Urgensi Tingkat Literasi di Indonesia
Menurut penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2015, dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Pada penelitian PISA selanjutnya di tahun 2018, Indonesia memperburuk urutannya menjadi ke-74 dari 79 negara.
Tentu saja hal tersebut bukan sebuah kabar yang menggembirakan bagi bangsa kita. Penelitian tersebut memang sangat relevan dengan keadaan lapangan di Indonesia. Kita tahu kebanyakan anak Indonesia lebih memilih bermain game online dibanding membaca buku melalui gawai mereka atau pergi ke perpustakaan. Ini menunjukan sebegitu tertinggalnya kita dengan negara lain dalam bidang literasi.
Literasi bukan hanya mengenai membaca buku saja. Literasi mengandung arti lebih luas daripada itu. Literasi juga memiliki arti sebagai kemampuan seseorang untuk menalar dan memahami tentang apa yang mereka baca. Kemampuan berliterasi juga memiliki makna bahwa kita juga memiliki kemampuan menulis yang sebanding dengan kemampuan membaca kita.
“Kunci dari kesuksesan belajar adalah mendapatkan sebanyak mungkin perspektif dari berbagai macam bidang dan area”
— Nadiem Makarim
Literasi merupakan sesuatu yang menjadi dasar bagi skill-skill lainnya. Tingkat literasi yang tinggi membuat kita memahami sesuatu lebih cepat dan tepat. Selain memahami sesuatu, kemampuan mengkritisi sesuatu juga meningkat seiring dengan bertambahnya kemampuan literasi seseorang.
Kemampuan berpikir seseorang turut berkembang bersama dengan tingginya tingkat literasi seseorang. Seseorang dengan tingkat literasi yang tinggi dapat menganalisis setiap informasi yang dia terima. Tidak hanya melalui informasi tertulis saja, jika dibiasakan, kemampuan analisis informasi ini dapat dilakukan melalui media apa saja.
Tentu saja rendahnya literasi di Indonesia diakibatkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan. Berikut telah Saya susun beberapa penyebab rendahnya angka literasi di Indonesia.
1. Kurang tegasnya eksekusi dari pemerintah
Belakangan ini, ada banyak sekali ajakan dan kampanye pemerintah tentang pentingnya literasi kepada masyarakat. Sewaktu Saya duduk di bangku SMA, pemerintah menerapkan program wajib literasi bagi seluruh siswa. Setiap pagi saya diwajibkan membaca sebuah buku selama 15 menit sebelum jam pelajaran pertama. Setelah itu, kami semua diminta untuk merangkum apa yang telah kami baca ke dalam sebuah buku harian literasi.
Itu adalah program yang sangat menarik dan sangat Saya nikmati. Tetapi sayangnya, itu hanya berjalan selama setengah semester saja. Memasuki semester genap, semua program tersebut dihentikan. Awalnya, beberapa teman Saya di kelas masih melanjutkan kebiasaan ini tanpa diperintah. Setelah beberapa minggu, sudah tidak ada lagi yang melanjutkan kebiasaan ini lagi.
Saya sangat menyayangkan penghentian program ini. Jika dilanjutkan selama 3 tahun pembelajaran di SMA, mungkin dampaknya bisa lebih baik, bahkan mungkin bisa menjadi kebiasaan permanen untuk membaca buku sebelum memulai aktivitas di pagi hari. Inilah mengapa pemerintah harus lebih mempertimbangkan lagi setiap langkah dan eksekusi yang akan dilakukan.
2. Belum dimulainya budaya membaca di keluarga
Kepribadian dan kebiasaan setiap orang dipengaruhi dan dibentuk pada masa lalu. Saat kecil, anak-anak akan menentukan orang tua sebagai role model mereka. Apapun yang orang tua lakukan, anak-anak cenderung mengikuti mereka.
Demikian juga tentang kebiasaan membaca dan kemampuan literasi. Orangtua yang jarang membaca akan membuat kemungkinan anak yang jarang membaca semakin tinggi. Orang tua dengan tingkat literasi yang rendah juga tidak dapat mendidik secara optimal kepada anaknya untuk memiliki kemampuan literasi.
