Mantranya “Acceptance”

Ebrina Victoria Bangun
3 min readApr 22, 2022

--

Terkadang kita tidak hidup untuk masa kini, dan selalu terjebak akan masa lalu ataupun berangan akan masa depan yang sepenuhnya belum kita miliki.

Aku memiliki pesan kepada diriku sendiri untuk selalu mengingat bahwa setiap orang hidup hanya di masa kini, yang hanya sebagian kecil sisanya adalah kehidupan masa lalu atau masa depan yang tidak pasti.

Jika aku fokus mengerjakan apa yang ada di depanku mengikuti nalar secara sungguh-sungguh, dengan penuh tekad, ketenangan, tanpa memberikan perhatian pada gangguan apa pun, karena menurut ku ketika aku berpegang pada hal ini tak berharap apa pun, tidak takut pada apa pun, tetapi merasa puas dengan apa yang kulakukan saat ini, aku merasa hidup ku lebih bahagia.

Aku mencoba untuk tidak merepotkan diri dengan pikiran rumit yang tak pasti, mencoba untuk bisa lebih sederhana. Berprinsip bahwa “Apa yang terjadi memang sejak awal sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa dan semua berputar sesuai dengan takdir.”

Ringkasnya, hidup ini singkat. Aku harus mencari manfaat dari apa yang terjadi di masa kini, yang sesuai dengan nalar dan rasa keadilan.

Pikiran ku menjadi dipenuhi dengan pertanyaan, kenapa aku harus kehilangan waktu dan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang lebih penting?

Ketika keadaan yang aku alami terlalu sulit untuk aku lalui, aku mencoba segera kembali ke diri sendiri dan tidak larut dalam kesedihan, karena ketika aku menjadi larut akan kesedihan, untuk bisa keluar dari itu semua tidaklah mudah dan aku khawatir akan nyaman dengan rasa sedih tersebut.

Karena pada dasarnya hal yang menyakiti diri sendiri bukanlah masa lalu ataupun masa depan melainkan masa kini dan opini diri yang membuatnya.

Segala sesuatu muncul untuk suatu tujuan.

Seperti yang diungkapkan oleh Marcus Aurelius dalam bukunya Meditations, Ia mencoba untuk tidak mengatakan “aku bernasib buruk karena hal ini terjadi padaku”. Melainkan mengatakan bahwa “aku bernasib baik, karena, meski hal ini terjadi padaku, aku bisa mengatasinya tanpa rasa sakit, tidak hancur dengan apa yang terjadi di masa kini, juga tidak takut akan masa depan.

Pertanyaan yang kemudian datang adalah, “Kenapa lebih fokus pada nasib buruk, padahal bisa fokus pada nasib baik karena diri sendiri punya kemampuan untuk mengatasinya.”

Memulai untuk menerima apa pun yang terjadi, meskipun tampaknya sulit, karena semua pada akhirnya membawa diri pada pelajaran baru.

Marcus Aurelius mengatakan terdapat dua alasan mengapa penting untuk berbahagia atas apapun yang terjadi pada diri. “Yang pertama, ini telah terjadi, diresepkan, dan ditentukan untuk diri, karena takdir itu telah dibuat sejak awal. Yang kedua, apa yang datang kepada setiap manusia adalah bagian yang menentukan dari kebahagian besar, kesempurnaan, dan memang melekat dari apa yang mengatur keseluruhan.”

Setelah aku mengalami peristiwa yang menurutku sulit aku berpikiran bahwa segala peristiwa dalam hidup terjadi demikian adanya karena diri mampu menghadapinya dengan ketahanan alami diri, atau mungkin bisa juga tidak.

Selain itu yang bisa aku kutip dari buku Meditations Marcus Aurelius, Ia mengatakan “Jika itu adalah peristiwa yang mampu diri hadapi, jangan mengeluh, tetapi hadapilah, seperti dilahirkan untuk menghadapinya. Namun jika diluar kemampuan diri, jangan mengeluh juga, karena masalah itu akan menghilang setelah ia menyita pikiran diri.”

Mengenai apapun yang terjadi tidak boleh menyalahkan Yang Maha Kuasa karena mereka tidak melakukan kesalahan, baik dengan kehedak atau tidak. Jangan menyalahkan manusia juga karena semua kesalahan mereka tidak dikehendaki. Jadi tidak ada seorang pun yang harus disalahkan.

Sebenarnya tidak perlu terlalu terkejut akan hal yang terjadi pada hidup ini, karena semua sedari awal sudah ditetapkan demikian.

--

--