyak pula yang kita tahu.

Make sense, kan?

Tapi, tunggu dulu, guys. Apa bener begitu?

Faktanya, setiap kali kita nemuin informasi baru, tanpa sadar, kita ngelakuin semacam tes — lewat pertanyaan-pertanyaan — kita menguji informasi itu terlebih dahulu, sebelum menerimanya masuk ke dalam otak, ke dalam sistem keyakinan kita.

The Sense-check Test — Apa ini Masuk Akal?

Tes ini tuh semacam lagi nanya ke hati nurani lo sendiri. Nggak ada rumus pasti, nggak ada angka-angka, cuma perasaan aja.

Saat lo baca sesuatu, trus kebayang, “Hmm, kok bener juga ya?”, berarti lulus tes. Tapi kalau lo baca trus mikir, “Apaan sih ini? Absurd banget!”, berarti gagal. Jadi intinya, meskipun subjektif, tapi kalau intuisi lo berkata ya, ya lulus, sesimpel itu.

The Credibility Test — Haruskah Gue Percaya?

Saat kita baca atau dengerin sesuatu, terkadang kepikiran, “Ini beneran ya?” Atau, “Ini kayaknya bohong deh.” Nah, buat nentuin itu, ada proses yang namanya Uji Kredibilitas. Kira-kira, “Bisa dipercaya gak nih sumbernya?”

So, perlu lo pertanyakan,

Apakah si sumber ini lebih paham daripada gue?

Kalau lo mau tahu itu bisa dipercaya atau enggak, pertama-tama lo cek dulu sumbernya. Kalau jawabannya lebih paham, ya mungkin lebih worth it buat dipercaya. Tapi, kalau enggak, mungkin lo perlu skeptis dikit.

Apa ada bias dari si sumber?

Next, lo juga coba pikir, ada bias nggak sih di sini? Misalnya, si sumber itu punya kepentingan tertentu yang bikin dia bisa jadi kasih info yang bias. Kalau gitu, ya lo harus lebih hati-hati lagi.

Apa si sumber punya motif tersembunyi dalam menyajikan informasi?

Trus, yang terakhir, lo pikirin juga nih. Mungkin ada motivasi terselubung di balik informasi yang dia kasih.

Kalau lo bisa temukan cukup alasan untuk percaya informasi baru itu dari 3 pertanyaan diatas, berarti dia lulus uji kredibilitas lo. Tapi kalau enggak, mungkin lo perlu cari lagi deh sumber yang lebih bisa dipercaya.

The Cross-check Test — Adakah yang Kontradiksi dengan Apa yang Sudah Gue Anggap Benar?

Coba lo bayangkan, dalam otak lo ada semacam bank ide, yang udah lo validasi kebenarannya. Nah, tiap kali ada ide baru datang, lo bakal cek dulu ide baru itu dengan semua ide yang sudah ada di bank lo. Tujuannya, untuk compare, melihat, apakah ada kontradiksi antara ide baru dengan yang sudah ada?

Kalau nggak ada yang kontradiksi, ide baru itu akan diterima, asal dia lulus uji nomor satu dan nomor dua diatas.

Tapi kalau ternyata ada yang kontradiksi, kita akan cek dulu, mana yang lebih kuat di antara kedua ide itu. Yang lebih kuat, biasanya yang lebih mungkin untuk diterima. Kan nggak mungkin ya, kita punya dua ide yang saling bertentangan di dalam satu sistem keyakinan yang kuat. Nah, dari situlah setiap ide yang kuat ini, yang sudah diterima, mampu jadi penghalang bagi ide baru yang suatu saat akan datang.

Hal ini berbanding terbalik dengan Metcalfe’s Law (Hukum Metcalfe)

Metcalfe’s Law berkata bahwa, nilai dari jaringan telekomunikasi itu berbanding lurus dengan kuadrat jumlah pengguna yang terkoneksi dalam sistemnya. Artinya, semakin banyak pengguna yang terhubung (node), semakin besar nilai dari jaringan tersebut.

3 nodes → 3 koneksi
5 nodes → 10 koneksi
7 nodes → 21 koneksi, dst.

