The Eternal Love

# an
11 min readDec 31, 2022

--

“9…”

“10! Bingo!

Rafasya tersenyum menang saat prediksinya berhasil mengenai sasaran. Tepat di hitungan ke-10, pintu kamar kostnya diketuk oleh seseorang — yang tentu ia yakini adalah Gamael. Dengan antusias, ia bawa kedua tungkainya sendiri untuk menyambut Gamael, membawanya dengan sedikit tergopoh-gopoh karena hatinya sedang berbunga seolah lupa bahwa dirinya sempat dilanda kesedihan hingga membuatnya menangis semalaman suntuk.

“Kak Gama!” serunya riang lantas tanpa banyak pikir langsung ia tubrukkan badannya sendiri ke dalam dekapan yang lebih tua, seolah tak takut akan adanya kemungkinan untuk terjatuh.

Gamael sendiri yang diberi serangan mendadak untungnya langsung sigap menyeimbangkan tubuhnya sendiri, berhasil menghalau pantatnya untuk menyapa lantai dingin yang sedang ia pijak. Salah satu tangan kiri yang tadinya sedang sibuk menggenggam gagang koper berukuran sedang dengan warna yang senada dengan legam surainya mau tak mau langsung segera beralih, mengangkat pinggang Rafasya dengan bantuan tangan yang lain hingga kini bocah itu sudah berada dalam gendongan ala koalanya.

“Kebiasaan,” decaknya pelan — yang tentu diabaikan begitu saja oleh yang lebih muda. “Turun dulu. Gak enak kalau dilihat sama yang lain,” peringatnya. Namun sayang, Rafasya terlihat begitu enggan untuk beranjak sehingga lagi dan lagi Gamael dibuat mendesah karenanya. Tak mau menghabiskan banyak waktu di luar, juga terlalu keberatan apabila ada pasang mata lain yang menyaksikan bagaimana intim keduanya, Gamael putuskan untuk beranjak sendiri. Dengan susah payah, ia bawa tubuh Rafasya sembari menggeret kopernya untuk masuk ke dalam kamar kos milik pemuda tersebut lantas menutup kembali dahan pintu yang tadinya terbuka lebar.

“Masih gak mau turun?”

Gelengan ribut yang ia dapat tentu membuatnya kembali menghela napas. Dengan hati-hati, ia dudukkan dirinya sendiri di atas kasur Rafasya, membuat posisi Rafasya kini sepenuhnya berada di atas pangkuannya.

“Kangen!”

Rengekan tersebut sontak membuat Gamael terkekeh pelan. Tangannya mampir sebentar untuk menyentil kening yang lebih muda sebelum akhirnya bertengger sepenuhnya di pinggang ramping yang selalu menjadi kesukaannya. “Kemarin aja sok-sokan marah. Udah gitu nangis lagi. Dasar cengeng!” sindirnya.

Rafasya yang disindir tentu saja mencebik tak terima. “Lagian lo juga gak jelas!” elaknya.

Gamael terkekeh lagi, kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. “Lo juga ada-ada aja. Gampang banget ngambeknya,” ujarnya memberi serangan. “Badan gue bau. Habis flight dari Balikpapan langsung ke sini.”

Rafasya mengangguk, begitu mengerti jika Gamael sedang tidak nyaman karena pemuda tersebut terlalu gila akan kebersihan. “Mau mandi sekarang? Gue siapin bajunya, ya,” tawarnya lantas turun dari pangkuan yang lebih tua, beranjak untuk mengambil handuk bersih dari dalam lemari besar yang berada di pojok kamar.

“Baju lo masih ada yang bersih gak di koper? Apa mau pakai baju yang dari sini aja?” tanyanya sejurus kemudian setelah menyerahkan handuk tersebut kepada Gamael.

“Baju gue di sini masih ada, ‘kan?”

Rafasya kembali mengangguk mengiyakan. “Yaudah sana mandi dulu. Water heaternya jangan lupa dinyalain biar gak dingin-dingin banget,” peringatnya yang lantas dituruti oleh yang lebih tua.

Setelah menaruh satu pasang baju tidur untuk Gamael di atas kasur dengan begitu rapi, Rafasya lantas beranjak menuju nakas untuk mengambil gawai yang tergeletak di atas sana, berinisiatif untuk memesan makanan sehingga Gamael bisa mengisi perutnya setelah selesai dengan urusannya di dalam kamar mandi.

