Aroma Ajaib Mawar di Kulitmu

Ingin bernostalgia dengan memori yang seperti apa? Cukup hirup aromanya, memorinya akan tereka ulang seketika.

Difa Ayatullah
7 min read6 days ago
Photo by the blowup on Unsplash

“Khusus untukmu yang merindu, diskon 10% di Aroma Ajaib untuk sesi nostalgia nyata seperti saat pertama kali bertemu.”

Kalimat tersebut tertulis di papan yang tergantung di depan pintu sebuah kedai toko kecil yang tepat berada depanku. Aroma Ajaib. Begitu nama yang terlukis di kaca-kaca besar pengganti dindingnya yang tembus pandang. Kesannya begitu terungkap hingga seolah tak menyimpan rahasia apapun bagi siapapun yang melintas.

Aku yang membuka pintu toko langsung disambut hangat dengan senyuman seorang perempuan muda yang tengah berjaga di meja kasir sudut ruangan.

“Selamat pagi, Bu. Mau cari aroma yang bagaimana? Atau ingin bernostalgia dengan memori yang seperti apa?” Sapanya.

“Hm, saya baru pertama kali kesini” Ujarku gugup yang tanpa sadar mengalihkan pandangan ke rak-rak yang berada di hampir setiap sudut toko. Rak tersebut dipenuhi dengan tabung-tabung kecil yang terlihat sangat mirip namun hanya dibedakan oleh label melingkar dan judul besar untuk setiap sekat dan bagian. Sepi sekali. Sepertinya aku pelanggan pertama hari ini.

“Oh, kalau begitu biar saya jelaskan terlebih dahulu, ya, Bu. Jadi, aroma sangat berkaitan erat dengan memori. Ketika ada sebuah sinyal aroma datang lalu dideteksi oleh indra penciuman, ia akan disimpan di bagian otak tertentu yang berperan dalam emosi dan memori. Karena itu, toko kami, Aroma Ajaib, menawarkan sensasi pengalaman nostalgia yang tak akan pernah Ibu dapatkan di tempat lain. Cukup dengan menghirup aromanya, memori itu akan tereka ulang seketika.” Katanya ramah namun dengan intonasi persuasif yang template seperti sudah hafal bertahun-tahun.

“Jadi,-” Aku berpikir mencoba mencerna cara kerjanya. “-halusinasi ya?”

“Kurang lebih seperti itu”. Katanya ragu-ragu. “Maaf Bu, saya anak magang disini. Mereka tak pernah membocorkan rahasia mekanismenya seperti apa. Hanya saja, pesannya, ‘Wajib diisolasi. Jangan sampai bocor. Otak manusia sangat sensitif dengan bahannya.” Katanya sedikit berbisik.

Aku mengangguk basa basi sambil menengok ke sekeliling untuk memperhatikan lebih jeli judul di setiap sekat-sekat rak. Macam-macam tulisannya. Ada yang bertuliskan;

Makanan, Kendaraan, Alam, Kota, Hewan.

Seperti sedang membaca pikiranku, perempuan itu menyambar. “Ya, Bu. Kami punya banyak sekali koleksi aroma untuk memastikan keakuratan aroma agar sesuai pada memori yang dituju.” Ia lalu melanjutkan, “Kalau-kalau ada yang sedang ingin mengenang neneknya yang sudah meninggal, di rak Makanan kita punya aroma fuyunghai, di rak Rumah kita juga punya seprai beludru.”

Mulutku sedikit terbuka kagum. “Aku tak tahu seprai beludru punya aroma.” Kataku.

“Seperti musky yang sedikit powdery dan hangat menyerupai aroma kulit manusia, Bu. Mungkin spesifik aromanya akan sangat unik untuk memorinya masing-masing sehingga butuh tambahan informasi untuk campurannya”. Jelasnya. “Jadi, Ibu ingin pergi ke memori yang seperti apa? Apakah ada ingatan tentang aroma tertentu? Saya bisa bantu.” Tanyanya.

“Saya ingin pergi ke hari dimana saya bertengkar hebat dengan mantan suami saya.” Kataku.

Perempuan itu tampak diam sebentar. “Mohon maaf Bu, saya tahu ini privasi pelanggan. Saya sering menemui pelanggan yang ingin mengenang kenangan-kenangan indah karena biasanya mereka lupa dan ingin mencoba mengingat kembali kenangannya lewat pemicu aroma kami. Tapi ini kali pertama saya bertemu pelanggan dengan alasan seperti Ibu. Kalau saya boleh tahu kenapa, Bu?” Tanyanya takut lancang.

“Saya ingin move on.” Ucapku singkat. “Sudah 15 tahun saya terus memikirkan dia, berharap dia akan kembali. Saya lelah. Saya ingin bernostalgia dengan kenangan buruk dengannya agar saya bisa berfikir rasional.” Sambungku seolah ingin memberikan tambahan informasi.

