Narasi; 10

dela
5 min readNov 17, 2022

--

Pagi hari sekali, matahari bahkan belum terlihat, Jaiden dikagetkan dengan teriakan milik ibunya disusul tangis tidak lama kemudian. Dia hampir terjatuh karena terburu-buru saat menuruni ranjang tidur miliknya. Wajahnya bahkan tidak dibasuh lebih dulu, rasa takut terhadap kemungkinan buruk yang tengah terjadi pada ibunya membuat tubuhnya lebih ingin berlari menghampiri suara tangis ibunya dipintu depan kediamannya.

“BUNDA KENAPA?” suaranya berteriak, memanggil ibunya yang masih menangis begitu keras.

“Aiden, Aiden anak bunda — anak bunda pulang, anak bunda yang paling besar pulang.”

Langkahnya memelan, anak bunda yang paling besar itu adalah panggilan khusus milik ibunya untuk Jerico. Dua tahun lalu, selalu, setiap hari, ibunya memanggil Jerico dengan sebutan anak bunda yang paling besar.

Ditatapnya Jerico yang kebingungan didepan pintu, dengan ibunya yang memeluk erat dengan wajah yang Jaiden pastikan penuh dengan air mata. Pundak kecil milik ibunya bahkan bergetar hebat, tapi Jerico sama sekali tidak membalas pelukan erat yang ibunya berikan.

“Bunda, lepas, dia bukan Jerico yang bunda kenal dulu.” suaranya mengalun, memecah diantara kebingungan milik Jerico juga tangis keras milik ibunya.

“Apa? Kenapa? Erico anak bunda, apa yang buat beda? Dia masih Erico anak bunda yang pergi dua tahun lalu.”

Tiba-tiba hatinya dipenuhi oleh sesak juga rasa sakit, ibunya terlihat jelas begitu merindukan Jerico. Tetapi yang ibunya rindukan bukan lagi sosok yang sama seperti dua tahun lalu, hanya rupanya yang masih sama, tapi tidak lagi dengan semua sikap dan perlakuannya. Begitu banyak yang berubah, semua tidak lagi sama. Ibunya jelas akan mendapat kesakitan sama seperti apa yang dirinya dapatkan. Jaiden harap, ibunya tidak akan merasakan sakit seperti yang dirinya dapatkan.

“Bunda, Jerico lupa semua tentang Aiden.” matanya menatap nanar pada Jerico yang masih ada dalam peluk erat milik ibunya. “Melihat raut wajah kebingungannya, dia juga kelihatan lupa soal bunda, kalau Jerico masih sama, dia akan balas pelukan bunda lebih erat dari yang bunda beri.”

“Erico kamu marah? Kamu marah karena bunda sama Aiden gak antar kamu waktu pindah? Sayang, maafin bunda sama Aiden, waktu itu — “

“Bunda Aiden lapar, boleh buatin sarapan buat Aiden? Biar Aiden bicara sama Erico lebih dulu.”

“Janji sama bunda, kamu gak akan usir Erico pergi? Bunda masih mau lihat anak bunda yang paling besar.”

Jaiden mengangguk, mengiyakan apa yang ibunya katakan. Dia hanya perlu bicara sebentar, biarkan ibunya lihat Jerico sedikit lebih lama sebelum meminta lelaki itu pergi meninggalkan kediamannya.

“Ai — “

“Ikut gue.” katanya memerintah, berjalan memimpin menuju kamarnya yang masih kacau selepas dipakai tidur.

“Ai maaf, gue gak bermaksud buat bunda lo nangis, maaf gue gak tau begitu bunda lo liat wajah gue beliau — “

“Beliau?” Jaiden terkekeh, pelipisnya digaruk pelan. “Lo itu kenapa si anjing? BUNDA GUE KURANG BAIK APA SAMA LO SAMPE BUNDA GUE IKUT LO LUPAIN JUGA.”

