Kopi Susu Pertama; Proses Belajar

Dera Komalasari
5 min readJul 7, 2023

--

Sc: Pinterest @anju_april

Hallo semuanya! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, apapun, semuanya berlaku karena tulisan ini boleh dibaca kapanpun dan oleh siapapun.

Selamat datang di villa hangatku! Kebetulan sekali, hari ini aku membuat kopi susu yang biasanya membantuku untuk tetap fokus belajar. Menurutku, tidak terlalu manis, tidak juga terlalu pahit. Ah… tapi selera orang beda-beda ya. Kalau begitu, silakan kamu icip icip sendiri saja ya. Selamat menikmati dan semoga sesuai seleramu.

Hari ini aku membaca buku (lagi). Kenapa “lagi”? karena aku sudah lama sekali tidak membaca buku. Aku mogok membaca. Alasannya, karena mindset ku sempat error kemarin. Hah? Mindset error? Memang bisa? Bisa dong. Seperti punyaku ini hahaaa. Aku biasanya berhenti membaca jika sedang banyak tugas kuliah. Aku pikir, “daripada baca buku, mending aku ngerjain tugas. Kalau aku bisa baca buku, maka aku juga harusnya bisa mengerjakan tugasku. Wasting time.” Tapi akhirnya, baca buku, nggak. Ngerjain tugas juga nggak. Ngapain dong? Ya main handphone, scroll Tiktok, Twitter, Instagram. Apa itu bukan wasting time? Jelas wasting time. Itulah kenapa aku bilang mindset ku error, karena berpikir bahwa membaca buku saat banyak tugas adalah wasting time, sedangkan scroll sosmed bukan wasting time. Jangan ditiru ya, perempuan ini memang kadang agak lain.

Tapi itu bukan fokus yang mau aku perbincangkan sekarang.

Buku yang kubaca sekarang adalah buku karya Tere Liye yang berjudul “Rasa”. Belum tamat membacanya, tapi aku ingin cepat-cepat membagikan buah yang sudah ku petik hari ini, takut-takut malah membusuk, nanti tidak bisa aku bagikan dan tidak bisa kamu nikmati juga.

Sampai detik ini, aku jatuh cinta pada dua bab dalam buku ini. Pertama, bab “Tidak Ada Kata Mudah dalam Belajar”. Kedua, bab dengan judul “Bangga dengan Proses Belajar”. Aku tidak ingin memberi spoiler, tapi inti dari ke-dua bab itu adalah, “hal yang paling penting dalam belajar adalah mengamati”, kemudian bagaimana kita bisa menghargai proses belajar sehingga kita tidak hanya bangga dengan hasil belajar, tapi juga bangga dengan proses belajar yang kita lalui.

Dalam bab ini, aku merasa relate dengan salah satu tokoh bernama Tommy. Di mana aku terlalu bangga dengan predikat yang pernah aku raih di masa lalu. Kebanggaan itu membuat aku stuck di tempat yang sama, tidak berkembang, malah membatu, dan semakin layu. Aku terlalu sombong dan merasa bisa. Sampai lupa bahwa aku bukan kepompong yang meskipun dia hanya diam menggantung di suatu tempat, dia tetap bisa berkembang dan tumbuh menjadi kupu-kupu yang indah. Aku tidak bisa seperti itu. Aku manusia biasa, aku harus bergerak, aku harus berusaha, aku harus mencoba agar bisa upgrade dan tidak stuck di situ situ saja.

Aku analogikan dengan belajar menulis. Untuk menjadi penulis hebat, aku perlu belajar dan latihan. Apakah cukup dengan latihan menulis? tidak. Tentu harus diiringi dengan membaca. Tapi apakah cukup dengan menulis dan membaca? Masih belum cukup. Lalu bagaimana? Harus dibumbui lagi dengan mengamati. Jika membaca sekedar membaca, semua orang juga bisa. Tapi mengamati, tidak semua orang bisa dan mau. Jika ingin pandai menulis, tentu kita harus banyak membaca extra mengamati. Mengamati gaya penulisannya, diksi yang digunakan, struktur penulisan, bagaimana agar pembaca merasa nyaman membaca tulisan kita, bagaimana agar kita dapat menghipnotis pembaca untuk mau duduk berlama-lama membaca tulisan kita.

