Jakarta Datang, Cile Tak Kunjung Sambang

Dhianita Kusuma Pertiwi
6 min readMar 5, 2023

Juni 1970. Seorang anak perempuan yang baru berusia sembilan tahun ikut berjejal di tengah kerumunan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan penghubung Malang–Blitar. Ia adalah salah satu dari ribuan masyarakat Indonesia yang ingin melihat Sukarno untuk terakhir kalinya–walaupun hanya di dalam mobil jenazah.

Pada saat yang sama, ia menyimpan kerinduan yang tidak tertahan untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah empat tahun tidak ditemuinya di rumah. Terakhir kali melihat wajahnya, laki-laki itu sudah tidak lagi seorang pegawai Kotapraja, melainkan seorang tahanan politik yang meringkuk di salah satu penjara di kota Malang, Jawa Timur. Tapi itu adalah cap yang diberikan oleh satu kekuatan besar yang tidak bisa diraih seorang anak yang bersekolah di kampung.

Laki-laki itu sampai kapanpun akan terus ia anggap sebagai ayahnya, dan Sukarno akan terus menjadi sosok yang dikaguminya–bahkan sampai saya, putrinya, memasuki usia kepala tiga.

Namun ia mengaku tidak pernah mendengar nama Salvador Allende yang meninggal tiga tahun setelah kematian Sukarno. Bahkan ia tidak ingat materi Sejarah Dunia yang diperolehnya saat sekolah pernah membahas tentang sejarah negara Cile. Tidak juga Kuba. Atau Guatemala.

Saya terdiam di tengah pembicaraan melalui telepon itu untuk mengingat-ingat kembali pelajaran Sejarah yang saya dapatkan selama sekolah–notabene di era pasca kejatuhan Orde Baru. Saya pun menyadari bahwa saya juga tidak mengenal Allende, Che Guevara, atau Jacobo Árbenz dari buku-buku sejarah yang menjadi materi ajar di sekolah.

Sebaliknya, saya ingat betul dengan penjelasan tentang Amerika Serikat sebagai negara Paman Sam. Bukan Amerika Serikat dengan CIA-nya. Bukan Amerika Serikat yang punya andil dalam kejatuhan Sukarno, dalam pelanggaran HAM yang dialami ratusan ribu jika tidak jutaan masyarakat Indonesia–termasuk kakek saya–, dalam menjadikan negara ini berada dalam cengkeraman militerisme selama tiga dekade.

April 1955. Tenang, guru Sejarah saya masih menceritakan tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai salah satu momentum bersejarah yang berlangsung pascakemerdekaan Indonesia. KAA merupakan peristiwa yang penting bagi Indonesia sebagai negara yang baru saja berdaulat.

Belum berumur satu dekade, Indonesia mampu mengumpulkan delegasi dari 29 negara di kawasan Asia dan Afrika yang mewakili 54% populasi dunia di tengah gejolak Perang Dingin yang membagi dunia menjadi Blok Barat dan Blok Timur, masing-masing “dipimpin” oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno menyatakan diri tidak bersekutu dengan kedua kubu atau menjadi negara non-blok.

Sebatas itu saja yang diajarkan kepada saya dan pelajar Indonesia yang seumuran dengan saya, generasi yang lahir di ambang kejatuhan Orde Baru.

Sementara itu, saya sebenarnya sudah kehilangan kepercayaan dengan pelajaran Sejarah di sekolah. Karena tidak ada satu pun penjelasan dalam buku materi atau penuturan guru-guru saya yang membahas tentang kehidupan yang dialami oleh kakek dan paman saya sebagai orang yang dituduh punya keterkaitan dengan Gerakan 30 September, nasib ibu saya dan kedua saudarinya bertahan tanpa seorang ayah di rumah, atau kisah-kisah kecil lainnya yang terserak dari Sabang Merauke yang digadang-gadangkan sebagai satu kesatuan Republik Indonesia.

Saya cukup yakin pembatasan pada materi sejarah yang berkaitan dengan Perang Dingin masih berkaitan juga dengan narasi yang ingin dibentuk oleh rezim Orde Baru dan pemerintah saat ini terkait G30S dan operasi pemberantasan komunisme yang dilakukan militer Indonesia dengan dukungan dan sokongan CIA. Pembatasan yang membekukan relasi Indonesia dan Cile, sehingga Jakarta dikenal sebagai sebuah ancaman.

Januari 1972–September 1973. Semangat perlawanan terhadap kolonialisme, imperialisme, dan neokolonialisme, serta solidaritas antarbangsa dunia ketiga yang digelorakan oleh KAA sudah tidak lagi terasa di Bandung, Jakarta, ataupun di bumi Indonesia.

Semuanya sudah digantikan oleh propaganda antikomunisme serta stabilitas ekonomi, sosial, dan politik yang dikampanyekan rezim Orde Baru. Sementara itu, tembok-tembok kota Santiago mulai dihiasi dengan mural “Yakarta viene”, “Jakarta se acercara”, yang berarti “Jakarta datang”, atau hanya “Jakarta”. Jika mural-mural tersebut muncul pada 1950-an atau awal 1960-an, pesan yang ditangkap oleh masyarakat Cile adalah optimisme untuk membangun negara demokrasi bernafaskan sosialisme. Namun, dalam konteks 1970-an, pesan tersebut mengimplikasikan hal yang sebaliknya.