Tepat tiga menit setelah ia terima pesanan yang diantarkan, Gamael telah selesai untuk membersihkan diri. Pemuda tersebut keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang dan menutupi area vital hingga jatuh beberapa senti di atas lutut. Walaupun bukan pemandangan yang asing untuk dilihat, semburat merah tetap saja muncul menghiasi pipi Rafasya kala kedua maniknya mendapat dada bidang yang sengaja dipamerkan oleh yang lebih tua.

“Anjing!” umpatnya pelan sembari mengalihkan atensinya ke arah lain.

“Mana baju gue?”

“Buta mata lo?” tanyanya retoris dengan nada sedikit sarkastik, khas Rafasya saat dirinya tengah dilanda kegugupan.

Gamael yang melihat tersebut lantas mengernyit, sedikit terheran akan respon terlampau berlebihan yang ia dapatkan. “Ya diambilin dong, Raf,” pintanya yang sarat akan perintah.

“Manja banget sih lo!” erangnya dengan jengkel. Meski begitu, Rafasya tetap beranjak dari duduknya, mengambil satu pasang baju tidur yang sudah ia siapkan sebelumnya lantas memberikannya kepada Gamael yang sedang berdiri di depan pintu kamar mandi. “Padahal ambil sendiri juga bisa! Badan lo gede doang, tapi manja banget! Lain kali jalan sendiri, jangan suka nyuruh gue — ”

“Sekalian lo pakaiin baju gue aja, Raf. Biar puas ngomelnya,” potongnya sejurus kemudian karena terlalu pengang mendengar bagaimana ranum setipis itu mampu mengeluarkan begitu banyak rentetan protes.

“Ogah!”

Gamael terkekeh. Entah apa yang sedang bergelayut dalam pikirannya, pemuda tersebut memutuskan untuk sedikit menggoda. Ia tahan pergelangan tangan Rafasya yang tadinya hendak beranjak pergi dari sana, menariknya dengan sedikit tenaga hingga tubuh yang lebih muda terhuyung lebih dekat ke arahnya. Kepalanya mendekat, sedikit menyeringai lantas berbisik dengan nada suara yang sengaja dibuat lebih rendah, “yakin lo gak mau lihat gue telanjang?”

Kedua maniknya membola. Di lain sisi, Rafasya sudah sepenuhnya yakin bahwa kini mukanya telah memerah bak kepiting rebus yang baru saja diangkat dari tungku perapian. “A-apa-apaan sih lo!” teriaknya frustasi lantas mendorong tubuh tegap tersebut untuk masuk kembali ke dalam kamar mandi. “Gak jelas, anjing!” geramnya sebal setelah dirinya berhasil membanting dahan pintu kamar mandi yang sudah seharusnya tertutup.

“Ah, bangsat!”

Lagi dan lagi, ia kembali berteriak frustasi. Jantungnya enggan untuk berdetak secara normal hingga membuat perutnya melilit tak karuan. Efek yang dihantarkan oleh Gamael memang seberpengaruh itu untuk dirinya sendiri. Dengan langkah gontai, ia dudukkan kembali daksanya di atas kasur. Tangan yang tadinya mencengkram erat bagian dadanya kini malah beralih sepenuhnya untuk mengusak wajahnya sendiri dengan sedikit kasar.

Kalau dipikir-pikir, hubungannya dengan Gamael memang belum sejauh itu hingga membuat keduanya tak lagi canggung apabila membicarakan hal-hal yang berbau terlalu eksplisit. Gamael memang orang yang sangat berprinsip dan Rafasya sendiri menghargai keputusan yang dibuat oleh Gamael untuk tidak melakukan hal yang lebih dari sekedar pelukan atau ciuman ringan yang sesekali hanya mampir di pipi dan dahi masing-masing saja. Meski sudah menghabiskan empat bulan penuh untuk saling berbagi dan mengenal pribadi satu sama lain, mereka sama sekali belum pernah bercumbu.

Pernah suatu ketika Rafasya bertanya mengapa pemuda yang lebih tua darinya tersebut tak mau memberi satu kali kecupan singkat di atas belah ranumnya, membayangkan jika pemuda yang lebih tua itu akan memberinya sebuah cumbuan mesra setelah pertanyaan tersebut terlontar. Namun, yang Rafasya dapati hanyalah jawaban ‘nanti’ yang tak pernah berujung. Walaupun demikian, dirinya tak pernah mengambil hal tersebut sebagai sesuatu yang harus ia pusingkan. Sudah terbilang lebih dari cukup dengan Gamael yang berada di sisinya, menemaninya dalam sebuah hubungan semu yang tak tahu bagaimana kejelasannya.

“Rafasya?”

Lamunannya buyar kala sosok tersebut memanggil namanya. Ia menoleh ke belakang, menaruh atensinya lantas mengangkat salah satu alisnya, “apa?”

