Narasi; 07

dela
4 min readOct 4, 2022

--

Jaiden telah selesai membersihkan diri ketika Jerico tiba di asrama dengan kedua tangan yang membawa begitu banyak kantong plastik yang ia tebak berisikan jajanan angkringan seperti apa yang ditawarkan Jerico padanya di pesan beberapa waktu lalu.

“Gue udah bilang kalo lo cukup pulang, kenapa masih repot beli banyak makanan?” ia tatap Jerico, lelaki itu hanya terdiam terlihat begitu gusar, tubuhnya masih berdiri dibelakang pintu tidak beranjak kemanapun seolah ada keraguan yang membelenggu kakinya untuk mendekat kearah nya.

“Ai.”

“Apa?” Jaiden bertanya saat Jerico memanggil namanya dengan suara yang bergetar.

“Boleh gue, meluk lo?”

Ia terdiam, gerakan mengeringkan rambut dengan handuk merahnya berhenti. Ada apa, ada apa dengan Jerico hingga ia jadi seperti ini? Tiba-tiba saja menjadi sosok yang berbeda hanya dalam waktu semalam. Mengapa hari ini Jerico nampak seperti seseorang yang begitu di penuhi ketakutan?

“Lo selalu peluk gue tanpa izin, kenapa kali ini lo meminta izin?” handuknya ia lemparkan tepat keatas keranjang biru yang berisikan pakaian kotor miliknya. Tangannya ia rentangkan, meski begitu banyak hal yang berkecamuk di kepalanya Jaiden putuskan untuk mengesampingkan semuanya lebih dulu. Jerico dihadapannya saat ini terlihat begitu membutuhkannya, Jerico tampak benar-benar butuh sebuah peluk hangat ketimbang pertanyaan apa yang telah terjadi hingga dia menjadi seperti ini. “Sini, datang sendiri kepelukan gue.”

Maka setelah Jaiden berkata demikian, Jerico melepaskan seluruh kantong plastik ditangannya hingga beberapa jatuh mengotori lantai, kakinya ia bawa berlari untuk menerjang Jaiden dengan pelukannya yang begitu erat.

Tubuhnya terhuyung saat Jerico memeluknya, ia perkirakan jika saja tubuhnya tidak sedang mendapat pelukan ia akan jatuh terjerembab diatas lantai dingin asramanya.

“Ai maaf, maaf, maaf.”

Tubuh Jerico yang memeluknya terasa bergetar, rasa basah dapat ia rasakan diarea perpotongan lehernya. Jerico menangis, untuk kali pertamanya, setelah kembali dipertemukan, ia dihadapkan lagi dengan Jerico yang menangis meraung ketakutan dipelukannya.

“Ai maaf, jangan marah, jangan pergi, jangan tinggalin gue sendiri. Maaf, maaf, maaf, Ai maaf.”

Beberapa orang berkata, jika seseorang meminta maaf lebih dari tiga kali itu artinya dia sangat menyesal, dia takut untuk ditinggalkan, dia benar-benar merasa bersalah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.

Peluk erat Jerico pada tubuhnya ia balas, Jaiden terkekeh. “Gue udah selesai marah, gak ada yang bakal pergi gak akan ada yang ninggalin lo, Iko gue gak akan pergi.” ia berbisik menenangkan. “Gue disini, dipelukan lo, gue gak lagi pergi ninggalin lo.”

“Ai, gue takut, gue takut lo bakal pergi sama kaya yang lainnya, abang, bunda bahkan hal yang gak seharusnya pergi pun ikut pergi dari hidup gue.” Jerico meracau dengan suara yang saling bersahutan dengan isak tangis. “Ai gue udah kehilangan semuanya, kalo lo juga pergi gimana caranya gue bisa tetap hidup, Ai.”

“Iko, gue gak pergi, gue masih ada disisi lo.” punggung bergetar Jerico diusap dengan lembut. “Gue disini, gak ada yang perlu lo takut kan, lo masih bisa lihat gue lo bahkan masih bisa peluk erat gue begini. Gue ada disini, disisi lo, selalu, setiap saat.”

Jerico sudah lebih tenang, tidak lagi menangis, tidak lagi meracau penuh ketakutan. Luka pada wajahnya pun telah selesai diobati, kini Jerico sudah terbaring diatas ranjangnya masih dengan memeluk erat Jaiden, pun dengan wajah yang masih disembunyikan pada perpotongan leher Jaiden, membiarkan wangi harum yang menguar menjadi satu-satunya aroma yang ia hirup.

“Ai hidup gue selalu berisikan perihal kehilangan dan kehilangan, gak perlu seberapa kuat menggenggam semuanya tetap hilang. Apa genggaman tangan gue buat gak nyaman? Atau genggaman gue terlalu kuat sampai buat sakit?

Jaiden menatap lurus pada langit-langit kamar, tangannya tidak berhenti bergerak diatas rambut hitam legam Jerico. “Iko, hidup memang selalu tentang kehilangan, jika bukan kita yang hilang, makan orang disekitar kita yang akan hilang.” kening Jerico ia kecup dengan lamat. “Gak ada yang salah dengan menggenggam secara kuat, kalau yang lo genggam inginnya pergi, genggaman kuat pun gak akan bisa buat menghentikan keinginan mereka buat pergi.”

“Lo juga bakal pergi?”

“Berhenti bicara soal kepergian, saat ini lo lebih butuh tidur.” wajah Jerico ditangkup. “Mata lo udah merah banget, ayo tidur.”

“Ai, semua orang udah pergi, lo juga boleh pergi.” matanya terpejam, Jerico biarkan kantuk yang menyerang matanya mengambil seluruh kesadarannya. “Tapi biarin gue ikut lo pergi juga, tolong beri gue izin untuk tetap lihat lo dari kejauhan, beri gue izin untuk ngikutin kemana kaki lo melangkah pergi. Karena walaupun lo pergi, gue tetap mau lihat lo walau cuma punggung lo aja yang bisa gue lihat.”

Kedua manik Jerico sudah tertutup, Jaiden hentikan tangannya yang sedari tadi menggasak lembut surai hitam Jerico. “Iko, kalau saja lo ingat, orang yang pergi itu bukan gue tapi lo.” matanya terasa basah, Jaiden tertawa tanpa sua. “Lo pergi, lo yang pergi ninggalin gue, lalu datang dengan pribadi yang baru, dengan pribadi yang sama sekali gak gue kenali. Kalau saja lo ingat, kalau saja lo ingat kalo yang pergi itu bukan gue tapi lo, kalau saja lo ingat itu, rasanya gak akan terasa sesakit sekarang.”

Matanya berpendar, menatap kantong plastik berisikan banyak jajanan yang sama sekali tak tersentuh tergeletak memenuhi lantai. “Lihat, lo bahkan berusaha nyogok permintaan maaf dari gue pake jajanan angkringan yang harganya cuma seribu dua ribu.”

© forleadernim

--

--