9.

HAT'RLVLT
4 min readMar 19, 2023

--

Kena ospek kating, alias abang sendiri.
https://twitter.com/deathoverwork/status/1637381792465563648

TERNYATA secuil keramaian dalam ruangan Unit Kesehatan Kampus (UKK) bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan situasi di luar gedung-gedung fakultas. Hebat. Kacau bukan main. Lapangan utama telah penuh semenjak insiden tumbang massal terjadi.

Terlihat cukup banyak mahasiswa baru tanpa kesibukan menempati pinggir lapangan untuk sekadar duduk-duduk sambil menanti pengumuman lebih lanjut terkait keberlangsungan hari terakhir OSPEK. Kebanyakan dari mereka merupakan perempuan. Tampak lebih banyak mahasiswa laki-laki mondar-mandir dengan gesit, membantu kakak-kakak tingkat mengamankan mahasiswa-mahasiswa yang sempat tumbang. Tidak, tidak. Situasi tidaklah seburuk itu. Apabila dihitung-hitung dengan teliti, korban upacara tidak manusiawi ternyata tidak mencapai 20 orang. Yang membuat lapangan terlihat penuh hanyalah keberadaan mahasiswa-mahasiswa tanpa tujuan. Terpaksa harus menunggu, padahal pengen segera dibubarkan.

“Lo yakin masih ada bangku kosong di kafetaria?”

“Terakhir gue cek,” Isagi menjawab, “masih ada kok, Rin.”

“Kenapa gak di UKK aja, sih?” tanya Rin.

“Enggak enak banget gue, anjir,” balas Isagi. “Orang-orang dalem sana lagi pada sakit, masa kita asik makan?”

“Lo mah terlalu mikirin kepentingan orang.”

Isagi cuma cengengesan.

Itoshi Rin sendiri memilih untuk tidak memaksa lebih lanjut. Toh, meskipun gerutuan tadi terlontar, Rin — kurang lebih — telah memahami tabiat sang teman semasa kecil. Dari dulu seorang Isagi Yoichi memang begitu-begitu saja. Tidak berubah.

“Lagian,” Isagi menambahkan, “Gue pengen beli permen karet.”

Rin pun mengiyakan, “Ya udah.”

Tidak sama dengan sang teman seperjalanan, Rin tidak menaruh terlalu banyak perhatian terhadap orang-orang. Langkah-langkah tegas hanya fokus melintasi lapangan luas. Tujuan utama mereka, tangga menuju kafetaria.

Sayang.

Tidak berlangsung lama.

Sekelompok mahasiswa semester akhir melangkah dari arah berlawanan, kemudian serta-merta menubruk Rin. Langkah-langkah lebar nan terburu-buru membuat tubrukan tersebut terasa begitu kuat. Perbedaan bobot tubuh si bungsu Itoshi dan sekelompok mahasiswa itu pun turut memperkeruh kecelakaan.

Tidak tanggung-tanggung, Rin berakhir jatuh terduduk. Pula, terkaget.

“Lah!” Isagi buru-buru membantu Rin, “Lo gapapa, Rin?”

“Gue ga — ”

“LU GAK PUNYA MATA, JING?”

Teriakan nyaring membuat tanggapan atas pertanyaan Isagi terputus. Mulai, deh, pikir Rin. Masalah lagi, masalah lagi. Tampak telah terbiasa dengan adegan-adegan klise seperti sekarang. Pemikiran itu bertambah suram pula sewaktu Rin mendapati, bahwa sekelompok mahasiswa itu ternyata berasal dari seksi acara OSPEK; Rin, sontak, berubah muram.

Ini kan kating-kating sok keras yang bikin orang-orang tumbang pas apel?

Pemimpin dari sekelompok mahasiswa semester akhir itu kembali menghardik, “Sekarang lu harus minta maaf sama gua! Minta maaf gak lu?”

Sorry,” Rin, tentu saja, tidak mau kalah, “Tapi bukan gue yang sa — ”

“Tolong maafin kami, Bang!”

Tidak membiarkan keributan baru terjadi usai insiden tumbang massal, untung saja, Isagi Yoichi masih mampu berpikir dan bertindak cepat. Tepat setelah meminta maaf kepada mahasiswa-mahasiswa semester akhir itu, Isagi segera menekan puncak kepala Rin; Rin dipaksa untuk ikut menunduk dalam.

“Lo apaan sih, Isagik?” desis Rin, murka.

Plis, lo nurut aja, anjing,” bisik Isagi. “Lo mau kena masalah lagi?”

“Kok malah temen lu yang minta maaf? Lu budek, ya?”

Malas berdebat panjang dengan Isagi, jujur saja, Rin berusaha untuk menenangkan emosi. Akan tetapi, sudah terlanjur disaksikan oleh begitu banyak mahasiswa lain, lawan mereka justru ngelunjak. Melalui pinggiran rongga-rongga mata, terpampang dengan cukup jelas, bahwa salah seorang dari mereka — sembari tertawa mengejek — hendak menuangkan sisa minuman kaleng ke atas kepala Rin.

Isagi, panik, mengangkat kepala. Tangan kanan terulur untuk menepis minuman kaleng tersebut. Lamun, seseorang bertindak lebih cepat untuk menolong Rin.

Minuman kaleng tertepis kuat. Terlempar, membuat semua orang tercengang-cengang.

“Mereka udah nunduk buat minta maaf,” suara nan familiar menukas perdebatan sia-sia mereka, “sekarang lo balik ke urusan lo lagi. Simpel, kan?”

Rin buru-buru mengangkat kepala. “Abang?”

“Bang Sae!?” seru Isagi.

Tanpa peduli dengan perbedaan tinggi mereka, Itoshi Sae melangkah maju, kemudian berdiri di hadapan Rin dan Isagi. “Kating, apalagi panitia OSPEK, gak punya agenda buat jajan. Mereka lagi kerja. Apalagi lo-lo semua, biang dari insiden tumbang massal ini. Kerja.”

“Lu, bajingan,” Tidak terima dengan segenap kenyataan yang baru menampar wajah mereka, mereka mulai terdengar sangat gelagapan, “berani-beraninya lu, Sae! Awas aja lu!”

Rin pikir perkelahian bakal terjadi; Rin sudah siap, ngomong-ngomong. Namun, sebelum semua itu terjadi, akibat pandangan-pandangan penuh sangsi dari semua orang yang tidak terlibat, malu, sekelompok mahasiswa bermasalah itu memutuskan untuk segera melarikan diri. Rin dan Isagi hanya menengok. Tidak berniat melakukan apa pun lagi. Demikian pula dengan Sae.

“Cek pengumuman. OSPEK hari terakhir resmi dibubarkan,” Sae memberitahu dengan nada datar, kemudian menepuk sekali pundak Rin dan Isagi, “Sarapan. Habis itu, kalian boleh pulang.”

Begitu saja.

Sae pun segera berlalu. Lanjut kerja.

Seperti belum sanggup lepas dari insiden kecil barusan, baik Rin dan Isagi, hanya mengangguk kaku. Punggung si sulung Itoshi menjauh seiring masa berlalu. Ketika menyaksikan itu, satu hal lantas muncul dalam pikiran Rin. Hanya satu.

Gak pernah berubah. Abangku keren banget.

--

--