Lahirnya seorang bajingan.

dela
3 min readMar 10, 2022

Langit tidak memahami maksud dari kedatangan Galaksi, Marva bersama dengan lelaki yang Langit ketahui adalah ayah dari kakak beradik itu. Ayahnya sendiri tidak mengatakan apapun perihal maksud kedatangan dari Galaksi ke acara makan malam keluarganya. Langit hanya diberi tahu, untuk memakai pakaian rapih. Tanpa diberi tahu apapun lagi.

“Apa saya harus mulai bicara sekarang?”

Arjuna, ayah dari Galaksi mulai berbicara setelah semua hidangan telah bersih dari atas meja. “Tentu, anda bisa memulainya.”

“Dulu sekali, sebelum istri saya meninggal dunia, beliau memberi saya sebuah kutukan.” Langit dapat melihat kekehan menguar dari Arjuna. “Kutukan yang membuat saya tidak bisa jatuh cinta pada wanita lain.”

Sejenak, Langit menoleh pada Galaksi yang duduk diam dengan tatapan menyorot tajam kearahnya.

“Istri saya berkata, saya hanya bisa jatuh cinta jika kedua anak lelaki saya mendapatkan kebahagiaannya masing-masing.” Arjuna menepuk pundak anak lelaki pertamanya. “Untuk Marva, dia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri, yang saya ketahui, Marva sudah berhasil mengikat seorang anak lelaki yang berada di universitas yang sama dengannya. Saya ingat hari itu Marva peluk tubuh saya erat, begitu dia berhasil membuat sosok yang membuatnya jatuh cinta, resmi jadi untuknya seorang.”

Dapat Langit dengar Marva yang tertawa disebelah Galaksi. Bibirnya hendak mengulas tawa, tapi urung ketika menyadari tatapan tajam Galaksi masih mengarah padanya. “Aneh.” gumam Langit didalam hati.

“Untuk Galaksi sendiri, saya selalu memikirkan apa yang mampu buat anak kedua saya bahagia. Saya selalu bertanya apa yang Galaksi mau, tapi anak ini selalu bilang — apa saja yang ayah beri pasti buat Galaksi bahagia. Tapi, saya pikir itu masih kurang, yang saya beri untuk Galaksi belum cukup buat Galaksi bahagia.”

Matanya sedikit dibuat terkejut ketika Arjuna menatap kearahnya. Dengan sigap Langit menegakkan tubuh, balas menatap lelaki berumur yang diapit oleh Galaksi dan Marva disisi kanan — kirinya. “Karena itu, saya datang kesini. Saya mungkin salah, tapi saya tahu yang terbaik untuk Galaksi anak saya.”

“Langit.”

Ketika namanya dipanggil oleh ayahnya sendiri, Langit menoleh dengan wajah penuh tanya. “Maksud kedatangan ayah Galaksi kesini malam ini, beliau berkeinginan untuk menjodohkan kamu dengan Galaksi.”

“MAKSUD?” suaranya kontan meninggi. Langit dapat merasakan perubahan mimik wajah pada Galaksi. “Papah, apa maksudnya?”

“Saya sudah berbicara lebih dulu dengan orang tua kamu, keduanya sepakat untuk menerima tawaran saya.” Arjuna mengambil alih. “Dengan syarat, perusahaan ayah kamu yang hampir bangkrut akan saya bantu sampai pulih seperti semula.”

“Bukankah itu tidak seharusnya jadi urusan saya? Untuk hal seperti itu, bukankah saya tidak perlu dilibatkan?” ucap Langit dengan nafas yang memburu.

“Saya masih belum selesai berbicara.” Arjuna tertawa pelan. “Sebagai syarat terakhir yang akan saya ajukan dan saya yakin kamu gak mungkin bisa menolak.”

“Bulan, adik perempuan kamu, akan menjadi tanggungjawab saya kedepannya. Seluruh biaya pengobatan akan ada dibawah tanggungjawab saya.”

Nafasnya tercekat, Langit menyadari jika disini dia tidak diberi pilihan lain.

“Saya beri kamu waktu untuk berpikir, lima belas menit, tidak bisa lebih dari itu, saya memiliki kesabaran yang tipis.”

“Ijinkan saya beranjak sebentar.”

“Silahkan.”

Tepat ketika Arjuna memberinya ijin, Langit berjalan meninggalkan meja makan. Apa yang ditelinganya dengar, membuat banyak kata tidak dapat diucapkan. Langit tergugu sendirian dengan kebingungan yang jelas membuat langkahnya hilang arah. Langit tersesat dikediamannya sendiri. Terduduk lemas dilantai dingin bagian depan rumahnya. “Ini rencana lo bukan?” ucapnya pada Galaksi yang Langit ketahui mengikuti langkahnya sejak tadi.

“Ini kemauan ayah gue.” Galaksi berjongkok tepat didepan Langit yang duduk bersimpuh. “Karena gue anak yang baik, jadi gue terima tanpa banyak kata.”

“Ini termasuk rencana lo bukan?” matanya menyorot benci. Galaksi tertawa mendengar apa yang Langit katakan. “Gue bukan orang yang bakal ngelakuin hal konyol kaya gini.”

Wajah dingin Langit diusap dengan halus. “Lo jelas gak bisa nolak, Bulan masih perlu uang banyak buat bertahan hidup.” bergerak mendekat, Galaksi berbisik. “Apa yang bisa lo harapin dari arena? Sekali gue turun, lo selalu dapat kekalahan.”

Galaksi tertawa ketika tangannya ditangkis dengan kasar. “Atau lo lebih seneng ngeliat Bulan mati secara perlahan?”

“Bajingan.”

“Wah benar. “ sekali lagi, Galaksi kembali berbisik, lebih dekat, lebih dalam. “Gimana? Apa gue udah terlihat seperti bajingan yang sebenar-benarnya?”

.

.

.

.

.

© forleadernim

--

--