Hatinya berdebar kencang dan penyebab pastinya adalah kakak kelasnya itu. Setelah mengirimkan pesan kepada kakak kelasnya, Nata tak henti mondar-mandir di kamarnya. Ia bahkan sempat berpikir untuk mandi lagi sebelum bertemu dengan Raga.
Maksud dan tujuan kakak kelasnya itu ke rumahnya sudah terdengar sangat jelas, Raga membutuhkan pelukan Nata. Jadi tak ada masalah ‘kan jika Nata berpikir untuk mandi lagi, bahkan jika perlu Nata akan mandi dengan parfum. Katakanlah ini terlalu berlebihan, tapi hal itulah yang terputar di otak Nata.
Samar-samar Nata mendengar suara motor memasuki halaman rumahnya dan Nata pastikan, itu adalah suara motor milik kakak kelasnya. Siapapun tolong Nata, debaran hatinya sudah tak bisa didefinisikan betapa kencangnya. Nata ini kenapa sih?
Nata mencoba untuk menetralkan debaran jantung maupun hatinya, ia tak mau jika saat berpelukan, kakak kelasnya akan ikut serta merasakan perasaan tak jelasnya itu. Tapi baru beberapa saat mencoba menenangkan diri, terdengar pintu rumahnya diketuk dan Nata yakin itu adalah ulah Raga.
Dengan debaran yang belum bisa Nata kendalikan sepenuhnya, ia berjalan ke pintu berniat untuk menyambut si tamu. Bak adegan di film, tangan Nata yang memutar knop pintu seperti diberi efek slowmotion.
Saat pintu itu terbuka, terlihat kakak kelasnya dengan mata merah dan tatapan sedu, jangan lupakan jika Raga masih memakai seragam sekolah yang sudah lumayan lusuh akibat berkegiatan seharian.
Nata sedikit tak tega melihat wujud kakak kelasnya sekarang. Otaknya juga dipenuhi dengan tanya, hari ini harusnya menjadi hari yang bahagia bagi Raga, tapi kenapa tampang Raga yang berdiri di depannya ini tak memperlihatkan sisi bahagia sama sekali?
“Masuk kak,” Kalimat yang pertama kali terucap setelah keduanya bertemu.
“Aku di rumah sendirian kok,” Lanjut Nata karena Nata yakin jika kakak kelasnya itu akan menanyakan hal itu walau tak tahu kapan.
Setelah mendengar ucapan Nata, Raga berjalan mengekori Nata menuju ke dalam kediaman adik kelasnya itu. Nata mempersilahkan Raga untuk duduk di atas sofa empuk yang tersedia di ruang tamu. Seperti anjing yang penurut, Raga yang belum mengatakan sepatah katapun langsung menuruti ucapan Nata.
Jujur saja Nata tak suka jika harus terlalu berlama-lama larut dalam keheningan. “Kak Raga gak jadi minta peluk?” Tak peduli dengan gengsi, Nata langsung mengingatkan Raga dengan tujuan awal Raga kesini. Jika terlalu dilama-lama artinya Nata harus menahan debarannya lebih lama lagi.
Mendengar pertanyaan Nata, Raga mulai tersadar dari lamunan kesedihannya. Benar, tujuan Raga datang menemui Nata adalah untuk meminta sebuah pelukan, ia harusnya langsung saja mengatakannya.
Raga mengangguk dan badan nya mulai mendekati Nata yang duduk tepat di sebelahnya. Badan yang lebih kecil darinya itu ia rengkuh secara perlahan, dan Raga sadar ketika kulit mereka saling bersentuhan, badan yang lebih kecil darinya itu tiba-tiba menegang.
Seluruh tubuh Nata tak tahu harus bereaksi seperti apa, kakak kelasnya yang saat ini memeluknya adalah hal yang belum pernah Nata pikirkan sebelumnya. Nata berharap jika kakak kelasnya tak menyadari debaran yang setiap detik membawa gelombang kegembiraan dan kegelisahan yang tak sanggup Nata hilangkan.
Ntah apakah hanya perasaan Nata, tapi ia merasakan bahwa kakak kelasnya itu memeluk tubuhnya semakin erat membuat badan Nata mau tak mau semakin menyatu dengan badan kakak kelasnya itu. Jujur saja Nata saat ini hampir mabuk dengan harum badan milik kakak kelasnya, harum yang dikeluarkan oleh kakak kelasnya itu membuat Nata ingin terus menghirupnya.
