Kerugian Lingkungan Hidup sebagai Dampak atas Lemahnya Penegakan Hukum dalam Kasus Kebakaran Hutan

Eka Widianto Surono
5 min readJun 4, 2023

--

Indonesia terkenal akan hutan hujan tropisnya, hutan menjadi pondasi ekosistem dan penopang kehidupan di bumi. Memainkan peran yang vital dikarenakan tidak lain bahwa oksigen adalah komponen utama dalam kehidupan fisik manusia dan hewan.

Di tengah fakta bahwa Indonesia memiliki hutan yang luas, juga perlu diketahui bahwa Indonesia mengalami deforestasi yang disebabkan oleh ekspansi lahan perkebunan sawit, terjadinya kebakaran hutan, serta perambahan hutan untuk permukiman. Menurut data World Resources Institute (WRI) Indonesia masuk dalam daftar sepuluh negara dengan angka kehilangan hutan hujan tropis tertinggi pada 2018. Pada tahun tersebut Indonesia kehilangan lahan hutan hujan primer tropis seluas 339.888 hektare (ha). Angka tersebut berada di urutan ketiga setelah Brasil (1,35 juta ha) dan Kongo (481.248 ha). Untuk mengukur angka deforestasi, Indonesia telah melakukan penghitungan sejak 1990. Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996–2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,68 ha non-kawasan hutan. Terjadi kebakaran hutan yang hebat menjadi pemicu tingginya deforestasi di Indonesia. Yang kemudian berdampak pada rusaknya ekosistem. Dampak lainnya yaitu gangguan pernapasan pada manusia, bencana banjir longsor, dan menurunnya cadangan air tanah.

Kebakaran hutan kadangkali disebabkan oleh faktor kesengajaan yaitu perusahaan kelapa sawit yang sengaja membakar untuk pembukaan lahan (Yulie Monaliza Saragih, 2017). Saat ini telah ada regulasi mengenai larangan membakar hutan antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 ayat (1) huruf h; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 56 ayat (1).

Selain itu, fakta kondisi tutupan lahan dan jenis tanah juga mempengaruhi. Seperti pada daerah Sumatera dan Kalimantan, penyebab kebakaran hutan sangat dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahan maupun jenis tanah serta berkaitan dengan ketersediaan biomassa yang menjadi salah satu komponen utama terjadinya kebakaran. Dalam kondisi musim kemarau yang ekstrem, ketersediaan biomassa yang tinggi akan memperbesar potensi terjadinya kebakaran lahan. Selain itu, jenis tanah juga ikut berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Lahan gambut adalah salah satu ekosistem yang mempunyai tingkat kerawanan kebakaran cukup tinggi. Hal ini disebabkan lahan gambut mengandung material atau bahan organik sangat banyak yang tertimbun secara alami.

Bagaimana kondisi kebakaran hutan di Indonesia?

Luas area kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sepanjang 2021 meningkat dibandingkan pada 2020. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia mencapai 354.582 hektare (ha) atau mengalami peningkatan 19,4% dibandingkan 296.942 ha pada 2020. Berdasarkan catatan KLHK, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi yang terdampak karhutla paling besar sepanjang 2021, yakni 137.297 ha. Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di ururtan kedua dengan karhutla seluas 100.908 ha. Sementara itu, Banten, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta merupakan provinsi yang tidak terdampak karhutla. Kemudian luas karhutla di Bali hanya 3 ha sepanjang tahun lalu.

Gambar 1. Luas Areal Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia 2016–2021 (databoks.katadata.co.id)

Bagaimana penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan di Indonesia?

Penegakan hukum dalam konteks kebakaran hutan dapat dimaknai sebagai proses pencegahan dan proses penindakan. Kami memcontohkan dua kasus konkrit kebakaran hutan sebagai berikut.

a. PT Riau Utama

Polda Riau menghentikan Penyidikan adalah lahan yang terbakar 10 ha tersebut terdiri dari 4 ha milik perusahaan dan 6 ha milik masyarakat. Kedua, Perusahaan telah berupaya memadamkan api, daerah yang terbakar merupakan areal sempadan sungai yang sering dilalui masyarakat dan api berasal dari luar perusahaan.

