Two Withered Roses

di.
7 min readAug 15, 2023

--

Michael Kaiser x fem!reader | part of Summer Holiday Blue Lock Writers’ Collaboration

Mawar biru tidaklah tumbuh secara alami seperti halnya mawar merah dan mawar putih. Biru itu muncul sebagai hasil dari rekayasa genetika yang ada sebab dinilai indah, seolah-olah merah dan putih tak cukup melipur hati. Dan mawar biru pun hadir seperti misteri yang begitu rumit ditafsirkan. Apa maknanya? Apakah indah sudah cukup untuk menjelaskan eksistensinya? Apakah hadirnya semata-mata hanyalah misteri yang tak perlu ditafsirkan? Tidak ada yang tahu.

Bukankah misteri memang seharusnya begitu?

Alih-alih ditafsirkan, mungkin langkah yang tepat adalah memecahkannya sebelum tafsir berhasil diraih.

Dan Michael Kaiser tak ubahnya mawar biru yang hidup dengan berbagai misteri yang melingkupi.

Keberadaan Kaiser dalam hidupku tidaklah kuketahui apa tujuannya. Siapa dia bagiku? Teman? Adakah teman yang menghabiskan ratusan malam intim di sebuah ruang dengan saling berbagi cumbu? Kekasih? Bukankah hubungan semacam itu perlu dideklarasikan terlebih dahulu sebelum kami dapat mengeklaim kepemilikan satu sama lain?

Aku sama sekali tidak menuntut apa pun darinya. Sebab bagiku, presensinya sudah cukup melegakan. Mungkin karena dia rupawan? Entahlah. Yang jelas, dia memang seperti mawar biru yang membuatku betah menatap namun tak pernah bisa mengartikannya. Dan ketika aku mencoba memaknainya lebih jauh, duri-durinya menjerat dan menghentikanku untuk terus menggali lebih dalam.

Dia seolah tak mengizinkan aku untuk mengetahui apa pun perihal dirinya.

Contohnya saat ini.

Aku sedang duduk di sampingnya saat kami menghabiskan sore di sebuah taman bermain. Kami tidak melakukan apa pun, hanya duduk membatu di atas kursi kayu ditemani dengan angin sore lembut yang mendekap. Normalnya, Kaiser bakal bermain perosotan dan aku menunggunya untuk meluncur di bawah seperti seorang ibu yang khawatir saat balitanya bermain. Tapi sekarang, dia terlihat muram. Aku jelas bisa mengetahuinya, buat apa kami bersama selama bertahun kalau aku masih tak hafal dengan setiap wajah yang ia tampilkan? Kedua sudut bibir yang biasa tertarik ke atas itu kini hanya membentuk sudut lurus. Pertanyaan semacam kenapa pun ia jawab dalam bentuk tindakan berupa satu tangannya yang terulur untuk menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.

Yang membuatku tak habis pikir adalah, ia membawa punggung tanganku untuk bertemu dengan satu kecup bibirnya. Satu berganti menjadi dua ketika ia menambahkannya lagi, dan dua berganti menjadi tiga ketika ia memilih untuk menempelkan bibirnya lebih lama.

Tiga sepertinya bukanlah angka favoritnya, sebab ia menambahkannya lagi, lagi, dan lagi hingga aku pun tak bisa menahan dentuman jantung yang semakin tak beraturan. Aku segera menarik tanganku sebelum ia terus melakukan hal memalukan semacam itu di tempat umum ketika matahari belumlah turun sepenuhnya.

“Ngapain, sih?!” Aku bertanya seraya mengelapkan punggung tanganku pada pahanya yang terlapis short pants sebagai upaya untuk menghapus jejak-jejak ciumannya.

“Tanganmu wangi kue, pingin aku makan.”

Jawaban tersebut begitu singkat dan cepat mendarat di telingaku sampai-sampai tubuhku bergidik mendengar pengakuannya. Sepertinya musim panas membuat kepalanya menguap makanya dia bertindak aneh seperti itu.

“Lagian ngapain kamu tanya kenapa sambil pasang muka kasian begitu?” imbuhnya sambil mendengus kesal. “Aku gak apa-apa.”

