30. Big Old Oak Tree

Jasmine英远
3 min readApr 5, 2024

--

Sunghoon ingat bagaimana dia merasakan kaki sang nenek mendingin, membeku hingga matahari terbenam. Wanita sepuh itu menutup mata, seolah tak merasakan apapun. Dan ketika Jongseong datang, mengetuk pintu dan duduk di sampingnya, keduanya merasakan dingin itu menjalar menuju paha dan betisnya, tangan saling menggenggam.

Sunghoon ingat bagaimana malam semakin larut, begitu sunyi dengan hanya lampu ruangan neneknya yang menyala. Tak ada yang tahu angka berapa yang jarum tunjuk ketika Heeseung dan Jaeyun datang, rambut berantakan setelah menghabiskan waktu beberapa jam di pesawat. Dan pada kala itu, nenek mereka telah mendingin hingga perutnya.

Sunghoon menoleh pada saudaranya. “Mama sama Ayah?”

“Gak bisa kabur dari kantor,” bisik Jongseong, menggelengkan kepala.

Jaeyun berada di sisi kepala nenek mereka, mengusap wajahnya. Sang nenek membuka mata, bergetar, namun sedikit sudut bibirnya naik ketika melihat wajah mereka, seolah berusaha mengingat setiap cucunya. “Pulang semua?” bisiknya.

Heeseung meraih tangannya. “Iya, Nek,” dia balas berbisik. “Kami disini.”

Sunghoon menyentuh lengannya, beku menjalar melalui jemari. “Nenek gapapa ‘kan?”

Dia tersenyum padanya. “Gapapa,” ucapnya. “Nenek gapapa.”

Jongseong mengulurkan tangan, telapak di leher sebelum menghela nafas, tertunduk untuk menahan air matanya sendiri. “Nenek dingin,” bisiknya, menoleh pada saudara-saudaranya. “Banget.”

Jaeyun tak mengatakan apapun, memeluknya erat hingga tubuhnya sedikit terbaring di ranjang. Heeseung meletakkan kepala di tangannya, sementara Jongseong terpaku, membiarkan adiknya menyembunyikan wajah di bahu.

Pada malam itu, Sunghoon ingat bahwa mereka kehilangan nenek mereka.

Dan dari sudut matanya, dia dapat melihat Sunoo berdiri di tengah pintu, menatap teman lamanya yang mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan manusianya.

Sunghoon menyeret kopernya, bersiap pergi. Sudah tiga hari semenjak kematian neneknya. Heeseung dan Jaeyun memutuskan untuk tetap tinggal alih-alih melanjutkan bulan madu mereka, meyakinkannya dan Jongseong bahwa mereka akan baik-baik saja.

Sementara kakaknya telah menaiki kereta secepat pemakaman selesai, Sunghoon memutuskan untuk tetap tinggal selama beberapa hari, merapikan pakaiannya tanpa terburu-buru dan memetik satu daun dari pohon ek untuk dia jadikan pembatas buku.

Dia menoleh ke arah ruangan neneknya, dimana seorang laki-laki berdiri. Sunghoon mengernyitkan dahi, membuka pintu. “Kamu masih disini?”

Sunoo menoleh. “Udah kubilang kalau aku gak bakal pergi.”

“Bakal sepi,” ucapnya. “Nenek udah gak ada.”

Hantu itu tertawa. “Aku punya rumah selain disini,” ujarnya. “Aku bakal tinggal di pohon. Semoga gak ada yang lihat aku lagi. Aku gak bisa bayangin kalau ada yang kaya Nana nanti.”

Sunghoon memperhatikannya. Di bawah sinar matahari, Sunoo seolah berdenyar, tubuhnya kabut yang mungkin akan sirna jika dia mengulurkan tangan padanya. “Boleh nanya?” dia mengangguk. “Sakit gak?”

“Maksudmu?”

“Mati. Sakit gak?”

Sunoo mengangkat alis, menatapnya. “Gak usah banyak tanya,” sindirnya. Keduanya menoleh ketika sebuah truk kecil datang, Heeseung membunyikan klakson dua kali, membuat hantu itu menilingkan kepala. “Jemputanmu udah datang.”

Sunghoon menghela nafas, menganggukkan kepala. Dia merasa bahwa ada banyak hal yang ingin dikatakan padanya. Mungkin soal neneknya. Mungkin soal betapa berterima kasihnya dia karena telah menemani neneknya selama dia masih hidup. Namun Sunoo mengalihkan pandangan, melayang pergi.

Dan Sunghoon tak memiliki pilihan lagi selain mendorong kopernya keluar.

Heeseung memperhatikannya menutup pintu, kaca jendela bergetar dan dentingnya keras. “Udah siap pulang?”

Yang lebih muda menoleh ke arah rumah tua tersebut, dan dia dapat melihat Sunoo di jendela, menatapnya. “Iya,” bisiknya. “Ayo pergi.”

--

--