Gambaran Umum: Hukum dan Pengaturan Kelembagaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia

Erickamega
6 min readOct 15, 2021

--

Oleh: Ericka Mega

Hukum dan pengaturan kelembagaan (tata kelola) menjadi dua aspek krusial penentu performa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sehingga topik ini perlu dijadikan fokus dalam publikasi riset pertama. Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan anotasi bibliografi yang membahas amandemen dalam basis hukum pelaksanaan KEK Indonesia. Sementara itu, bagian kedua adalah tulisan yang mendiskusikan perencanaan dan praktik kelembagaan KEK di Indonesia.

Bagian Pertama: Hukum (Laws)

Annotated Bibliography

Pratikto, A., Sanyojaya, A., Phan, A. T., Arnold, B., & Darsa, M. (2021). Omnibus Flash: Vol. 06 Omnibus Law to Reinvigorate Special Economic Area for Greater Investment Opportunities. PricewaterhouseCoopers. https://www.pwc.com/id/en/publications/omnibus/omnibus-flash-2021-06.pdf.

Pada tahun 2020 , pemerintah Indonesia melakukan amandemen terhadap UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, UU No. 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, serta UU No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Amandemen tersebut dilakukan di bawah Omnibus Law (UU No. 20 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) dan ditujukan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Penulis dari artikel tersebut memandang bahwa amandemen menunjukkan bentuk dukungan pemerintah yang lebih besar bagi peningkatan koordinasi dan pengembangan KEK. Penulis mencatat beberapa perubahan penting dalam Omnibus Law. Pertama, ekspansi sektor baru KEK ke bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua, perubahan yang mempersingkat proses dan tata kelola KEK. Misalnya, tidak lagi ditunjuk oleh otoritas daerah setempat, Administrator KEK ditentukan langsung oleh Dewan Nasional KEK. Ketiga, perubahan yang mendukung ease of doing business, sehingga dapat menarik lebih banyak investor. Perubahan tersebut mencakup kemudahan dalam aspek pertanahan, proses perizinan, keimigrasian tenaga kerja asing (TKA), insentif perpajakan dan fasilitas (mencakup perpajakan, kepabeanan, dan cukai), serta kemudahan ekspor impor. Dengan kata lain, amandemen ini berusaha untuk memangkas sejumlah aturan yang dianggap sebagai penghambat masuknya para investor ke KEK. Tinjauan untuk melihat efektifitas implementasi Omnibus Law dalam mendukung KEK memerlukan kajian lanjut pada peraturan operasional masing-masing sektor yang akan dibuat di kemudian hari.

Khair, O. I., & Jambak, I. S. (2020). Kontradiksi UU Cipta Kerja dalam Aspek Kawasan Ekonomi. Jurnal Ilmiah POSTULATE, 9(3). https://postulate.azzahra.ac.id/index.php/jurnal/article/view/21.

Regulasi mengenai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) mengalami perubahan secara substantif di bawah UU Cipta Kerja (Ciptaker). Mengenai isu ini, penulis artikel mengidentifikasi perubahan dan mengomparasikan substansi yang baru dengan regulasi sebelumnya. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa ada kontradiksi UU Ciptaker dalam aspek KEK. UU Ciptaker disusun dengan pola penyederhanaan sejumlah regulasi untuk meningkatkan efisiensi dan menambah nilai perekonomian nasional. Akan tetapi, dalam proses pembuatan UU Ciptaker tidak merefleksikan praktik adminitrasi yang baik, dan justru bergerak — secara sengaja atau tidak disengaja — dalam praktik disharmonisasi, tumpang tindih, pengabaian partisipasi publik, ketergesa-gesaan, serta prioritas pada ego sektoral. Padahal, proses pembuatan regulasi untuk KEK membutuhkan prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Akibatnya, meskipun didukung oleh pejabat dan pengusaha, UU Ciptaker ditentang oleh aktivis lingkungan, buruh, pelajar, dan beberapa kalangan lainnya. Selain itu, sinergitas integrasi antara pusat dengan daerah dalam UU CIptaker masih lemah, terutama dalam kaitannya dengan kesenjangan antar daerah. Secara teoritis, regulasi di tingkat nasional telah mumpun. Namun, praktiknya belum memadai ke semua sektor. Dengan demikian, pengaturan regulasi KEK dalam UU Ciptaker yang seharusnya berfungsi melancarkan perekonomian, malah berpotensi menghambat pengembangan tersebut.