“Ada yang mau gue omongin.”

Rafasya beranjak dari tempatnya duduk, lantas menghampiri Gamael yang sudah duduk di salah satu sisi ranjang yang lain setelah mendapati gestur yang mengisyaratkannya untuk mendekat.

“Duduk di sini aja.”

Walau sedikit terperangah karena terhitung sangat amat jarang sekali Gamael meminta sesuatu seperti ini, Rafasya tetap menurut. Ia beralih, mendudukkan pantatnya kembali di atas pangkuan Gamael sembari tersenyum dengan begitu manis. “Mau ngomong apa?” tanyanya setelah selesai menyampirkan kedua tangannya di atas pundak yang lebih tua.

“Soal masalah kita.”

“Oh? I thought we are already cool since you have explained the main reason behind it?”

Gamael mengangguk, “bener kalau gue udah jelasin semua di telpon, tapi ada sesuatu yang mau gue bahas sama lo,” terangnya. “Dan gue yakin ada yang mau lo omongin juga ke gue, ‘kan?” lanjutnya sembari menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang jatuh menutupi dahi sang empu yang kini telah nyaman duduk di pangkuannya.

Diberi pertanyaan yang menurutnya cukup terdengar retoris tentu membuat Rafasya mengiyakan seketika. Memang ada beberapa hal penting yang ingin ia bahas dengan Gamael, terlebih tentang hubungan keduanya yang sering kali dilanda masalah-masalah kecil tak berujung seperti kejadian tempo hari lalu — yang lagi-lagi hampir membuat hubungan keduanya kandas.

“Gue dulu, ya?”

Gamael tersenyum kala mendapat sebuah anggukan mantap dari sang empu yang ia ajak bicaranya. Ia tersenyum, begitu tipis lantas menyempatkan diri untuk memberi sebuah kecupan ringan di pipi lelaki yang berhasil merebut hatinya.

“Walaupun bukan sepenuhnya gue yang salah, tapi gue mau minta maaf ke lo.”

“Minta maaf buat apa?”

Gamael mengangkat kedua bahunya pelan sebelum kembali melanjutkan, “ya buat semuanya. Kayaknya gue terlalu nyakitin lo, ya?” kekehnya pelan. “Selama ini gue gak peka, kurang agresif, dan terlalu bergantung ke lo padahal dalam suatu hubungan ada yang namanya ‘give and take’, tapi gue cuma mau jadinya aja tanpa ngasih lo timbal balik yang setimpal dan gue rasa lo sendiri setuju sama poin yang ini.”

“Bener kalau lo gak pernah ngasih timbal balik yang setimpal,” balas Rafasya menimpali pikiran Gamael yang pelan-pelan sedang terbuka kepadanya. Jari-jemari yang tadinya bertengger apik di leher jenjang yang lebih tua kini telah sepenuhnya berpindah, menepuk dada bidang sang lawan bicara dengan salah satu jari telunjuknya sendiri. “Lo emang gak peka, gak agresif, gak mau mulai duluan, bahkan terkesan pasif. Kadang gue capek ngadepin sifat lo yang terlalu cuek bebek. Capek juga buat mulai duluan. Kadang gue pengen lo duluan yang mulai walau sekedar chat gue doang atau ngajakin pergi,” ungkapnya dengan runtut berusaha membuat Gamael paham akan kegundahan yang ia rasakan sendiri. “Intinya sih sama kayak yang udah gue kirim ke chat. Gue mau lo terbuka sama gue. Bisa gak kak?”

Kepalanya refleks merunduk begitu rasa bersalah bertalu menggelayuti relung hatinya. Tangannya bergerak, mengelus punggung Rafasya dengan sayang lantas meminta maaf dengan penuh khidmat. “Maaf, Rafasya. Gue gak sadar kalau ternyata gue se-pasif itu.”

“Gue gak mau denger lo minta maaf kak. Yang gue mau cuma lo terbuka aja sama gue. Apa yang lagi lo rasain, apa yang lagi lo pikirin, dan apa yang ngebuat lo capek tolong dibagi ke gue. Gue juga pengen tahu, juga pengen bantu lo sebisa gue biar lo gak lagi mikir apa-apa sendirian. Bisa nurutin maunya gue, ‘kan?”

Anggukan yang ia terima sontak membuat senyum kecil tersungging di durja manisnya. Rafasya lega, teramat bersyukur bahwa ia dan Gamael bisa meluapkan perasaan satu sama lain di atas kejujuran yang sebelumnya malu-malu untuk muncul ke permukaan karena ego masing-masing yang masih sama besarnya.

