51.

bag of luck
4 min readJul 18, 2024

Mahira’s POV

Lo jangan sama cowok kacamataan, deh. Kalau dia lupa lepas tuh benda sialan sebelum ciuman, abis hidung lo.”

Gue masih ingat banget gerutuan Gea beberapa tahun lalu di dalam mobil saat gue jemput dia di sebuah night club. Entah apa yang telah terjadi di dalam sana, gue cuma mengiyakan karena memang begitulah Gea saat gagal ciuman – grumpy abis.

Gea adalah orang yang bakal gue datangi saat butuh konsultasi mengenai cinta dan lelaki. Sejak pertama kali mengenalnya di bangku SMA, sudah tidak terhitung berapa kali perempuan gila itu gonta-ganti cowok. Alasannya beragam tapi selalu dari hal, yang menurut gue saat itu, remeh. Bau mulut, ciumannya nggak jago, bau badan, rambut lepek, ketek basah, dan banyak lagi yang saking nggak pentingnya, siapapun nggak akan ada yang sudi buat mengingat.

Gue yang waktu itu masih naif banget, bilang ke Gea kalau mungkin dia nggak secinta itu sampai semua hal remeh menjadi masalah. Gea membalas gue dengan satu jitakan di dahi dan mengatakan hal yang sampai sekarang nggak gue lupakan.

Cinta tuh kayak tai kucing, bau dan menjijikkan. Setidaknya lo punya pasangan yang wangi, ganteng, dan banyak duit biar bisa tahan sama baunya!”

Entah mana yang benar mengenai cinta, gue juga belum tahu dan Gea tidak seluruhnya benar. Tapi semakin beranjak dewasa, gue jadi mengamini bahwa wangi tubuh seseorang itu bisa menentukan apakah orang lain akan meluk atau mukul lo.

Badan wangi adalah point pertama yang gue lihat setiap kali kencan sama cowok. Dan Kastara, oh demi Tuhan, kalau norma tidak ada di hidup ini, gue udah minta baju yang dia pakai sekarang agar gue bisa terus cium wangi badannya. Fuck, he smells damn good.

Dan, kacamata. Oh, lord. Seumur-umur, gue nggak pernah nganggep laki-laki berkacamata itu seksi, tapi Kastara mampu membuat gue menelan ludah setiap kali dia membetulkan gagang kacamatanya yang sedikit melorot, atau mengelap lensa saat terkena uap kuah soto yang kami makan malam ini. Dia bahkan nggak perlu meng-highlight kacamatanya, cukup menatap gue dari balik benda itu, dan gue rasanya udah mau kayang, salto, dan sikap lilin.

“Beneran nggak mau aku supirin sampe rumah?”

Kami berdiri di parkiran sebuah restoran soto legendaris di Pejaten dua jam setelah menghabiskan 4 mangkuk soto, tiga piring nasi, dan dua porsi mendoan. Juga dua jam yang rasanya begitu cepat karena ajaibnya kami tidak pernah kehabisan topik pembicaraan.

“Mobil kamu gimana, dong?”

“Tinggal disini aja.”

“Eh, sembarangan. Nggak papa, Tara, lagian dari sini rumahku nggak jauh amat.”

Seluruh informasi yang gue dapatkan selama 10 hari mengobrol via WhatsApp rasanya tidak sebanding dengan pertemuan dua jam kami. Ya, gue tahu namanya Kastara Wisanggeni, 33 tahun, punya dua adik, pilot, dan hobinya adalah fotografi, membaca buku, juga memberi kuliah mengapa pesawat komersil terbang di ketinggian 36.000 kaki.

Tapi dua jam ini, gue jadi tahu kalau dia minum air putih sebelum makan, menyeka alat makannya dulu, unexpectedly makannya lumayan banyak, dan gue suka cara dia memperlakukan pelayan. Well, they said you can tell what kind of person someone is by the way they treat waitresses.

Thank you for the meal. Next time, its on me.

Kastara tersenyum. The damn smile that’s been haunting me since we met at the Shelter, or maybe Esqada. “So, there is next time.”

“Ya, kalau kamu mau aja sih. Apa udah ilfeel duluan soalnya aku ngabisin tempe mendoan kamu yang berharga itu?”

Dia ketawa, dan gue berharap tidak buat dia ilfeel karena, sumpah, makanan kami tadi enak banget dan gue lupa buat mengontrol porsi makan.

“Sebenarnya tadi aku mau pesen semua stock mendoan yang mereka punya biar kita bisa ngobrol sampe tengah malem. Tapi kamunya kekenyangan.”

Coba gue inget-inget kapan terakhir kali pergi ke kencan yang bisa bikin gue pengen guling-guling di aspal saat ini juga. Nggak ada, baru ini.

Kami sampai di depan mobil gue. Gue mendongak, menemukan tatapan Kastara yang selalu terasa menyegarkan. Oke, menyegarkan adalah kata aneh untuk mendeskripsikannya tapi serius, melihat mata dia tuh seperti menemukan air es setelah jalan dari Lebak bulus ke Kuningan di bawah terik matahari pukul 12 siang.

“So, next time?” tanyanya sambil membukakan pintu untuk gue. Gue mengulum senyum, mengangguk. “Mahi, if you dont mind, can we do friendly hug?”

Oh, Kastara Wisanggeni, kalaupun sekarang kamu minta izin buat cium bibir aku, aku nggak bakal nolak.

Dan disitulah kami, pelukan di bawah temaram lampu parkiran sebuah restoran soto legendaris di Pejaten. Pelukan ringan dan singkat, yang buat gue menyumpah serapah karena kenapa sih dia begitu cepat melepas rengkuhan tangannya.

Ge, sekarang gue punya sanggahan mengenai titah lo beberapa tahun lalu itu. Gue nggak peduli hidung, pipi, dahi, bahkan muka gue jadi korban kalau Tara lupa lepas kacamata sebelum kami ciuman. Fuck it. If I can kiss him, then the pain will be worth it.

--

--