Bagian Kedua: Pengaturan Kelembagaan (Institutional Set-up)

Pengaturan kelembagaan menjadi faktor signifikan yang memengaruhi keberhasilan implementasi Kawasan Ekonomi Khusus di suatu negara. Apabila pengelolaannya tidak dilembagakan dan dipraktikkan dengan baik, maka dapat menghambat tercapainya maksud dan tujuan KEK. Landasan hukum pelembagaan tata kelola KEK Indonesia diatur dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Pada tingkat nasional, pengembangan KEK diselenggarakan oleh Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2010 (Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia, n.d.). Dewan Nasional tersebut diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sementara itu, di tingkat provinsi, Dewan Kawasan dibentuk untuk membantu Dewan Nasional menyelenggarakan KEK dan mengawasi pelayanan administrasi di setiap kawasan. Di level paling bawah, implementasi langsung KEK dioperasikan oleh Administrator KEK bersama dengan Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola (BUPP). Administrator KEK berwenang untuk memberikan perizinan kepada para badan usaha dan investor melalui sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), sedangkan BUPP bertanggung jawab atas kegiatan usaha di dalam KEK. Struktur organisasi KEK Indonesia secara garis besar dilihat dalam bagan berikut.

Struktur organisasi KEK Indonesia. Diadaptasi dari Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia, Diakses 14 Oktober 2021, dari https://kek.go.id/dewan-nasional-kek

Mengacu pada struktur organisasi dan basis hukum yang tersedia, rancangan pengaturan kelembagaan KEK Indonesia tampaknya telah memenuhi standar good governance, di mana kejelasan pengaturan tugas, fungsi, dan tanggung jawab telah menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi (dalam arti, aturan yang ada telah memfasilitasi proses pengambilan keputusan) (Hidayat & Negara, 2020). Akan tetapi, apakah praktik tata kelola KEK telah sesuai dengan rancangan pengaturan kelembagaannya? Tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan bagaimana praktik kelembagaan KEK di Indonesia.

Menurut Damuri, Christian, & Atje (2015), Administrator KEK dan BUPP adalah dua lembaga yang menentukan keberhasilan KEK di suatu daerah. Namun sayang, praktik kedua lembaga tersebut masih lemah. Belajar dari studi kasus KEK Sei Mangkei, Administrator KEK mengalami berbagai masalah yang harus segera diselesaikan (Damuri, Christian, & Atje, 2015). Pertama, isu mengenai lambatnya proses pendelegasian (pengalihan) kewenangan. Kedua, kurangnya kapasitas dan kapabilitas administrator dalam mengkaji proposal perizinan usaha, sehingga urusan birokrasi menghabiskan waktu yang lebih panjang. Ketiga, banyaknya jenis perizinan yang diampu oleh Administrator, padahal staf Administrator memiliki pemahaman yang lemah mengenai karakteristik berbagai jenis perizinan. Ketiga poin tersebut baru merefleksikan sebagian kecil masalah dalam Administrator KEK. Sementara itu, masalah dalam BUPP meliputi lambatnya pembentukkan BUPP permanen, sehingga pembangunan perusahaan di KEK sangat terhambat (Damuri, Christian, & Atje, 2015). Padahal, BUPP memegang tanggung jawab ganda untuk memberikan keuntungan maksimal bagi pemegang saham dan melayani kepentingan perusahaan-perusahaan dalam KEK. Persoalan tidak berhenti di masing-masing lembaga, melainkan mencakup juga persoalan terkait koordinasi di antara lembaga yang menyebabkan persoalan besar dalam praktik KEK.

