Merawat Sendang Gayam di Deliksari

Desa ini hanya lima kilomater dari pusat Kota Semarang. Namun warganya selalu mengkhawatirkan air bersih, terutama jika musim kemarau tiba.

Eka Handriana
4 min readOct 27, 2016

MENYUSUT: Warga Deliksari menimba air dari Sendang Gayam yang debit airnya kian susut. (Foto: Eka Handriana)

DI tengah hari yang sedang terik-teriknya, Sukadi (55) menanti pesanan enam jerigen air yang diangkut dari Sendang Gayam. Ia membayar Rp 7.000 per jerigen. Biasanya, ia hanya ngangsu air dari tandon yang mendapat suplai bergilir dari Sendang Gayam.

Tapi musim kemarau tahun ini, permukaan air Sendang Gayam sudah berjarak di bawah rangkaian pipa. Air tak mampu mengalir pada pipa yang terhubung dengan tandon milik warga Kampung Deliksari. Pun kepada pipa yang menuju kampung Kalialang Baru.

“Ya terpaksa harus beli air. Mau ambil sendiri ke sendang juga tidak mampu,” kata Sukadi. Jarak kampungnya, Deliksari, dengan sendang mencapai satu kilometer. Melewati jalan tanah setapak yang menanjak.

Sebagian warga kedua kampung di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Semarang itu sebenarnya memiliki sumur dengan kedalaman sepuluh hingga 30 meter. Tapi airnya banyak mengandung kapur.

Sementara, tak ada layanan PDAM di sana. Meski Kawasan Sukorejo berbatasan dengan dua sungai utama di Kota Semarang, Sungai Kaligarang dan Sungai Kreo, namun memiliki karakteristik berbukit dan berkapur. Wilayah itu sudah kondang rawan kekeringan.

Pohon dan Air Menyusut

Sendang Gayam diandalkan warga sebagai satu-satunya sumber air bersih. Sayangnya, tak banyak yang peduli pada kelangsungan hidupnya. Dari tahun ke tahun, debit air Sendang Gayam terus menyusut.

Bertahun lalu, sendang yang letaknya di tengah tegalan itu masih dilingkupi vegetasi pohon. Tetapi kini, pohon di sekitarnya banyak berkurang. Hanya lima meter dari sendang, ada hamparan tanah menganga tanpa pepohonan. Jejak alat berat bekas pembabatan masih terlihat.

Di kawasan yang letaknya lebih tinggi dari sendang, juga sudah dibuka kompleks perumahan. Pohon gayam (Inocarpus fagifer) yang menaungi Sendang Gayam pun sudah renta. Tingginya lebih dari sepuluh meter, dengan diameter sekitar 1,5 meter. Akarnya masih kokoh melingkari sendang. Tapi, bagian bawahnya sudah keropos, batangnya berlubang. “Sebetulnya kami juga khawatir kalau pohonnya mati. Pasti sendangnya juga mati,” ujar Sukadi.

Ketua Badan Pengembangan Konservasi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Dewi Liesnoor Setyowati mengatakan, vegetasi pohon berpengaruh besar pada debit air sendang. Menurutnya, mempertahankan debit air perlu pengelolaan hutan di sekitar mata air dan daerah atasnya.

“Kalau daerah atas sudah dibuka, pohon-pohon sekitarnya sudah tidak ada, tidak ada air hujan yang diserap akar. Air hujan menjadi run-off di permukaan tanah, tidak bisa menjadi cadangan air,” terang Prof Dewi.

Untuk menjaga kelangsungan Sendang Gayam, mau tak mau harus mereboisasi sekitar sendang. Pohon yang disarankan; beringin, gayam dan bambu. “Jenis pohon itu akarnya memiliki kemampuan menyerap air yang kuat di sekitarnya,” kata Dewi.

Kearifan Lokal

Berbeda dengan Sendang Gayam, Tuk Serco sebagai sumber air di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal masihajeg debit airnya. Sebanyak 1.039.392 liter per hari, digunakan untuk keperluan 106 keluarga, dan irigasi sawah 5,75 hektare.

Siswadi, Tukiman Taruna, dan Hartuti Purnaweni, lewat studi yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro volume 9 tahun 2011, menyebut kearifan lokal sebagai cara merawat sumber air.

Masyarakat Desa Purwogondo mempersepsikan Tuk Serco sebagai tempat yang sakral, ditunggu oleh kekuatan gaib yang tidak boleh diganggu dan harus dihormati. Ada anjuran, larangan, dan sanksi, serta ungkapan-ungkapan yang dipakai sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga Tuk Serco.

Warga sekitar Sedang Gayam pun sebetulnya juga memiliki kearifan. Menurut Ketua RW 06 Deliksari, Supangat, ada kebiasaan membersihkan sendang dalam ritual sedekah bumi. “Biasanya dikuras, sekitar sendang dibersihkan,” katanya.

Namun kearifan itu tidak kuat. Buktinya, di dekat sendang ada penumpukan sampah plastik. Bibit pohon beringin yang ditanam Tim Unnes tahun lalu di sekitar sendang juga sudah tak ada.

Diketahui, hampir seluruh warga yang tinggal di kampung sekitar sendang adalah pendatang. Kampung-kampung itu dibuka oleh Yayasan Sosial Soegijapranata pada akhir tahun 80-an. Warga merupakan pindahan dari tengah kota yang mencicil tanah dan rumah dengan murah kepada yayasan. Pemanfaatan sendang menggunakan instalasi pipa baru dilakukan tahun 1995.

Prof Dewi Liesnoor mengatakan, warga yang bukan penduduk asli kurang peduli pada sendang dan lingkungan. Tahun lalu, Tim Dewi melakukan penelitian di Deliksari. Pihaknya menyumbangkan tiga instalasi pemanen hujan sebagai alternatif sumber air bersih. Air hujan hujan ditampung sebagai cadangan saat kemarau.

Jika itu dikembangkan, warga Deliksari dan Kalialang Baru tak harus berteriak minta kiriman air bersih saat kemarau. Namun, alih-alih berkembang, instalasi pemanen hujan justru terbengkalai, bahkan sebagian sudah rusak. “Pola pikir masyarakat harus dirombak agar lebih peduli,” katanya Dewi.

Siswadi dkk menyebutkan, untuk memelihara kelangsungan hidup sumber air diperlukan penguatan masyarakat, meningkatkan pemahaman, kesadaran, kepedulian, dan partisipasi masyarakat menuju masyarakat yang arif lingkungan. Hingga menyediakan payung hukum dengan peraturan pemangku wilayah, mulai dari Pemerintah Kota hingga Desa.

(Eka Handriana)

Tulisan pernah dimuat di Harian Suara Merdeka dan suaramerdeka.com (http://berita.suaramerdeka.com/merawat-sendang-gayam/)

--

--