Pembiasaan literasi harus dimulai dari keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah tempat anak belajar pertama kali.
Suatu konsep bernama VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) mendeskripsikan sifat tantangan masa depan dan sifat perubahan yang sedang dan akan dihadapi dunia. VUCA menjelaskan situasi ketika ancaman dunia tersebar dan tidak pasti, konflik bersifat inheren namun tidak dapat diprediksi, dan kemampuan kita untuk mempertahankan dan mempromosikan kepentingan nasional yang mungkin dibatasi oleh kendala sumber daya material dan personal.
Konsep pertama, Volatilitas, dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik yang menggambarkan jumlah ketidakpastian tentang ukuran perubahan. Ciri utama volatilitas adalah perubahan yang tidak terduga dan tidak stabil.
Uncertainty atau ketidakpastian artinya ketidakmampuan kita untuk dapat dengan yakin memprediksi masa depan. Uncertainty dapat ditandai dengan kondisi sekarang yang sangat tidak pasti.
Ketiga, Complexity atau kompleksitas adalah komponen yang mengacu pada keterhubungan (interconnectivity) setiap komponen dengan komponen lainnya dalam suatu sistem. Kompleksitas memiliki banyak komponen yang berkaitan dan sangat rumit.
Ambiguity atau ambiguitas yaitu sebuah kondisi saat hubungan kausalitas sepenuhnya tidak jelas. Ambiguitas terjadi ketika informasi yang relevan tersedia tetapi makna keseluruhan masih belum diketahui. Ambiguitas ditandai dengan ketidakjelasan hubungan sebab-akibatnya.
Kasus rendahnya literasi di Indonesia bisa kita analisis dengan framework VUCA ini. Unsur complexity ada di isu ini karena banyaknya unsur yang mempengaruhi rendahnya literasi dan saling berkaitan. Unsur tersebut misalnya belum adanya kebiasaan membaca di keluarga dan ketidakadaanya bahan literasi di tiap keluarga. Selanjutnya, ada unsur volatilitas yang ditandai dengan ketidaktahuan kita tentang kapan kasus ini akan selesai.
Untuk mengatasi masalah ini tentu saja dibutuhkan solusi-solusi yang brilian dan diperlukan peran dari berbagai banyak pihak.
Pertama, harus dilibatkan seluruh pihak agar menjangkau semua akar permasalahan. Baik dari pemerintah, perusahaan swasta, mahasiswa, siswa, influencer, dan masih banyak hal lainnya. Apabila semua pihak bekerja sama, idealnya, seluruh akar permasalahan akan dapat terjangkau. Kampanye literasi dapat dilakukan melalui pihak-pihak tersebut.
Kedua, pemerintah dapat memassalkan bahan bacaan berkualitas ke dalam masyarakat. Ini bisa diadakan dengan adanya festival baca melalui media sosial, pemberian e-book gratis, dan mengadakan pameran-pameran buku sesering dan sebanyak mungkin.
Sebagai mahasiswa, kita harus mendalami setiap PoPoPe (Posisi, Potensi, Peran) kita agar setiap langkah kita efektif dalam menangani isu ini. Mahasiswa adalah penentu masa depan bangsa. Apabila kita sudah melaksanakan peran kita sejak dini, masa depan bangsa akan menjadi lebih cerah dan lebih dekat dengan genggaman tangan
“There is more treasure in books than in all the pirate’s loot on Treasure Island.” — Walt Disney
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Online Onderwijs 2020 yang diselenggarakan oleh panitia KAT ITB 2020
Eduardo Imanuel Bastian, 16919161, Kelompok 107
#TantanganMasaDepan #DuniaVUCA #OSKMITB2020 #TerangKembali
Referensi :
Handbook Edisi I : Identitas Mahasiswa dan Tantangan Masa Depan Online Onderwijs — KAT ITB 2020
oecd.org/pisa (Diakses 15 Juli 2020 Pukul 18.15 WIB)