Aku tahu. Michael Kaiser adalah sosok paling arogan yang pernah kukenal. Jika di atas langit masih ada langit, Kaiser mungkin menempatkan dirinya di langit teratas di atas yang paling atas. Dengan keangkuhannya seperti itu sudah pasti dia membenci iba yang orang lain berikan kepadanya — tak terkecuali aku. Pun aku tahu kalau ia berusaha sekeras mungkin meyakinkan siapa saja kalau dirinya tak layak mendapatkan predikat semacam kasihan.

Ia cuma mau kalau sang terhebat tersemat pada dirinya.

“Tahu, gak, kita sudah kenal lama banget tapi aku merasa nggak tau apa-apa soal kamu sama sekali.” Aku pun memberanikan diri membuka topik obrolan yang biasa kamu hindari. Dan ternyata, ucapanku cukup mampu menarik atensimu padaku sepenuhnya. Satu alismu terangkat sementara angin mengembuskan rambut pirang berhias biru di ujungnya itu dengan perlahan.

“Kamu tau makanan favoritku.”

Benar.

“Kamu tau minuman favoritku.”

Tentu saja.

“Dan kamu tau hal apa yang paling aku sukai dari semua itu.”

“Kalau cuma begitu, penggemar kamu juga tau, kan?”

Uh-oh, sepertinya kata penggemar memantik ingatan buruk darinya. Tapi jangan salahkan aku kalau aku mengatakan hal yang mungkin mengusik amarahnya, aku, kan, memang tidak mengenal dia secara penuh. Aku cuma tahu kalau dia, Michael Kaiser adalah pesepakbola kenamaan yang memilih untuk undur diri di usia muda dengan alasan bosan seperti yang ia katakan pada media.

“Kalau kamu jawab begitu, berarti kamu gak tahu apa yang paling aku sukai.” Dia tiba-tiba kembali bersuara dengan riang, seolah murka yang sempat mengintip di wajahnya tidak pernah ada. Si Mawar Biru memanglah ahlinya menyimpan isi hati.

“Kenapa?” Tanganku secara otomatis menunjuk pada bola yang secara kebetulan menggelinding dan menyentuh ujung kakinya, dia bahkan bergerak otomatis untuk menendang bola tersebut. “Kamu paling suka bola, ‘kan? Dan alasan kamu juga sebenernya bohong. Mana mungkin kamu bosen main bola sampai pilih buat berhenti begitu?”

Sangat kontradiktif bagaimana aku yang mengaku tidak mengenal lelaki itu malah menebak dirinya seenak jidat. Aku memang tidak tahu alasan yang sebenarnya. Aku cuma tahu kalau dia berbohong, sekadar itu saja.

“Kamu lucu, ya, kamu bicara seolah-olah cuma kamu yang gak tau apa-apa soal aku.” Dia tak menjawab pertanyaanku namun menimpali dengan topik lain. Apa maksudnya? “Padahal, aku di sini juga gak tahu apa-apa soal kamu. Kamu sebenernya siapa dan kenapa ada di hidupku? Temen? Pacar? Dua-duanya bukan.”

Ucapannya membuatku mengerjap cepat, bingung kenapa dia mengutarakan apa yang aku pikirkan soal dia selama ini. Sebelum sempat menanggapi, dia buru-buru menambahkan:

“Tapi aku cukup seneng ada kamu di hidupku. Meski aku gak tahu juga, deh, kita sebenernya apa. Mungkin karena kamu cantik?”

Apa? Aku nyaris saja menyemburkan sumpah serapah kepadanya. Apakah hubungan kami selama ini hanya ia pertahankan karena aku — ,

Tunggu dulu … Aku, kan, juga menganggap kalau dia rupawan makanya aku betah dengan presensinya meski kami memiliki simpul kusut yang menyatukan hubungan kami berdua.

“Jadi, Kai, kalau menurutmu aku gak cantik, kamu gak bakal di sini sekarang?” Aku memberanikan diri buat bertanya, padahal aku sadar kalau kesiapan hanyalah dimiliki kedua telingaku alih-alih hatiku.

“Iya.”

Dan jawaban singkatnya sudah cukup membuat kepingan hatiku berceceran seketika. Padahal, tak seharusnya aku merasa demikian ketika kami memang bukanlah apa-apa. Kalau dia ingin tinggal, silakan. Kalau dia ingin mengucapkan selamat tinggal, aku bisa apa? Toh aku memang tidak memiliki hak buat melarangnya pergi.