“Ai denger, please dengerin apa yang gue omongin.” Jerico melangkah lebih dekat, meraih lengan Jaiden untuk masuk kedalam genggamannya. “Ai, gue bener-bener gak paham sama apa yang terjadi barusan, ini pertama kalinya gue datang ke tempat ini atau mungkin gue pernah datang ke sini tapi ingatannya tersimpan ditempat lain. Semuanya terasa gak asing, semua hal yang berkaitan dengan lo terasa gak asing, semua hal yang pernah gue lewatin sama lo terasa pernah gue lewatin sebelumnya.”

“Jelasin. Apa yang terjadi sama lo dua tahun lalu.” matanya bergulir, menatap tepat pada kedua mata Jerico yang dihiasi kantung mata hitam yang sedikit mengerikan. “Setelah itu pergi, gue gak mau bunda dapat rasa sakit yang sama seperti yang udah lo kasih ke gue.”

“Ai, bisa tolong jangan usir gue pergi? Tanpa lo beberapa hari ini benar-benar kerasa berat buat gue, gue mohon, biarin gue tetap disisi lo buat beberapa waktu ke depan.” ujung hidungnya digaruk perlahan, sesuatu seperti hendak keluar dari saluran pernapasannya. “Tolong kasih gue waktu buat liat lo lebih banyak, setelah itu lo bisa usir gue pergi sama kasarnya kaya waktu gue ngusir lo pergi.”

“Gue gak mau denger omongan lo yang lain, gue cuma mau dengar apa aja yang terjadi sama lo di dua tahun lalu sampai bunda gue ikut lo lupain juga.”

“Oke, maaf.” nafasnya dihembuskan dengan perlahan. “Dua tahun lalu, gue bangun dirumah sakit dengan mimpi buruk yang sama seperti malam-malam yang sering gue lewatin, gue ingat siapa ayah gue, gue ingat tentang pernikahan ayah gue, tapi gue gak inget siapa wanita tua yang tangisannya keras sambil meluk gue erat begitu tau gue berhasil bangun setelah kritis selama beberapa hari.” belakang kepalanya dipijat dengan pelan, pening tiba-tiba menghantam kepalanya. “Dokter bilang gue kehilangan setengah dari ingatan gue, ingatan gue terpecah jadi beberapa kepingan dimana yang tersisa di kepala gue cuma hal buruk yang selama ini gue alami. Ai, hari itu gue bangun dengan perasaan kacau, gue ngerasa sebagian dari hidup gue udah rusak, gue bangun dengan emosi yang besar bergejolak di hati gue, ada rasa dendam waktu gue lihat wajah ayah sama ibu tiri gue. Gue selalu berharap kalau kita pernah bertemu sebelumnya, karena selama lo ada, gue ngerasa semua kebahagiaan gue yang hilang perlahan balik lagi. Ai gue minta maaf — “

“Sekarang lo boleh pergi.” matanya berpaling, bibirnya terasa kelu tidak mempercayai dengan apa yang sudah telinganya dengar. “Semua perkataan lo terdengar bohong.”

“Kalau semua perkataan gue terdengar bohong, gue harap lo mau buat tatap mata gue.” kepalanya di tengadah kan saat darah hangat mengalir melewati belah bibirnya. “Ai, tolong jangan usir gue sekarang, kepala gue pusing, gue belum punya energi bawa balik motor gue selama empat jam perjalanan buat sampai ke asrama.”

Air matanya diusap dengan kasar, Jaiden tarik lengan Jerico untuk duduk di atas ranjangnya, membantu Jerico menghentikan darah yang keluar dari hidungnya. “Sial, mau sampai kapan lo nyusahin hidup gue.”

“Ai, Ai jangan usir gue pergi — “

Jerico menangis, ia juga menangis. Jaiden menangis dengan tangan yang sibuk menghapus jejak darah yang masih mengalir di hidung Jerico. Sedangkan Jerico menangis dengan rengekan keras dengan tangan memeluk erat pinggang Jaiden yang kini berada begitu dekat dengan tubuhnya.

“Berisik.” sentak Jaiden dengan mata yang dipenuhi air mata. “Siapa yang mau ngusir lo pergi lagi, gak akan.” wajah Jerico ditangkup dengan kedua telapak tangannya. “Terakhir kali gue biarin lo pergi, lo ngelupain gue. Gak akan lagi, gue gak akan biarin lo pergi lagi.”

© forleadernim

--

--