Persoalan dalam praktik tata kelola KEK di Indonesia tampaknya masih terus berlanjut. Kal ini, kesuksesan praktik tata kelola KEK ditinjau dari kinerja dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam tesisnya, Julastuti (2019) menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan KEK di Indonesia masih sarat dengan persaingan kekuatan yang terpolarisasi, di mana mekanismenya justru menjadi arena bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai akses ke sumber daya yang dapat mempertahankan kekuasaan. Dari sini, praktik tata kelola KEK masih penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta birokrasi yang kompleks. Argumen tersebut juga memuat bukti carut-marut koordinasi kelembagaan di tingkat pemerintah daerah sebagai akibat dari adanya principal-agent, moral hazard, dan adverse selection dalam struktur tata kelola KEK di tingkat pemerintah pusat. Mengenai hal ini, pengaburan batas antara eksekutif dan parlemen dalam praktik operasionalnya, baik di tingkat pusat dan daerah maupun dalam relasi pusat-daerah, menyebabkan ketidakjelasan mengenai siapa yang menjadi prinsipal, agen, dan lembaga pengawas.

Kedua argumen di atas kemudian diperkuat kembali oleh argumen Hidayat & Negara (2020). Meskipun melihat perencanaan struktur kelembagaan KEK telah memenuhi prinsip good governance, analisis lebih lanjut terhadap studi kasus menunjukkan bahwa praktik tata kelola KEK berbeda dengan konsep yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga muncul dualisme di tingkat kota/kabupaten. Pemerintah di tingkat kota/kabupaten mencoba untuk tunduk pada agenda dan kebijakan nasional, tetapi pada saat yang sama cenderung bertindak sewenang-wenang untuk memenuhi kepentingan pribadi. Hidayat & Negara (2020) menjelaskan tiga (3) faktor penyebab masalah tersebut. Pertama, kepentingan pribadi masing-masing aktor yang menghambat atau menggagalkan kepentingan nasional. Kedua, pengaturan kelembagaan yang bersifat sangat “state-centered” dengan mekanisme top-down, sehingga kurang ada pemeriksaan yang bersifat bottom-up. Ketiga, adanya kecenderungan untuk mengabaikan konteks dan kebutuhan lokal. Pengaturan kelembagaan KEK Indonesia hanya fokus pada hal-hal yang sifatnya struktural dan mekanis, tetapi dalam praktiknya, abai terhadap konteks kultur, sejarah, kebutuhan, dan dukungan rakyat lokal.

Dengan demikian, penulis berargumen bahwa praktik tata kelola KEK di Indonesia mengalami persoalan yang belum terselesaikan meskipun rancangan pengaturan kelembagaan sudah baik. Pemerintah seharusnya segera serius memperhatikan dan menyelesaikan masalah tersebut. Solusi dan perubahan perlu segera dicapai agar pelaksanaan KEK di Indonesia dapat berjalan lancar dan manfaatnya dapat dirasakan bersama.

DAFTAR REFERENSI

Damuri, Y. R., Christian, D., & Atje R. (2015). Kawasan Ekonomi Khusus dan Strategis di Indonesia: Tinjauan atas Peluang dan Permasalahan. Centre for Strategic and International Studies.https://www.csis.or.id/uploaded_file/research/special_economic_zone__policy_framework_and_prospects.pdf.

Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia. (n.d.). Dewan Nasional KEK. https://kek.go.id/dewan-nasional-kek.

Hidayat, S., & Negara, S. D. (2020). Special Economic Zones and the Need for Proper Governance. Contemporary Southeast Asia, 42(2), 251–275. https://www.jstor.org/stable/10.2307/26937802.

Julastuti, M. (2019). A Critical Evaluation of Indonesia’s Special Economic Zones using New Institutional Economic Approach [Doctoral dissertation, University of Bristol]. University of Bristol. https://research-information.bris.ac.uk/en/studentTheses/a-critical-evaluation-of-indonesias-special-economic-zones-using-.

--

--