“Tapi itu cuma pikiran waktu dulu, sih.” Dia kemudian menambahkan dengan helaan napas panjang. “Sekarang aku rasa aku tau kenapa aku tetep ada di sini sama kamu meski hubungan kita memang patut dipertanyakan. Soalnya aku merasa kamu aja sudah cukup. Sebagai apa pun kamu di hidupku, aku merasa semuanya udah baik-baik saja dan aku gak kekurangan apa pun lagi. Dan kamu tahu, cuma kamu satu-satunya yang buat aku merasa begitu.”

Tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar, aku mencoba memroses kembali semua kata yang ia rangkai menjadi kalimat-kalimat tersebut. Sepertinya Kaiser memang sudah gila. Tak seharusnya aku membiarkan dia berlama di luar, dia tidak mungkin mengatakan kata-kata semacam itu kepadaku yang bahkan bukan kekasihnya. Apa yang kulakukan sampai-sampai aku bisa membuat dia yang selalu merasa di atas langit kembali berpijak di atas bumi? Wah, sial sekali. Aku bakalan dihujat oleh para — ,

“Aku bahkan sudah bertahun-tahun punya tato ini.” Lamunanku terinterupsi bersamaan dengan tangannya yang meraih milikku sebelum ia bawa menuju lehernya, tepat pada bagian kulitnya yang memiliki tekstur berbeda, yaitu bagian tato mawar biru yang melekat di tubuhnya sejak enam tahun lalu. “Dan kamu sama sekali gak pernah mempertanyakan apa pun, padahal ini kamu.”

Kaiser melanjutkan agresinya dengan kata-kata yang membuatku semakin terpojok. Padahal, ia biasanya membuatku terhimpit dan mengibarkan bendera putih dengan sentuhan-sentuhan yang ia bagi untukku. Dia memang memegang kartu as untuk melemahkan aku. Dan sekarang, aku baru sadar bahwa kartu as tersebut sebenarnya berwujud Michael Kaiser sendiri, sebab, apa-apa saja tentangnya ternyata mampu melemahkan aku.

“Hal yang paling aku suka adalah kamu. Dan aku benci kalau aku harus membagi rasa sukaku pada dua hal yang berbeda, jadi aku pilih kamu buat jadi satu-satunya hal yang aku suka di dunia ini. Kamu gak perlu merasa cemburu dengan siapa-siapa karena aku cuma suka kamu sekarang.”

“Hah?”

Aku cuma bisa melongo mendengar apa yang barusan keluar dari dua belah bibirnya. Ucapannya seolah-olah memberitahuku kalau dia melepaskan karir sepak bolanya demi aku dan tentu saja itu hal yang mustahil. Lagipula, aku sama sekali tidak merasa tersaingi dengan bola. Tapi ketulusan yang kutemui di kedua lautan matanya membuatku membumbung tinggi tak terkira. Oke, karena dia mengatakannya, mungkin aku baru mengakui kalau aku memang menyimpan rasa cemburu pada segala hal yang disukai Kaiser selain aku. Dan aku mengaku gila untuk yang satu ini.

Misteri yang selama ini berusaha kupecahkan ternyata tak hanya berada pada Kaiser, melainkan pada diriku sendiri. Aku yang bahkan tidak mengerti perasaan macam apa yang kupunya untuknya pun lupa kalau aku harus mengerti diriku sendiri sebelum menafsirkan orang lain. Dua mawar biru yang layu sepertinya sangat tepat untuk menggambarkan hubungan kamu berdua. Setelah begini, bukankah sudah jelas kalau kami perlu berperan menjadi air buat menyiram satu sama lain? Sebagai teman atau kekasih, benang yang kusut kini terurai sedikit demi sedikit.

“Aku bukan kamu yang punya musim untuk kamu favoritkan.” Dia berkata tiba-tiba setelah aku membungkam cukup lama. Bisiknya terdengar berbahaya merasuk ke gendang telingaku. Satu tangannya memeluk bahuku seraya menarik kaus yang kupakai supaya menutupi bahuku. “But, you know, i think i’m having a love-hate relationship with summer from now on.”

Ah, aku lupa. Sepertinya dia memintaku untuk melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan: menjadikannya sebagai satu-satunya hal yang aku suka. Dan musim panas adalah hal yang menjadi favoritku selain Michael Kaiser.

--

--

di.

Goes by the name of Diani | @kasihkunanti on twitter