“Gue insecure, Raf.”

Rafasya menyerngit, tak terlalu mengerti akan fakta yang baru saja ia dengar. “Karena apa?”

Gamael menghembuskan napasnya perlahan, mengatur dan memantapkan hatinya sendiri untuk terbuka kepada yang terkasih secara pelan-pelan. Rafasya yang mengerti bahwa Gamael sedang merasa di fase yang terhitung cukup sulit karena pemuda yang lebih tua itu memang terhitung jarang — atau tidak pernah sama sekali mengungkapkan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain — lantas berinisiatif untuk memberi elusan pelan di rahang tegas milik yang lebih tua, membisikkan kalimat penenang yang sukses menghantarkan hangat dan membuat Gamael bisa sedikit lebih tenang. “Pelan-pelan aja kak.”

“Kak Arga selalu dapet apa yang dia mau, sedangkan gue gak,” ungkapnya perlahan lalu menyandarkan kepalanya sendiri untuk beristirahat di dada yang lebih muda. “Sejak kecil papa sama mama selalu ngebanggain kak Arga karena dia pinter ngatur ini itu, sedangkan gue gak pernah sekali pun ngerasa dibanggain. Mau berusaha sekeras apapun, gue tetep dipandang bayangan doang, Raf. Misal gue berhasil ngelakuin sesuatu pun pasti kak Arga yang dapet pujian. Capek, Raf.”

Hatinya bergetir, merasa miris akan fakta menyedihkan yang terungkap. Ternyata Gamael menanggung beban sebesar itu sendirian bahkan sejak dirinya masih belia. Ia beri tepukan pelan di punggung sang lawan bicara, mengisyaratkannya untuk kembali melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.

“Kak Arga manfaatin jabatan dia buat nyuruh gue ngelakuin ini-itu biar gue gak ketemu sama lo. Gue bego dan gue sadar kalau selama ini gue yang salah karena udah ngasih kesempatan ke dia buat deketin lo lagi,” lanjutnya. Kepala yang tadinya terakuk kini perlahan mulai ia tegakkan kembali. Ia tatap kedua manik jernih yang selalu membuatnya terjatuh, lantas kembali melanjutkan ucapan yang sempat terjeda. “Gue takut kehilangan lo, Rafasya. Setakut itu kalau lo jatuh ke tangan kak Arga.”

Rafasya menggeleng, mengelak pikiran buruk yang bersarang dan menghantui Gamael. “Nyatanya lo gak kehilangan gue, ‘kan?”

“Lo gak akan ngerti!” tegasnya. “Kak Arga selalu dapet apa yang dia mau, Raf. Dia mau lo, makanya gue takut kalau lo berhasil direbut sama dia. Setakut itu sampai — ”

“Ssstt. Udah,” potongnya cepat saat mendapati napas Gamael yang mulai tersengal tak beraturan. “Lo gak akan kehilangan gue kak. Hati gue punya lo. Dari awal gue itu punya lo, bukan punya orang lain. Sederhananya gini, kalau yang gue mau cuma lo, terus kak Arga bisa apa? Gak akan bisa apa-apa karena kuncinya ada di tangan lo. Gue kasih suka rela ke lo, makanya gue harap lo bisa jaga kunci itu biar gak ada orang lain yang masuk dan ngambil gue dari lo. Sampai sini paham, ‘kan?”

Gamael tersenyum lega. Rafasya memang selalu membuatnya begitu tenang.

“Gue resign.”

“Loh, kenapa?” tanyanya karena cukup terperangah akan fakta besar yang kembali ia dapatkan.

Gamael kembali terkekeh kala didapatinya ekspresi terkejut yang sangat jelas tergambar di durja ayu Rafasya, merasa sedikit gemas saat kedua kelopak tersebut melebar sempurna dibarengi dengan belah ranum yang turut terbuka. Dikecupnya sekali lagi pipi kiri yang terkasih, menghantarkan ungkapan gemas lewat sebuah kebisuaan dalam kehangatan yang bertalu menyapa keduanya. “Perusahaan pusat itu punyanya kak Arga. Papa sendiri yang ngasih ke dia dan gue cuma general manager di sana which means posisi gue di bawah kendali kak Arga.”

“Terus?”

“Kak Arga gak akan berhenti kalau gue masih di sana, Raf. Makanya, gue mutusin buat resign.”

Rafasya menggeleng karena bukan itu yang ingin dia dengar. “Gue paham lo gak mau diatur sama kak Arga karena doi emang nyebelin banget, anjing! Gue aja sebel lihatnya. Yang jadi pertanyaan gue di sini, habis resign terus lo mau ngapain?”

