Kebijakan Pemerintah Korea Selatan dalam “Korean Wave” dan Perluasan budaya Korea Selatan

Ebrina Victoria Bangun
6 min readAug 31, 2022

--

Korea Selatan bukan hanya berhasil menjual musik K-Pop dan drama televisi kepada dunia, tetapi juga berhasil melakukan penyebaran budaya kepada masyarakat dunia melalui Korean Wave.

Sumber : Kumparan.com

Korean Wave

Di kutip dari situs Ministry of Foreign Affairs Republic of Korea, Korean Wave ini pertamakali muncul pada pertenggahan tahun 1990-an hingga pertenggahan 2000-an, drama televisi dan musik Korea Selatan mendapatkan popularitas besar di negara-negara Asia seperti Cina dan Jepang.

Pada tahun 1997, drama berjudul “What Is Love” di tayangkan oleh stasiun TV ternama di Cina, China Central Television (CCTV), drama tersebut berhasil menempati peringkat kedua dalam konten video impor sepanjang masa di Cina.

Kemudian, istilah Hallyu atau “Gelombang Korea” pertama kali muncul, hal ini mengacu pada kegilaan global terhadap budaya Korea.

Pada tahun 2003, Korean Wave masuk ke Jepang melalui drama televisi “Winter Sonata”. Drama tersebut menjadi megahit dan Pulau Nami di Chincheon, lokasi syuting drama tersebut menjadi tujuan wajib dikunjungi oleh turis Jepang. Drama tersebut juga menjalar masuk ke Indonesia dan menjadi awal mula penyebaran drama televisi Korea.

Pertengahan 2000-an hingga awal 2010-an penyebaran Korean Wave dipengaruhi oleh boy groups dan girl groups yang dikenal sebagai bintang idola atau K-Pop Stars, seperti Big Bang, Girls’ Generation, Super Junior, Kara, TVXQ, 2NE1. Mereka berhasil memperluas basis penggemarnya ke panggung global, termasuk Amerika Latin dan Timur Tengah di luar Asia, penggemar mereka adalah anak muda usia remaja dan 20-an.

Korean Wave berhasil membentuk budaya yang unik dan baru dari perpaduan budaya tradisional dan modern yang menjadikannya segar dan menarik bagi masyarata dunia.

Pesona unik Korean Wave dikenal luas oleh seluruh dunia melalui platform online global seperti YouTube dan layanan jejaring sosial, penyebaran Korean Wave telah meluas tak terbatas hanya drama dan musik melainkan sudah meluas ke budaya, makanan, sastra dan bahasa tradisional Korea, hal ini menciptkan semakin banyaknya penggemar Korea.

Jumlah organisasi terkait Korean Wave yang antusias dengan budaya Korea terus meningkat. Berdasarkan data dari Ministry of Foreign Affairs Republic of Korea, jumlah organisasi ini meningkat sebesar 7% setiap tahun dan jumlah anggota sebesar 36%. Pada tahun 2020, jumlah anggota yang telah bergabung dengan organisasi di semua negara di dunia telah mencapai 100 juta. Mayoritas dari mereka terdiri dari klub penggemar K-Pop seperti ARMY (penggemar boy groups BTS), BLINK (penggemar girl groups BLACKPINK). Selain itu, organisasi dan komunitas lain juga aktif di berbagai bidang seperti drama Korea Selatan, makanan dan pariwisata.

Kesuksesan Korean Wave tidak lepas dari peran pemerintah Korea Selatan yang mendukung penuh penyebaran Korean Wave. Pemerintah Korea Selatan memanfaatkan Korean Wave sebagai alat kebijakan untuk meningkatkan diplomasi budaya dan sebagai alat untuk menghapus citra bangsa tradisional dan membangun citra nasional yang lebih modern.

Korea Selatan merupakan salah satu dari sedikit negara dunia yang menjadikan seni dan budaya sebagai komoditas ekspor yang dapat dikembangkan menjadi sebuah soft power dalam berdiplomasi.

Kebijakan Pemerintah Korea Selatan

Pada awalnya, kebijakan yang dibuat hanya berfokus untuk menjaga kebudayaan Korea Selatan dan menangkal pengaruh asing.

Pada masa pemerintahan Yun Bo Seon (1960–1962) dan Park Chung Hee (1963–1979), pemerintah membuat kebijakan-kebijakan budaya antara lain :

  1. Undang-Undang Pertunjukan Publik pada tahun 1961.
  2. Undang-Undang Perfilman pada tahun 1962
  3. Undang-Undang Promosi Budaya dan Seni pada tahun 1972.
  4. Publikasi Rancangan Lima Tahun Promosi Budaya dan Seni pada tahun 1973.
  5. Publikasi Rancangan Kerua Lima Tahun Promosi Budaya dan Seni pada tahun 1978.
  6. Pendirian Korean Motion Picture Promotion Corporation (KMPPC) pada tahun 1978.
  7. Pendirian Korean Culture and Arts Foundation pada tahun 1973.

Pada tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an, liberalisasi media mulai dilaksanakan, pemerintah Korea Selatan memberikan beasiswa dalam jumlah besar kepada seniman dari berbagai bidang untuk belajar di Amerika Serikat dan Eropa, hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengenai seni. Periode ini menjadi awal mula perkembangan industri budaya Korea Selatan.

Pada tahun 1994, masa pemerintahan Kim Young Sam (1993–1998), pemerintah mendirikan Biro Industri Budaya, tujuannya untuk mendukung produksi industri budaya sebagai industri strategis nasional melalui pengingkatan produksi mandiri, pelatihan sumber daya manusia, dan partisipasi di pasar perdagangan.