Oke, baik. Aku akan menceritakan sedikit tentang ke-relate-an ku dengan si Tommy itu. Aku pernah menerima kejuaraan dan scholarship saat duduk di bangku kelas 2 MAN. Dua hal itu sama-sama berfokus pada kepenulisan ilmiah dan essay. Tentu aku merasa bangga, dan mengclaim bahwa menulis adalah keahlianku. Tapi setelah itu, apakah aku meraih kejuaraan lagi? Apa aku dapat scholarship lagi? Tidak sama sekali, sampai saat ini. Aku gagal lagi, gagal lagi, gagal terus. Kenapa? Apa karena aku tidak berusaha? Tentu aku berusaha, aku belajar, terus menulis, lagi, lagi, dan lagi. Tapi tetap gagal. Aku membaca. Aku membaca banyak essay dari seniorku. Aku membaca banyak essay yang katanya essay itu pengantar mereka pada kemenangan. Tapi tetap gagal. Kenapa? Karena aku hanya sekedar membaca, tidak mengamati. Aku tidak mencoba memahami tulisan-tulisan essay super power itu. Aku hanya membaca dan kemudian menulisnya lagi dengan gaya yang sama. Maka tidak heran jika lagi lagi aku gagal. Aku terlalu bangga dengan predikat di masa lalu, dan akhirnya aku tidak berkembang. Mentok lagi, mentok lagi.

Maka, hari ini aku menemukan jalan baru. Aku harus mencoba mengamati tulisan-tulisan super power itu. Mulai dari mengamati tentang mengapa harus diawali dengan kata inilah, itulah, mengapa setelah membahas topik ini dilanjut dengan topik itu, mengapa menggunakan kata ini bukan itu, mengapa aku tidak boleh menyinggung hal ini hal itu, semuanya. Aku harus mengamati paragraf demi paragraf, kalimat demi kalimat, kata demi kata, sampai mengamati huruf demi huruf.

Bahkan, menurut Albert Bandura pun tahap pertama dari proses belajar adalah attention, memberi perhatian, memperhatikan, mengamati. Kemudian retention, menyimpan dalam ingatan. Lalu reproduksi, bagaimana kita mereproduksi yang kita simpan dalam ingatan menjadi suatu hal yang baru. Dan terakhir motivasi. Untuk melewati semua tahapan itu, mengamati adalah hal pertama yang harus dilakukan, karena memang sepenting itu. Ingat, mengamati itu penting. Jika tidak mengamati dulu, apa yang akan kita simpan di otak kita? Apa yang akan kita reproduksi dari otak kita? Kemungkinan tidak ada.

Kemudian, bab favorit kedua-ku berbicara tentang “Bangga dengan Proses Belajar”. Dulu aku juga tidak bangga dengan proses yang aku jalani, aku hanya bangga dengan kemampuanku yang mungkin hanya sebesar belek mata. Aku hanya bangga pada predikat yang aku raih, yang mungkin bisa saja itu adalah sebuah kebetulan. Padahal mungkin sebenarnya aku punya potensi untuk menjadi penulis berbakat jika aku mau. Tapi aku malah menurup mata. Memang dasar perempuan ini agak batu. Padahal, jika aku bisa menghargai prosesku, mungkin itu akan membuatku merasa lebih cukup dengan semua yang telah aku dapatkan. Bagaimana agar aku lebih berorientasi pada proses bukan pada hasil. Tidak masalah jika belum bisa menjadi pemenangnya, yang penting aku bangga dengan prosesku, aku bangga dengan usaha terbaikku. Karena bangga terhadap proses belajar lebih bernilai daripada mendapat kejuaraan sepuluh sekalipun. Kata Tere Liye, “ kebanggan atas sebuah proses belajar, itu bisa mengalahkan bakat sebesar apa pun”. Jadi mulai sekarang, aku juga akan berusaha untuk bangga atas proses belajar yang aku lalui, aku akan berusaha bangga dengan usaha terbaikku sekalipun hasilnya nihil lagi nihil lagi.

Oh iya, aku dapat buah lebih, rasanya manis, segar, dan tentu menyehatkan. Begini buahnya,

“ Orang-orang yang bahagia adalah orang yang bangga atas proses belajar itu. Dan orang-orang yang amat bahagia adalah orang-orang yang bangga dengan proses belajar, sekaligus terlibat dalam proses belajar orang lain.” — Tere Liye, dalam bukunya, “Rasa”.

Hey! aku tidak ingin kopiku terasa berat untuk kamu nikmati, aku tidak ingin membuatmu merasa pening. Jadi, aku harap kopi ku ini bisa kamu nikmati dengan ringan dan membuatmu lebih rileks. Terima kasih sudah menikmati kopi susu buatanku ya. Bagimana rasanya? Terlalu manis? Atau mungkin terlalu pahit? hambar? Atauuu justru sesuai seleramu? Heheee, lain kali mampir lagi ya, siapa tau saat itu aku sedang menyajikan kopi susu yang lebih nikmat untukmu atau mungkin minuman lain yang dapat membuatmu jatuh cinta xixixi

Ciputat, 06 Juli 2023

--

--