“Dulu gue pernah minta dipindah ke perusahaan cabang, tapi kak Arga nolak jadi gue gak bisa pindah ke sana karena papa sama mama juga ikutan gak setuju dan berakhir gue kerja di sana selama ini. Untungnya setelah gue mutusin buat resign, kak Ara nawarin bantuan investasi buat bangun startup, jadi gue akan mulai dari sana.”

Entah mengapa hatinya kembali berdenyut ngilu mendengar perjuangan Gamael yang berusaha keras untuk mempertahankan hubungan keduanya.

Rafasya jelas salah. Ternyata Gamael tidak se-pasif itu dalam hubungan yang sedang mereka bangun. Nyatanya, Gamael juga turut berkonstribusi sama besarnya dengan usaha yang selama ini selalu ia tunjukkan.

Ia tersenyum, begitu manis hingga membuat seulas lengkung yang lain juga turut muncul ke permukaan. Dengan penuh kasih sayang, ia beri elusan pelan di surai Gamael, memberitahu lelaki tersebut bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik. “Makasih karena udah mau berjuang buat kita berdua, kak Gama,” bisiknya pelan.

Gamael yang diperlakukan demikian sontak memejamkan matanya, menikmati tiap detik yang terbunuh oleh hangat yang terhantar dari cinta kasih keduanya. Setelah puas menikmati afeksi yang ia terima, kini dirinya lah yang berinisiatif untuk memberi timbal balik yang sudah sepantasnya Rafasya terima. Ia tangkup kedua tangan Rafasya, membawa punggung tangan itu untuk mendekat lalu membubuhkan dua kali kecup yang menghampiri masing-masing, kemudian mengelusnya perlahan sembari melempar senyum tipis nan tulus kepada yang lebih muda.

“Awalnya gue ragu, apalagi setelah resign dari pusat. Gue gak punya jabatan dan kerjaan gue juga belum tentu berhasil. Bukannya gak mau ngajak lo pacaran dari dulu, tapi gue nunggu waktu yang pas saat gue udah naik jabatan supaya nanti lo gak hidup susah, Raf. Gue gak mau lihat lo hidup susah bareng gue, makanya gue nahan diri. Rasanya malu kalau ngajak lo pacaran waktu gue belum punya apapun yang bisa gue banggain di depan lo,” kekehnya pelan.

“Terus sekarang gimana? Masih ragu? Mau minta gue buat nunggu lagi?”

Diberi pertanyaan beruntun tentu membuat Gamael tertawa. Ia menggeleng, lantas kembali membawa kedua punggung tangan tersebut untuk diberi kecupan yang terlampu romantis. “Lo selalu berhasil bawa tenang buat gue, Raf,” akunya sekali lagi, enggan untuk berbohong. “Maaf ya kalau gue udah buat lo nunggu terlalu lama.”

Mendengar kata maaf yang kembali terlontar tentu membuat Rafasya memutar sepasang maniknya, menandakan kalau dirinya sudah terlampau lelah dengan segala macam basa-basi yang didengarnya. Oh, ayolah! Rafasya hanya ingin kejelasan, bukan kata maaf tak berujung yang membuatnya semakin merasa jengkel.

“Jadi, intinya kita pacaran gak? Gue capek denger lo minta maaf mulu ya, anjing!”

Gamael tergelak. Rafasya memang berbeda dengan anak muda kebanyakan. Terlalu berbeda hingga mampu membuatnya merasa begitu dicintai.

Dengan kedua pasang jelaga yang saling bersirobok dan memuja eksistensi satu sama lain, Gamael beranikan untuk mendeklarasikan rasa sukanya, tak lagi menyembunyikan kasih sayang yang begitu besar dalam lembah ego yang semakin meninggi apabila dibiarkan. Ia beri elusan pelan pada kedua tangan Rafasya, menggenggamnya erat lantas membisikkan sebuah pertanyaan yang sukses membuat perut Rafasya kembali terlilit karena serangan ribuan kupu-kupu yang datang menghampiri.

“Rafasya mau gak jadi dunianya Gamael?”

Dan dengan sebuah anggukan ringan yang ia dapat, Gamael gaungkan kepemilikan sepenuhnya atas Rafasya yang kini telah berubah sepenuhnya menjadi semesta tempatnya berpijak dan berotasi untuk waktu yang tak lekang dimakan warsa.

Untuk selama-lamanya, Gamael deklarasikan bahwa kini Rafasya telah sepenuhnya menjadi bagian terindah dari narasi yang tercipta.

— zidecmonth

--

--