Krisis Finansial Asia pada tahun 1997/1998 menjadi pemicu untuk meningkatkan kolaborasi yang sistematis antara pemerintah dan pihak swasta dalam pengembangan industri kreatif Korea Selatan. Pada krisis tersebut perekonomian Korea Selatan berkontraksi negatif dan membuat Korea Selatan terpaksa meminjam dana dari International Monetary Fund (IMF) dengan jumlah yang besar.

Untuk memulihkan kondisi tersebut pemerintah Korea Selatan yang dipimpin oleh Kim Dae Jung, mendorong pengembangan sektor-sektor industri baru.

Presiden Kim Dae Jung (1998–2003) menaruh perhatian terhadap dua sektor industri, yaitu teknologi informasi dan industri kreatif. Menurut Kim Dae Jung, dipilihnya teknologi informasi karena pengembangan di sektor ini akan berdampak positif pada sektor industri yang lain. Sedangkan industri kreatif karena dapat mendorong ekspor produk-produk industri kreatif seperti musik, film, serta fashion sekaligus meningkatkan citra dunia terhadap Korea Selatan.

Kim Dae Jung mendeklarasikan dirinya sebagai “culture president” dan berjanji untuk mempromosikan budaya Korea Selatan kepada dunia internasional. Hal ini dibuktikan dengan dibuatnya Hukum Dasar Industri Budaya pada tahun 1999 dengan alokasi dana sebesar USD 148,5 miliar. Pada tahun 2002, alokasi anggaran untuk sektor kebudayaan ditingkatkan sebesar 1,15% dari total anggaran Pemerintah.

Kolaborasi dengan pihak swasta juga menjadi pendukung dalam peningkatan industri kreatif. Pemerintah Korea Selatan menerapkan integritasi perusahaan bisnis (chaebol) untuk masuk dan membantu industri perfilman, perusahaan investasi sebagai sumber dana, serta pelaku industri profesional sebagai pelaku kreatif. Hal ini dilakukan untuk membantu industri perfilman Korea Selatan yang awalnya berjalan macet karena kurangnya dana yang dimiliki.

Pemerintah Korea Selatan di masa presiden Roh Moo Hyun (2003–2008), menekankan pembangunan identitas nasional Korea Selatan di level internasional, dengan terus meningkatkan daya saing industri budaya, salah satunya melalui reorganisasi Kementrian Budaya, Olahraga dan Pariwisata (Ministry of Culture, Sports and Tourism). Selain itu, peran masyarakat juga semakin ditonjolkan melalui kebijakan Han Style atau Han Brand, yaitu enam simbol budaya Korea Selatan melalui pilar hangeul (alfabet Korea), hansik (makanan tradisional Korea), hanbok (pakaian tradisional Korea), hanok (rumah tradisional Korea), hanji (kertas tradisional Alquran) dan hanguk eumak (musik tradisional Korea).

Kebijakan tersebut diikuti oleh Presiden Lee Myung Bak (2008–2013), yang mengalokasikan dana APBN sebesar 1% untuk perkembangan Korean Wave. Pemerintah memberlakukan “complex diplomacy” atau “value diplomacy” sebagai kebijakan utama dalam meningkatkan citra dan merk nasional, salah satunya dengan menciptkan visi Global Korea.

Tujuan dari visi Global Korea adalah agar citra bangsa Korea yang tercipta dapat membantu masyarakat internasional ketika menghadapi suatu permasalahan sehingga tidak hanya bekerja sama saja.

Mengikuti jejak presiden sebelumnya, Park Geun Hye (2013–2017) mengatakan bahwa akan mendukung dan berkomitmen untuk terus mempromosikan Korean Wave, seperti yang diungkapkan dalam pidatonya pada tahun 2013 “In the 21st century, culture is power. Together with the Korean people we will foster a new cultural renaissance or a culture that transcends ethnicity and languages, overcome ideologies and customs, contributes to the peaceful development of humanity, and is connected by the ability to share happiness.” -Park Geun Hye

Perkembangan Korean Wave yang semakin berkembang membuat presiden Moon Jae In (2017–2022) ikut membuat kebijakan untuk mendukung penyebaran budaya Korea. Melalui New Southren Policy (NSP) atau arah kebijakan yang lebih fokus ke selatan, termasuk ke Indonesia. Kebijakan NPS bertujuan menyeimbangkan strategi diplomasi di ASEAN dan India. Untuk membuktikan komitmennya terhadap NPS, Presiden Moon Jae In mengunjungi sepuluh negara ASEAN dalam masa jabatan pertamanya sebagai presiden.

Peran pemerintah Korea Selatan terlihat dari dukungan dan kontribusinya dalam penyebaran Korean Wave. Fenomena Korean Wave berhasil membius warga dunia untuk mengenal kebudayaan Korea Selatan secara lebih dalam. Korea Selatan menginginkan fenomena Korean Wave tidak hanya berlangsung sementara, karena merupakan sebuah kebanggaan bagi Korea Selatan apabila budayanya dikenal oleh banyak negara.

Peran pemerintah Korea Selatan dalam meningkatkan penyebaran budaya bisa dijadikan contoh untuk peningkatan budaya di Indonesia. Sektor industri kreatif tidak dapat dipungkiri bisa meningkat pesat jika seluruh pihak saling bekerja sama.

Hallyu (Korean Wave) : Korea.net : The official website of the Republic of Korea

Jong Eun Chung, From Developmental to Neo-Developmental Cultural Industries Policy: The Korean Experience of the ‘Creative Turn’ (Tesis Master, University of Glasgow, 2012).

Strategi Kebudayaan Korea Selatan. http://www.academia.edu/4170486/Strategi_Kebudayaan_Korea_Selatan.

--

--