Dia melihatku dengan wajah sedikit prihatin. “Maaf sudah bertanya.” Mimiknya tak bisa berbohong, seperti kaca di tokonya. “Kalau begitu mungkin baiknya kita mulai saja, ya, Bu. Ibu bisa bantu saya mendeskripsikan kira-kira wangi saat itu seperti apa? Kalau bingung, mungkin bisa ceritakan latar belakang pendukung momennya agar saya bisa carikan aroma yang cocok. Ibu tak perlu khawatir. Saya bisa bantu Ibu.” Lanjutnya berubah antusias.

“Waktu itu hujan..” Aku mencoba mengingat-ingat.

Perempuan itu terlihat serius mendengar sambil mencatat.

Aku terdiam cukup lama.

Ia ikut terdiam cukup lama. Tiba-tiba ia membuka suaranya “Maaf, Bu. Saya tahu ini cukup berat. Kalau butuh waktu tak apa. Kadang-kadang pelanggan yang kesini juga mengenang memori hingga menangis sesegukkan.” Katanya berusaha simpati.

“Oh, bukan begitu. Saya tak apa. Hanya saja saya tiba-tiba lupa.” Kataku sambil masih mencoba mengingat-ingat. Beberapa menit kemudian berlalu namun hasilnya nihil. Aku hanya bisa menatap kosong lurus ke depan.

“Ah, tak apa, Bu. Sedikit detil tentang suasananya juga tak apa. Mungkin kita bisa coba mulai dari lokasi. Apa Ibu ingat saat itu dimana?” Ucapnya mencoba menggali informasi perlahan.

“Di rumah saya yang dulu.” Kataku.

“Baik. Rumahnya seperti apa? Di rumah ada apa saja?” Tanyanya sabar.

“Dulu rumah saya terletak di pinggir kota di seberang pulau. Saya tinggal berdua saja dengannya. Warna rumah kami cokelat, tidak terlalu besar. Dia suka kayu jati. Halaman kita tidak terlalu luas, ditumbuhi berbagai tanaman. Saya suka bunga. Ada Bougenville, Anggrek, Kamboja, — “

“ — Mawar?” Sahutnya.

“Tidak ada. Saya tak suka mawar.” Ucapku spontan. “Apa lagi ya. Mungkin itu saja yang bisa saya ingat. Sudah lama sekali sejak itu terjadi saya pindah jauh dan tinggal disini.”

“Baik”. Ia terlihat sibuk meracik beberapa suntikan dari tabung vial yang telah diambilnya dari rak-rak ajaib di toko ini. “Kalau begitu, sepertinya kita sudah siap!” Katanya tiba-tiba. “Sekarang kita ke sebelah sana ya, Bu. Pojok Hirup. Mari saya temani.”

Saya berjalan ke tempat yang dimaksud diikuti dengan perempuan pegawai toko yang membawa sebotol minyak aroma yang telah dibuatnya. Ia mempersilahkanku untuk bersandar di sebuah kursi empuk yang sepertinya dirancang untuk duduk nyaman hampir terlelap.

“Kalau Ibu sudah siap, saya bisa buka botolnya untuk Ibu hirup. Silakan dihirup dalam-dalam, rasakan aromanya dengan pikiran yang sadar. Waktu reaksinya tak akan lama, Ibu akan langsung diantarkan pada memori yang dimaksud. Selama nostalgia, Ibu akan tetap punya akses dengan kesadaran di masa kini jadi kalau Ibu ingin kembali sadar pastikan saja Ibu punya kontrol penuh dan cukup ambil alih lagi pikirannya ke realita saat ini.” Katanya lagi-lagi dengan nada template yang nampaknya bagian dari prosedur.

Sepertinya sudah cukup jelas. “Saya siap.” Kataku. Sambil menggunakan masker dan sarung tangan khusus, ia lalu menyodorkan sebotol kecil berisi minyak aroma ke arahku.

Aroma dari tabung tersebut menusuk hidungku. Wanginya seperti rumput basah yang menari-nari di tengah bau tanah yang menguar. Diikuti dengan wangi bunga dan teh yang perlahan menyapa indra penciumanku. Seberkas cahaya perlahan terlukis seperti film yang tayang langsung di depanku.

Hujan sedang cukup deras di luar. Dari jendela kamar terlihat bunga kamboja yang baru tumbuh minggu lalu. Lelaki itu ada disana. Ia tersenyum sangat manis sambil membawa secangkir teh melati untuk dinikmati bersama. Ia duduk di sampingku dan mengelus rambutku. Aku tersenyum sangat manis sambil menuangkan teh melati untuk kita nikmati bersama. Hujan sedang cukup deras di luar. Tapi rasanya begitu hangat disini, di sampingnya, di hatiku.

Stop. Aku memaksa diriku mengumpulkan kesadaran penuh untuk kembali ke kondisi realita.

