Maafkan saya, One Punch Man

Dionisius
3 min readMay 26, 2020

--

Minta maaf? Emang kamu salah apa ke Saitama?

Gini-gini, mungkin kamu bakal bingung kok bisa bisa-nya ada orang yang minta maaf ke salah satu karya manga dan anime terbaik dan terpopuler untuk saat ini. Memang kelihatannya aneh, tapi pernahkah kamu menilai sesuatu dari covernya saja tanpa tau nilai dan kualitas sebenarnya seperti apa?

Saya salah satu orang yang pernah melakukannya, dalam kasus ini kepada One Punch Man. Awalnya saya mengetahui anime ini lewat web manga ilegal yang sering saya kunjungi. Disana tertera bahwa One Punch Man sedang populer dan mendapat rating yang cukup tinggi. Kemudian, pribadi saya yang mudah sekali ter-influence dengan hal-hal yang sedang hype, langsung mencari sinopsis seperti apa jalan cerita pahlawan baru kita yang botak plontos ini.

Dari jalan cerita yang saya baca, saya pun mengetahui bahwa kekuatan utama Saitama adalah mampu mengalahkan monster dan musuhnya hanya dengan satu pukulan saja. Wow. Apalagi, kekuatan tersebut diperoleh Saitama “hanya” dengan 100 push ups, 100 sit ups, 100 squats dan lari 10 kilometer setiap hari-nya selama 3 tahun penuh. Membaca sinopsis ini pun membuat hati kecil dan pikiran logis saya pun berkata:

“Kalau bisa ngalahin musuh cuma pake satu pukulan, seru-nya dimana?”

Gimana ya, selama ini saya atau mungkin kita semua dibesarkan dan dikenalkan dengan tontonan kartun dimana sang karakter utama merangkak dari bawah dan kita menyaksikan progress karakter utama tersebut menjadi lebih kuat dan lebih hebat seiring jalannya anime tersebut. Beberapa anime populer kita ketahui mengadopsi template ini, sebut saja Naruto yang masa kecilnya dibawah bayang-bayang Sasuke, kini menjadi salah satu ninja terkuat dengan menjadi Hokage atau Luffy dari One Piece, si bocah karet yang dulu kekuatannya keliatan tidak berguna namun sekarang bisa melawan Kaido, yonkou terkuat. Serius. Setelah mikir gitu saya pun langsung melupakan anime ini.

Beberapa tahun berlalu, jiwa saya yang hampir mati kebosanan karena karantina saat ini pun memaksa saya untuk kembali menonton anime. Tak ada angin tak ada hujan, saya pun langsung memutuskan untuk menonton One Punch Man. Mungkin pada saat itu alam bawah sadar saya yang mengambil keputusan, saya tidak tahu. Yang pasti, pada akhirnya saya harus berterima kasih kepada alam bawah sadar saya sudah mengambil keputusan tersebut. Bayangkan, dalam sehari saya sudah menamatkan satu season One Punch Man sebanyak 12 Episode. Penyesalan pun mulai saya rasakan karena beberapa tahun lalu saya tidak sadar bahwa selain action, OPM juga mengusung genre komedi yang merupakan favorit saya. Komedi yang dibawa oleh OPM juga terkesan ringan dan menggelitik, seperti bagaimana bisa kamu lebih memilih menghadiri super sale di supermarket daripada menghabisi monster yang berniat menguasai dunia?

Saya pun semakin tercengang ketika pertanyaan logis saya diatas -dimana serunya mengalahkan musuh hanya dengan satu pukulan- juga dirasakan oleh sang karakter utama, Saitama. Semenjak tubuhnya semakin kuat, Ia tidak lagi merasakan keseruan menjalani hobi-nya sebagai pahlawan. Semuanya terasa hampa dan kosong.

Lalu, sebenarnya apa sih yang membuat saya menyesal sudah meragukan One Punch Man?

Jalan cerita OPM menurut saya sangat fresh. OPM membuka perspektif baru dalam menceritakan tokoh superhero. Saitama tidak terlalu tertarik dalam memberantas kejahatan dan menunjukan kekuatannya. Seperti yang dikatakan di dalam anime bahwa alasan ia menjadi superhero ya karena hobi aja. Buat seneng-seneng aja. Kedengarannya agak tengil, kan?

Namun perkataan tersebut belum seberapa tengil dibandingkan dengan sikap para monster dan pahlawan kelas C hingga S yang kerap kali meremehkan Saitama.

Anime ini berulang kali membuat saya geregetan dan kesal, kenapa sih Saitama ngga langsung aja nunjukin kekuatannya biar musuhnya langsung takut dan ga banyak cocot?

Tapi kalo cara mainnya gitu, apa seru-nya?

--

--