Sebentar, Nata merasakan bahwa pundak kanannya sedikit basah. Apakah Raga menangis?
“Kak.”
Tak ada jawaban yang terdengar, tetapi Nata semakin yakin jika kakak kelasnya itu menangis ketika punggung yang dilihat Nata itu sedikit gemetar.
Nata yang sedari tadi belum berani membalas pelukan Raga, secara perlahan tangannya mulai berani ikut merengkuh tubuh Raga yang saat ini menguarkan kesedihan. Nata usap punggung itu perlahan membuat gemetar yang dialami Raga menjadi agak berkurang.
“Kapan nyokap bisa ngasih gue apresiasi,” Kalimat yang Nata tak tahu apa maksudnya adalah kalimat yang pertama kali Nata dengar dari Raga.
“Apa keberhasilan gue gak bisa bikin nyokap seneng?” Perkataan Raga terdengar sedikit tak jelas, tapi Nata mencoba dengan amat sangat menyermati apa yang Raga katakan.
“Nataya, gue cuma pengen diapresiasi, bukan disuruh belajar tiap hari,” Raga menjauhkan wajahnya dari pundak Nata, tak peduli dengan Nata yang melihat wajah melasnya.
Nata mulai mengerti dengan pembicaraan Raga. Raga hanya ingin diberi apresiasi oleh ibunya, iya ‘kan?
“Kak, aku boleh ngomong sesuatu gak?” Tanya Nata hati-hati. Yang ditanya memberi anggukan lemah.
Nata yang diberi persetujuan langsung menatap wajah kakak kelasnya itu membuat tak kesengajaan tatapan mereka bertemu. Ah, Nata jadi lupa ingin bilang apa. Ayo fokus, Nata.
Nata menghela nafasnya sebentar sebelum mengatakan,
“Kak Raga keren, keren banget. Aku emang bukan orang yang ucapan apresiasinya kakak tunggu, tapi aku beneran kagum sama Kak Raga yang berjuang sampai bisa berhasil ngecapai apa yang kakak pengen.”
Ucap Nata berusaha membuat hati Raga sedikit membaik.
“Nat, tapi kata orang-orang gue berhasil karena make kuasa nyokap, bukan karena usaha gue sendiri,” Ah topik ini, Nata padahal sangat menghindari topik ini, ia tak ingin Raga semakin sedih.
“Kak Raga percaya sama omongan orang-orang yang bahkan gak tau apa-apa? Eh tapi aku disini juga gak tau apa-apa sih, tapi aku yakin Kak Raga ngecapai hasil itu karena usaha Kak Raga sendiri, bukan dari bantuan orang lain,” Ucap Nata mencoba menyenangkan hati laki-laki di depannya. Tapi naas nya Nata tak mendengar jawaban apapun dari Raga, yang didapat malah Raga yang saat ini kembali melamun.
“Kak Ra — “
“Nyokap aja gak ngedukung gue buat capai ini,” Belum sempat Nata memanggil Raga, Raga sudah lebih dulu mengatakan hal yang membuat Nata semakin bingung. Raga mengatakan dengan air mata yang kembali meluncur dari matanya.
Dengan perasaan bingung dan khawatir nya, Nata memberanikan diri untuk kembali membawa Raga ke dalam pelukannya, ia biarkan Raga mengeluarkan apa yang Raga rasakan.
“Gue bingung kenapa orang-orang… bisa nyimpulin gue make… kekuasaan nyokap buat capai ini, Nat,” Nata tak tahu harus merespon apa, ia hanya bisa mengusap punggung kakak kelasnya itu lagi.
“Gue juga bingung kenapa nyokap… sesusah itu buat ngasih gue apresiasi,” Nata merasakan bahwa laki-laki dipelukannya saat ini sedang menyalurkan perasaannya melalui rematan di ujung kaos Nata.
“Gak nyokap, gak orang-orang. Kenapa mereka liat gue sebagai Raga yang gak bisa apa-apa.”
“Nata, gue capek denger omongan orang-orang, gue capek disuruh belajar, gue capek,” Nata seperti merasakan ada sebuah tautan antara ia dan Raga, karena kesedihan Raga dengan mudahnya membuat Nata ingin menangis juga.
“Taya, tolong jangan kaya mereka, ya?”
“Iya Kak Raga, Kak Raga punya Taya di sini.”