Semakin banyak koneksi yang lo buat, semakin banyak nilai yang bisa lo dapatkan dari jaringan tersebut. Manfaat dari sebuah jaringan menjadi jauh lebih kuat secara eksponensial dengan setiap penggunanya bertambah.

Sistem kepercayaan kita ibarat circle sosial. Semakin banyak teman (nodes) yang kita punya di sana, semakin banyak juga nilai yang kita bisa dapat. Nah, kalau teman itu ibarat ilmu, setiap teman baru (ilmu baru) yang ingin join, harus cocok dengan semua teman lainnya (ilmu lainnya) yang sudah ada di circle kita.

Dengan setiap ilmu baru yang bertambah, circle (kepercayaan) itu jadi lebih kuat dan semakin sulit ditembus.

Dalam sistem gagasan/pengetahuan, kemudahan menerima pengetahuan baru, berbanding terbalik — bukannya mudah, malah susah. Setiap pengetahuan baru yang ingin diterima, harus bisa diterima juga oleh semua pengetahuan sebelumnya yang sudah lo punya.

Semakin banyak pengetahuan yang ada di otak lo, semakin susah juga untuk menjadikan pengetahuan baru itu mampu diterima.

Ada efek samping dari proses penerimaan pengetahuan yang kadang lo lewatkan.

Ketika lo menerima sebuah pengetahuan, lo cenderung akan semakin meyakini hal-hal yang sudah lo tahu sebelumnya. Jadinya, keyakinan lo akan lebih terkonfirmasi semakin kuat, nggak ada ruang untuk pendapat yang berbeda.

Bayangkan, kalau lo terus-menerus disuguhkan dengan ide-ide yang selalu setuju dengan apa yang lo pikirkan, lo akan semakin yakin bahwa lo sudah jadi yang paling bener.

Semakin banyak lo belajar → semakin banyak lo tahu → semakin tertutup lo terhadap ide-ide baru → semakin sedikit lo tahu dalam jangka panjang.

Inilah yang disebut Knowledge Paradox.

“Janganlah kita merasa pintar, sebab kalau sudah merasa pintar, di saat itulah kita sedang mulai menjadi bodoh.”

Fenomena ini adalah kejahatan yang perlu dilakukan. Ini hanya bisa dicegah kalau lo nggak terlalu yakin sama pengetahuan. Tapi ya mana bisa? Itu nggak realistis.

Pengetahuan cuma bermanfaat kalau bisa diandalkan — lo butuh bisa ambil keputusan berdasarkan itu. Dan pengetahuan itu bisa diandalkan hanya jika lo percaya itu benar.

Pengetahuan itu penting, tapi juga bisa jadi masalah.

Bayangkan, lo punya banyak pengetahuan yang lo anggap benar, eh, ternyata salah. Tapi ya gimana lagi, lo nggak mungkin stop belajar, hidup juga harus beranjak dengan modal pengetahuan yang lo pegang, sekecil apapun.

Sebagaimana lo tahu, bahwa pengetahuan nggak ada yang 100% benar, tapi ya lo tetap harus meyakini beberapa hal dari pengetahuan itu sebagai kenyataan. Nggak mungkin juga dong, lo bela-belain belajar, tapi endingnya nggak guna, pasti ada yang bisa lo pegang.

Dari semua hiruk-pikuk pengetahuan diatas, ada satu hal yang bisa menjaga paradox ini tetap dalam kendali lo, yaitu Prinsip.

Ini bikin hidup lo lebih santai. Lo jadi nggak terlalu bebal dengan pengetahuan yang lo punya. Lo bisa lebih fleksibel saat dihadapkan dengan berbagai macam ide/gagasan baru. Ini jelas akan membantu lo tetap dalam kondisi open-minded. Jadikan ini sebagai prinsip lo,

  • Pertanyakan segalanya
  • Tetap terbuka untuk salah
  • Nggak ada yang pasti
  • Paradoks adalah fenomena yang alami — two contradicting ideas can be both true. Jangan dipusingkan.

Cheers,

Debbi Aditama

Thanks for reading!
Kalau suka tulisan ini dan menurut lo berguna, show some reaction below. That means a lot to me dan akan membantu ini sampai ke lebih banyak orang.

--

--

Debbi Aditama

a Stoic and Freelance Mentor who loves eudaimonia and then tries to be your Personal Growth buddy. 🌱✨