Cile, yang sudah menjadi negara demokrasi sejak 1932, menjadi sasaran berikutnya dari operasi penghancuran negara-negara yang condong ke sosialisme dan komunisme oleh CIA. Teknik yang digunakan serupa dengan yang diimplementasikan di Indonesia, yakni mengguncang kepemimpinan presiden pro-sosialis dan menempatkan militer di tampuk kekuasaan. Di Indonesia, Sukarno akhirnya meninggal didekap sepi sebagai seorang buangan. Tiga tahun kemudian, Allende mengakhiri hidupnya dengan cara yang dapat dikatakan ‘performatif’–mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol ke kepalanya di istana La Moneda yang dikepung militer setelah menyampaikan pidato terakhirnya yang ditutup dengan:

“Estas son mis últimas palabras y tengo la certeza de que mi sacrificio no será en vano, tengo la certeza de que, por lo menos, será una lección moral que castigará la felonía, la cobardía y la traición.”

“Inilah kata-kata terakhir saya, dan saya yakin bahwa perjuangan saya tidak akan cuma-cuma, saya yakin bahwa paling tidak, akan ada pelajaran moral yang akan menghukum orang-orang jahat, pengecut, dan pengkhianat.”

Kejatuhan Allende mengantarkan Cile pada operasi pemberantasan komunisme di bawah pimpinan Augusto Pinochet, layaknya yang dialami Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto. Operation Condor dimulai pada 1975 di Cile, bertepatan dengan Operasi Seroja di Timor Leste yang dilancarkan rezim Orde Baru dengan kebohongan tentang ancaman komunis.

1990–2023. Indonesia dan Cile mencatat Soeharto dan Pinochet sebagai diktator sekaligus kepala negara terlama dalam sejarah kedua negara tersebut, masing-masing 32 tahun dan 17 tahun. Selama periode kepemimpinan mereka, berlangsung sejumlah operasi militer yang mendukung dan menyukseskan misi CIA untuk menghapuskan komunisme dari muka bumi dan menyokong neokolonialisme Amerika Serikat.

Kejatuhan Orde Baru pada 1998 dan kematian Pinochet pada 1990 menjadi titik penting dalam perjalanan kedua negara tersebut, membangkitkan kembali harapan dan mimpi masyarakat akan tatanan negara demokratis, akan pemerintah yang akan mengakhiri kebohongan dan membuka kebenaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya sendiri dengan dukungan negara lain.

Namun, rupanya tidak semudah itu. Paham dan praktik antikomunisme yang dicekokkan selama lebih dari tiga dekade meninggalkan jejak yang sangat dalam dan panjang. Hantu komunisme masih bergentayangan di mana-mana, dipanggil dan dibangkitkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Hasil dan rekomendasi Peradilan Rakyat 1965 ditolak mentah-mentah. Peraturan baru disahkan semata sebagai kamuflase belaka.

Sementara itu, Cile telah menerbitkan Rettig Report pada 1990 sebagai wujud komitmen pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Patricio Aylwin tidak membutuhkan banyak waktu setelah terpilih pada pemilu 1989 untuk membentuk tim kebenaran dan menyusun laporan atas pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahan Pinochet.

Dalam pidato pengumuman hasil laporan tersebut, Aylwin menyampaikan permintaan maafnya kepada masyarakat, dan meminta pihak militer untuk melakukan hal yang sama. Publikasi laporan tersebut kemudian disusul dengan pelaksanaan sejumlah rekomendasi, salah satunya mencabut imunitas parlemen Pinochet. Ia meninggal sebagai seorang tahanan rumah, alih-alih seorang jenderal besar yang sampai hari ini oleh beberapa pihak masih dirindukan jamannya yang penak.

Tiga–empat generasi. Cerita masa lalu anak perempuan yang berdiri di antara kerumunan pelayat Sukarno terus saya bawa ke manapun saya pergi, sesekali saya buka dan bagikan layaknya bekal perjalanan. Tidak sekali dua kali saya bermimpi sepotong kisah itu terselip di antara narasi tentang pembunuhan para jenderal yang dicetak di buku teks mata pelajaran Sejarah.

Tapi selama kepalsuan terus melingkupi, mungkin ia memang tidak akan terdengar layaknya kisah Clara del Valle yang diceritakan dalam La Casa de Los Espiritus (The House of the Spirits, 1982). Karya Isabel Allende, keponakan Salvador Allende, yang menceritakan kisah empat generasi keluarga Trueba tersebut telah masuk dalam kurikulum pendidikan di Cile.

Jakarta pernah datang ke Cile, dan sampai hari ini kita masih menolak untuk disambanginya, masih enggan untuk sembuh.

Tulisan ini telah saya presentasikan pada Seminar Indonesia Menggugat Penggulingan Soekarno pada 4 Maret 2023 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Dokumentasi paparan dapat disimak di sini.

--

--