Bagaimana Jika.

dela
3 min readMar 31, 2022

--

Langit, menemukan Galaksi seorang diri dengan sebatang rokok masih terselip di bibirnya. Bau dari asap rokok yang dihisap Galaksi memenuhi indra pembaunya dengan cepat. Entah sudah berapa banyak batang rokok telah Galaksi hisap hingga bau asapnya terasa begitu pekat, pula dengan asbak berukuran sedang, yang sudah dipenuhi oleh puntung rokok, beserta dengan abunya. Langit pikir, Galaksi tengah berusaha membunuh dirinya sendiri. "Lo bener–bener terlihat kacau, Galaksi."

Suara milik Langit buat Galaksi menoleh, menatap Langit yang eksistensi nya selalu mampu buat Galaksi tenggelam ke dalam keindahan mutlak miliknya. Rokoknya disingkirkan, Galaksi menyaksikan bagaimana Langit bergerak mendekat kearahnya, meraih rokok yang terselip diantara bibirnya, memadamkan bara api yang masih menyala pada asbak. Pergerakan Langit tidak lepas dari dua bola mata milik Galaksi. "Gue gak tau apa yang ada dipikiran lo saat ini, apa kiranya sampai buat lo terlihat begini stresnya." ini adalah kali pertama Galaksi menyaksikan bagaimana Langit yang menatap dengan pandangan lembut miliknya. "Tapi, apa yang udah lo lakuin ini udah berlebihan. Jangan jadi orang bodoh, Galaksi."

"Gue bawa air hangat buat kompres muka bonyok lo." dengan tangan yang terangkat, Langit mengusap sudut mata Galaksi. "Memar lo harus sembuh dalam waktu semalam, biar besok, gue gak kebingungan milih area mana yang harus gue tonjok."

Pada akhirnya, Galaksi mengulas tawa, pelan. Namun, tetap buat Langit merasa lebih baik. "Ujung-ujungnya, nonjok gue lagi, kalo kaya gitu, lebih baik gak usah diobatin." ucap Galaksi, diam–diam menikmati bagaimana Langit mengusap memar diwajahnya dengan penuh kehati–hatian. "Gak, harus tetap diobatin, gue gak suka nonjokin orang yang udah babak belur."

Terkekeh, Galaksi menangkup tangan Langit yang masih mengusap wajahnya. Menahan agar tetap berada disana untuk beberapa saat, dengan mengesampingkan debaran menyesakan didalam dada. "Kaya gini dulu, sebentar aja."

Langit membiarkan, tidak bergerak atau menyingkirkan lengan Galaksi yang berada diatas lenganya. Dengan mata yang begitu berani, menatap tepat pada Galaksi yang terlihat begitu kalut didepannya. "Penuh ya?" tanya Langit. Galaksi terkekeh, sedikit tidak memahami maksud dari perkataan Langit. "Apa?"

"Kepala lo, terlalu penuh sampai buat lo jadi keliatan segini kacaunya." jemari kecil Langit bermain diatas surai hitam Galaksi yang sedikit lepek. "Galaksi, lo gak perlu mencapai banyak hal dalam sekali waktu, utamakan apa yang lebih ingin lo capai."

"Disini, didalam hati lo, lo jelas punya seseorang yang lo harap bisa lo miliki. Baik jiwa atau raganya, baik hati atau perasaannya, itu yang lebih lo inginkan daripada perjodohan konyol antara lo sama gue." kepalanya menggeleng, menolak interupsi yang hendak Galaksi layangkan. "Perjodohan ini lo setujui karena lo terpancing sama kalimat sarkas gue beberapa waktu belakangan, bukan semata–mata karena lo anak yang berbakti 'kan? Bukan berarti gue bilang lo anak yang durhaka."

"Lo gak perlu lagi, memaksakan diri buat membuktikan perkataan lo sama gue beberapa waktu lalu. Gue gak lagi minat, ngeliat lo jadi orang yang brengsek. Lo bisa batalin perjodohan kita, gue gak keberatan kalau harus turun ke arena setiap malam demi ngumpulin rupiah, buat Bulan. Lo jelas gak bisa merelakan perasaan lo, dengan memilih untuk melupakan, bahkan, sebelum orang yang lo cinta tau kebeneran dari perasaan lo itu ‘kan? Lo jelas gak akan mau.” lengannya diturunkan, sejenak, Langit mengulas senyum tipis. “Untuk hutang ayah gue, itu akan jadi urusan antara ayah gue sama ayah lo. Kita cuma dua orang anak remaja biasa yang gak seharusnya dilibatkan kedalam masalah orang dewasa.”

“Langit.” Galaksi memanggil Langit dengan suara yang terdengar lemah, “Boleh gue meluk lo? Sebentar aja.”

Langit mengangguk, mengijinkan Galaksi memeluk tubuhnya dengan erat. Membiarkan Galaksi menyembunyikan wajahnya pada ceruk lehernya. “Dengan dibatalkannya perjodohan diantara kita. Mungkin, segala sesuatunya bakal jadi lebih mudah. Lo bisa lebih fokus buat berpikir jadi pemenang sejati di antara pertempuran lo sama Jordan. Lo bisa lebih fokus memikirkan bagaimana buat orang yang lo suka sadar akan perasaan lo.”

“Kalau perjodohan kita dibatalkan, bukankah semua hal yang bakal gue lewatin bakal terasa jadi lebih mudah?” pertanyaannya dijawab anggukan kecil oleh Langit, Galaksi bergerak, mengeratkan pelukannya pada pinggang kecil Langit, hidung bangirnya bergerak membaui harum menyegarkan yang menguar begitu kuat pada perpotongan leher milik Langit, “Tapi Langit, meski kemungkinan kalau semuanya bakal terasa lebih mudah, gue tetap gak bisa membatalkan perjodohan ini.”

“Kenapa?”

“Bagaimana jika, gue, Galaksi Satya Prawira, memang mengharapkan perjodohan ini benar–benar terjadi?”

.

.

.

.

.

© forleadernim

--

--