“Bukan yang ini.” Kataku sedikit ketus. “Bukan memori ini yang saya maksud.”

“Maaf, Bu. Harus saya ingatkan bahwa otak manusia akan menampilkan memori yang terasosiasi paling erat dengan aroma tersebut. Bisa jadi yang paling familiar, mungkin juga yang paling disenangi. Tergantung persepsi pelanggan. Apakah Ibu punya petunjuk untuk aroma tertentu?”

Aku memegang kepalaku pusing. “Mungkin aroma bayi. Kita punya perbedaan pendapat soal rencana anak.”

Perempuan itu mengangguk lalu mengambil sebotol kecil dari rak Keluarga dan setelah siap ia segera menuju ke arahku untuk mengulangi prosedurnya.

“Saya siap.” Kataku.

Sekilas aroma ban bercampur lumpur terbersit di hidungku. Ada aroma kayu manis yang seolah-olah datang dari dapur belakang. Perlahan samar-samar suara rintik hujan di atap rumah mulai terdengar.

Sabtu ini gerimis cukup betah memberkahi kota. Sejak pagi tadi ia sibuk membuat tirai-tirai berkilau di ujung atap-atap rumah. Termasuk rumah kami. Waktu itu ia sedang duduk di teras rumah. Aku menemaninya sambil berdiri bersandar di ujung pintu. Seharusnya kita pergi jalan-jalan sore ini namun tak jadi. “Tak apa,” Katanya. Aku terdiam, sedikit paham yang sedang dibicarakan. “Tak apa kalau sekarang belum siap. Pokoknya aku selalu disini sama kamu.” Ia bangkit dari kursinya dan menunduk menatap mataku. “Aku tunggu sampai kamu siap, ya?”. Katanya tersenyum manis sekali. “Kalau nggak pernah siap?” Kataku tanpa senyum yang manis sekali. “Nggak apa-apa. Selamanya berdua juga nggak apa-apa”. Ia menggenggam tanganku.

Cukup. Lagi-lagi aku mendorong diriku untuk kembali sadar.

“Bukan, bukan. Sudah kubilang bukan yang ini.” Ucapku gusar.

“Maaf, Bu. Mungkin ada beberapa memori serupa yang terkait dengan aroma yang sama. Apakah Ibu ada informasi tambahan yang spesifik untuk memori ini?”

“Saya bilang saya lupa.” Aku mencoba menahan kesal dan tangisku karena merasa semua usahaku sia-sia. Aku mengambil waktuku sejenak untuk menenangkan diri. “Maaf ya, saya jadi sedikit emosi. Sepertinya saya batalkan pembeliannya. Terima kasih banyak ya sudah banyak membantu.” Kataku berusaha tersenyum selebar mungkin.

“Baik, Bu. Terima kasih. Ditunggu di lain waktu.” Katanya tersenyum entah tersinggung atau sudah biasa dengan perilaku pelanggan yang seperti ini.

Aku berbalik mengarah keluar namun sekilas aku melihat perempuan muda itu tampak mengeluarkan sebotol kaca berwarna merah jambu dari tasnya. Terdengar bunyi beberapa semprotan parfum dari arahnya dalam keadaan toko yang masih sepi ini.

Tiba tiba sekelebat wewangian menusuk hidungku. Wangi bunga mawar dengan percikan aroma manis tersebut seperti berkepul-kepul merambat di seluruh ruangan. Dadaku sesak tanpa sadar. Wajahku menghangat dan mataku memerah. Sekelebat memori menyelonong masuk terekam nyata di depan wajahku.

Hari itu hujan cukup deras hingga membuat suara mobil terdengar samar bagi yang tak memasang telinga. Dengan payungku, aku buru-buru melangkahkan kaki menuju pintu depan. Hari ini ia lembur kerja jadi diam-diam aku mengambil cuti untuk memberinya kejutan. Rumah masih sama hangatnya dengan aroma sedikit apek serta pengharum ruangan pohon pinus tercium sekilas dari tangga hingga pintu kamar. Seketika di depan kamar, aku menjatuhkan seluruh barang bawaanku. Wajahku tercengang, tenggorokanku tercekat. Aku tak bisa berkata-kata. Aku melihatnya sedang menatapku dengan ekspresi sama terkejutnya sambil memeluk seorang wanita dengan mawar di tangannya.

Peristiwa traumatis atau stres berat dapat membuat sesorang kehilangan memori baik secara umum, informasi dalam kategori tertentu, maupun aspek tertentu dari suatu peristiwa selama periode waktu tertentu.

Tulisan ini dibuat untuk #NyariTantangan dengan tema harian “Nostalgia”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Difa Ayatullah

Seekor anak ayam yang tinggal di pesisir pantai tapi tak pernah absen mengawal konstelasi yang mampir di meridian saat tengah malam