Temuan Tim Jikalahari dilapangan bahwa tidak ditemukan bukti pembakaran di luar areal perusahan, dari drone terlihat terlihat jalur terbakarnya rapi yang mengindikasikan sengaja dibakar. Kedua, PT Riau Utama belum melakukan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya 135 perkebunan sehingga status kawasan PT Riau Utama masih berstatus kawasan hutan. Ketiga, tidak ada konflik antara perusahaan dengan masyarakat (Muhammad Zakaria, 2017).

b. PT Parawira

Alasan penghentian penyidikan Polda Riau adalah, pertama, luas areal terbakar 308 ha dan api berasal dari PT Langgam Inti Hibrindo yang bersepadan. Kedua, PT Parawira telah melengkapai sarpras, tidak bisa dipidana karena memenuhi aturan menurut ahli Alvi Syahrin. Ketiga, ahli karhutla menyatakan bahwa PT Parawira tidak dapat diminta pertanggungjawaban, karena PT Parawira tidak mendapat keuntungan dari menyuruh karyawan membakar.

Temuan Tim Jikalahari dilapangan bahwa, pertama, lokasi terjadinya kebakaran lahan ialah daerah gambut. Kedua, pembakaran dilakukan sebelum perusahaan melakukan penanaman sawit karena tidak ditemukan sawit yang terbakar. Ketiga, semua lahan yang terbakar tersebut telah ditanam sawit yang berusia satu tahunan bahkan sebelum SP3 diterbitkan. Keempat, tidak benar bahwa api berasal dari PT PT Langgam Inti Hibrindo karena ditemukan di antara kedua perusahaan terbakar masih ada hutan alam yang tidak terbakar (Muhammad Zakaria,2017).

Bagaimana solusi atas kebakaran hutan di Indonesia dalam perspektif hukum?

Dalam rangka menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik korporasi dan perorangan, Negara Indonesia setidaknya memiliki tiga instrumen hukum yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, rasanya ketiga undang-undang tersebut dipandang tidak menghentikan permasalahan ini. Jika dikaitkan dengan hukum, dalam perkara demikian, yang seringkali kental nuansa korupsinya. Pendekatan UU Tipikor dapat dijadikan sebagai pilihan baru untuk dapat menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan (M. Nurul Fajri, 2016).

Penggunaan UU Tipikor yang dapat menjerat pelaku pembakaran hutan serta aparatur pemerintah diharapkan mampu memberikan rasa takut bagi pelaku pembakaran hutan.

Selain itu, penguatan kelembagaan juga diperlukan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Penguatan kelembagaan merupakan upaya sebuah organisasi untuk meningkatkan kapasitas baik institusi, sistem, maupun individual dalam memperbaiki kinerja organisasi secara keseluruhan.

Sumber

Dihni, Vika Azkiya. (2022). Luas Areal Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia (2016–2021). Diakses pada 11 November 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/11/luas-kebakaran-hutan-dan-lahan-ri-bertambah-19-pada-2021.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung. (2019). Dampak Kebakaran Hutan. Diakses pada 11 November 2022, dari https://dislhk.badungkab.go.id/artikel/18292-dampak-kebakaran-hutan.

Fajri, M Nurul. (2016). Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Integritas 2(1),65.

Iqbal, Muhammad. (2022). 10+ Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia. Diakses pada 4 Juni 2023, dari https://lindungihutan.com/blog/10-penyebab-kebakaran-hutan-di-indonesia/#:~:text=Kebakaran%20hutan%20bisa%20disebabkan%20oleh,menjadi%20kering%20dan%20mudah%20terbakar.\

Pemerintah Indonesia, 2009. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta.

Putra, Rizal Akbar. (2019). Pengawasan dan Penegakan Hukum Adalah Solusi Kebakaran Hutan. Diakses pada 12 November 2022, dari https://www.dw.com/id/greenpeace-pengawasan-dan-penegakan-hukum-solusi-kebakaran-hutan-dan-lahan-di-indonesia/a-50382161.

Purnomo, Eko Priyo. (2017). Penguatan Kelembagaan dalam Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Journal of Governance and Public Policy, 4(1), 181–184.

Saragih, Monaliza Yulie. (2017). Prinsip Pertanggungjawaban Negara terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan Indonesia menurut Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution. Pandecta, 12(1),52.

Zakaria, Muhammad. (2017). Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. (Skripsi, Universitas Islam Indonesia, 2017).

--

--