Membaca

Diana Nurwidiastuti
4 min readMar 5, 2016

--

Saya ingat, itu adalah masa pasca-krismon 97, dan saya tinggal bersama nenek saya di sebuah desa kecil, puluhan kilometer jaraknya dari kota kabupaten. Di desa itu, berjarak beberapa rumah dari rumah nenek, ada sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang kembang kempis karena lebih banyak orang tua yang memilih menyekolahkan anak-anaknya di SD Negeri, meski agak jauh. Murid-murid MI yang tak seberapa itupun lantas lulus satu per satu, MI tak lagi menerima murid baru, dan akhirnya kegiatan belajar mengajar pun terhenti. Gedung lantas beralih fungsi menjadi tempat mengaji kala sore hari, dengan guru-guru yang dibayar seikhlas hati.

Seperti sekolah pada umumnya, MI tersebut memiliki perpustakaan. Jangan bayangkan perpustakaannya seperti perpustakaan sekolah saat ini, apalagi perpustakaan UI. Buku-buku yang ada di sana umumnya buku-buku pelajaran yang dipakai turun-temurun oleh para siswa, serta buku-buku bacaan terbitan Balai Pustaka yang disuplai pemerintah.

Saya tidak bersekolah di sana, tapi cukup tahu buku-buku yang ada karena ditinggalkan begitu saja di ruang yang dulunya adalah ruang guru. Ketika gedung itu mangkrak, anak-anak menjadikannya tempat bermain, dan otomatis apapun yang ada di sana berubah menjadi mainan. Termasuk buku-buku tersebut.

Ayah saya dulu bersekolah di MI tersebut. Rupanya, beberapa buku yang disimpan di lemari rumah nenek adalah buku-buku yang berasal dari perpustakaan MI. Entah pernah dipinjam tanpa dikembalikan atau bagaimana, nyatanya ada beberapa buku yang berstempel perpustakaan MI teronggok di lemari.

Ingatan saya agak kabur tentang hal ini. Apakah saya pernah mengambil buku dari perpustakaan mangkrak tersebut, atau mendapatkannya dari lemari nenek, nyatanya ada beberapa buku yang saking susahnya memperoleh bacaan masa itu, saya baca berulang kali. Meski saat saya ingat-ingat sekarang isinya tak menarik sama sekali, tapi saat itu rasanya itu bahan bacaan yang sangat berharga.

Karena itu saya paham antusiasme anak-anak di daerah terdepan dan pedalaman saat melihat begitu banyak buku yang bisa mereka baca, dengan warna-warni yang menggugah selera mata. Saya pernah berada di posisi itu. Dulu. Sedihnya, belasan tahun kemudian masih ada yang merasakannya.

Saat itu, ada satu buku cerita yang isinya masih saya ingat sebagian. Buku itu menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan single parent yang menjadi tukang ojek demi menghidupi anak-anaknya. Suatu ketika, si ibu ojek ini hampir dirampok oleh penumpangnya, tapi berhasil digagalkan setelah si ibu melihat gelagat mencurigakan penumpangnya lewat kaca spion. Saat membaca itu, saya ngeri membayangkan jika hal tersebut terjadi pada ayah saya, yang juga seorang tukang ojek. Saya selalu berharap ayah saya seberuntung si ibu ojek ini. Hal random lain yang saya ingat dari buku cerita itu adalah resep menghilangkan ketombe dengan kangkung.

Saya rasa, di situlah awal mula saya senang membaca. Bagi saya, membaca adalah berjalan-jalan ke dunia lain, kehidupan lain, merasakan jadi orang lain. Bagi anak kampung seperti saya, hal itu menghibur sekali.

Titik penting kedua terjadi semasa saya SMK. Saya kembali tinggal bersama orang tua saya, dan bersekolah di Jakarta. Saat itu, SMK saya baru saja mendirikan rohis. Saya bergabung di dalamnya, dan mengenal Majalah Annida. Kebetulan perpustakaan sekolah kami melanggannya. Saya suka sekali majalah tersebut karena menampilkan beberapa cerpen dan cerita lainnya dalam satu edisi. Annida bahkan menerbitkan beberapa edisi khusus yang berisi cerpen-cerpen pilihannya. Inilah awal saya menyukai dunia fiksi dan sastra Indonesia, dan mulai mengenal beberapa nama penulis yang rajin menulis di sana: Asma Nadia, Pipit Senja, Gola Gong, dan Joni Ariadinata.

Kemudian memasuki bangku kuliah, kegemaran ini mulai mendapat angin segar. Perpustakaan FIB dan perpustakaan pusat UI (kala itu belum digabung) memiliki cukup banyak koleksi karya sastra Indonesia populer. Berkenalanlah saya dengan Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa penulis kondang lain.

Lalu setelah mulai bisa mengumpulkan uang, kegemaran itu membuat saya juga gemar membeli buku-buku fiksi. Saya bahagia sekali saat berada di toko buku, sekaligus sedih karena hanya bisa membeli satu-dua buku yang menurut saya menarik. Karena itu, frasa "buku diskonan" adalah salah satu hal yang paling saya suka di dunia.

Makin ke sini, makin banyak penulis Indonesia yang saya suka karya-karyanya. Eka Kurniawan, M Aan Mansyur , Puthut EA, Makhfud Ikhwan, adalah beberapa penulis yang mencuri perhatian saya setahun belakangan. Semakin mau membaca, kita akan makin banyak tahu bahwa banyak orang yang berbakat sekali menulis dan bercerita dengan baik dan asik.

Saya suka membaca, tapi masih sedikit sekali usaha saya untuk menulis. Padahal saya sudah kerap sekali membaca tentang pentingnya menulis, dan asiknya menjadi penulis.

Sementara ini saya ingin menjadi pembaca dulu. Setidaknya berusaha menjadi pembaca yang baik. Pembaca yang baik itu seperti apa ya? Menurut saya sih yang menyukai apa yang dibacanya. Kalau menurutmu?

--

--