you shared your earphone with me

Angie
4 min readFeb 15, 2022

--

Bayangan dari tubuhnya terlihat di dekat pintu ruangan yang penuh buku pada siang hari itu. Seperti biasa, di saku celana abu-abu kanan miliknya, ada benda pipih dengan kabel kecil bercabang dua yang cukup panjang berwarna putih.

Suasana perpustakaan tentu saja selalu sepi ketika dia datang. Aku memilih untuk duduk di meja paling ujung di balik jejeran lemari buku yang tinggi. Langkah kakinya terdengar jelas, dia menyusuri rak buku yang berada di dekat meja tempat di mana aku duduk. Tatapan matanya dengan seksama mengamati judul buku-buku yang tertata rapi. Hingga tangan kanannya memutuskan untuk mengambil buku tebal dengan sampul berwarna biru tua.

Tak banyak bicara dan secara tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran dirinya tepat di depanku.

Jangan tanya bagaimana keadaanku kala itu. Jantungku berdegup kencang, pipiku bahkan mungkin saja memunculkan semburat merah. Padahal dia hanya diam sambil membaca bukunya di depanku.

Tubuhku mengeluarkan banyak keringat. Itu adalah hal yang wajar terjadi ketika aku sedang dilanda gugup yang berlebihan. Aku semakin terdiam saat dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya di samping buku yang kubaca, mungkin dia merasa terganggu dengan gelagat anehku itu.

“Kalau mau gue pindah dari meja ini, gue ga keberatan sih. Kayaknya gue ganggu lo, ya?” tanyanya dengan suara yang pelan. Pelan sekali hingga bisa jadi aku saja yang bisa mendengarnya

“Eh, it is okay kok. I’m okay too. Cuma agak aneh aja soalnya selama ini gue selalu sendiri di meja ini. Terus tiba-tiba lo duduk di depan gue,” jawabku setenang mungkin.

“Oh gitu, sorry kalau gue tiba-tiba duduk di sini. I just want to sit with other people too, biar ga sendirian mulu. Aneh ya gue bilang gini? Tapi it is what I want. I see you few times or even often di sini, so apa salahnya kalau gue coba ngobrol sama lo.” jelasnya cukup panjang.

Tak pernah aku mengira dia akan berbicara sepanjang itu denganku. Ya, tentu saja aku pernah membayangkan momen di mana aku dan dia akan mengobrol atau berinteraksi bersama, tapi itu semua hanya sekadar bayangan. Hingga pada siang itu, dia bersuara menjelaskan alasan dirinya tiba-tiba duduk di depanku.

Aku tidak bereaksi apapun selain terdiam selama hampir lima menit memikirkan perkataannya tadi. Belum juga aku tersadar dari lamunanku. Dia sudah berbicara lagi.

“Gue sempet liat lo beberapa kali dengerin musik sambil baca buku, tapi kenapa sekarang cuma baca buku doang?” tanyanya.

Dengan cepat aku menyadarkan pikiranku dan menjawab pertanyaannya masih dengan setenang yang kubisa.

“Oh itu, earphone gue hilang. Ga tau juga deh tapi kayaknya sih ga sengaja jatuh,” jawabku.

Dia tidak membalas jawabanku dan hanya mengangguk tanda dia paham dengan apa yang kukatakan.

Hening kembali tercipta di antara aku dan dia. Ruangan itu pun tampak semakin sepi karena jam di dinding menunjukkan pukul tiga yang artinya jam pulang sekolah sudah berakhir sejak tiga puluh menit yang lalu.

Selanjutnya, aku merasa dia terus saja menatapku, sampai aku memberanikan diri untuk menatapnya dan bertanya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Mau gue kasih sesuatu ga?” jawabnya yang justru menjadi sebuah tawaran sambil tersenyum. Ya Tuhan, jika bisa berteriak mungkin aku akan berteriak saat itu juga. Sungguh dia terlihat semakin tampan sewaktu tersenyum. Kedua matanya menyipit ketika ia tersenyum. Siapapun pasti akan tersihir dengan senyumannya itu.

“Sesuatu apa? Gue ga liat lo bawa apa-apa?”

“Iya sih gue ga bawa apapun tapi gue kan punya ini. Lo biasa liat ini juga kan?” tanyanya sambil memegang earphone putih miliknya. Kemudian tangan kanannya mencopot earphone yang ada di telinga kirinya. Aku semakin dibuat salah tingkah ketika dia memindahkan earphone dari telinga kirinya ke telinga kiriku.

“Diem aja okay, dengerin ini. Gue tau lo lagi ga baik-baik aja dan ga nyaman karena earphone lo hilang dan ga bisa dengerin sesuatu buat nemenin lo baca buku,” jelasnya lagi dengan senyuman yang semakin bisa membuatku pingsan saat itu juga.

“Tapi harus banget ya dengerin lagu ini?” tanyaku.

“Iya harus itu sih, soalnya I always listen to this song whenever I feel not in the good condition and I just need the world to shut up.” katanya ketika aku diam-diam menahan senyum. Bagaimana bisa aku hanya diam saja jika yang aku dengarkan saat itu adalah lagu milik Taylor Swift berjudul Me!. Entah kebetulan macam apa ini, tapi sungguh itu adalah lagu favoritku sepanjang masa. Aku terus saja tersenyum sambil bertanya how can he knows what’s my favorite song or is this just a coincidence?

I don’t know how this is happening but just want to let you know that I am happy I get a chance to talk and interact with you in this way. You share your earphone with me and accidentally you played my favorite song,” jelasku sesuai dengan apa yang ada di pikiranku.

So, thank you for this moment you gave to me.” tutupku sambil masih tersenyum ke arahnya. Dia tentu masih tersenyum ke arahku juga.

“Terus kalau gue mau ngebagiin earphone kiri gue ke lo di lain waktu atau bahkan setiap hari, lo mau ga?” tanyanya kepadaku. Diiringi dengan suara Taylor dan Brendon yang saling bersahutan, aku dengan senang hati menganggukan kepala dan kembali menatap wajah indahnya.

--

--