Cerita Dari Padang Pasir Yang Tidak Padang Pasir-Padang Pasir Amat (Bagian 5)

E. Juaryo
4 min readSep 25, 2019

--

Seperti biasa, ini cerita bersambung, kalo belum baca awalnya, bisa dibaca di sini yak.

Bar Stucks Riyadh Gallery ini setting-nya kan open family section ya, tapi tetap menerima singles juga. Kami punya 2 POS (Point of Sale) cash registers bersebelahan, 1 buat family, sebelahnya buat singles. Itu juga masih dipisah pembatas setinggi orang, biar yang antri gak bisa sambil modus gitu. Ini penting, karena orang Saudi itu modus banget.

Nah, cara ambil order dari bagian family/perempuan ini yang cukup berbeda. Shadi, temenku si orang Mesir itu bilang, “Di sini kita gak boleh liat perempuan langsung, jadi kalo ambil order mereka, kamu sodorin kuping kamu. Dan gak usah tanya namanya, cukup tulis nomor ordernya aja.”

Ternyata saat itu, memanggil nama perempuan keras-keras di depan umum itu semacam kurang elok, jadi lebih baik tidak usah. Jadi di Saudi sih tidak ada “tragedi” salah tulis nama, karena memang gak ada barista yang tulis nama. Meskipun sebetulnya sudah jadi SOP Bar Stucks di seluruh dunia untuk selalu menulis nama di cup, tapi di Saudi tidak berlaku. Pokoknya negeri ini memang istimewa.

Begitu pun cara menerima uang dan memberikan struk dan kembalian. Mereka akan menaruh uangnya di meja, kasir ambil, lalu pas ngasih kembalian caranya sama. Jadi memang tanpa kontak fisik. Di belahan dunia lain mungkin kesannya tidak sopan ya, tapi di sini biasa aja, karena memang begitu kebiasaannya.

Shadi juga bilang, “Kamu jangan kebanyakan senyum, nanti dianggap murahan.” Dianggap murahan gimana sih? Aku kan kerja di toko, bukannya mesti ramah ya sama customer? Lagian masa pasang muka kenceng mulu sih. Aneh banget.

Later on, aku paham apa maksudnya dengan jangan kebanyakan senyum ini. Tapi nanti aja ceritanya ya.

Baru beberapa hari bekerja, aku dipindahkan ke Bar Stucks cabang Kingdom Centre yang letaknya di bawah Burj Al-Mamlaka yang kuceritakan kemarin, untuk training karena Kingdom Centre lebih ramai daripada Riyadh Gallery. Di sana aku bertemu orang Indonesia lain, namanya Agung yang sudah bekerja selama satu tahun. Aku senang sekali karena selain lebih dekat dengan akomodasi (aku hanya perlu jalan kaki selama 20 menit, pas winter pula yang mana enak banget), kan jadi ada temen dong yang lebih paham situasi sekitar nih.

Kingdom Centre ini adalah mall kelas atas, tenants di dalamnya meliputi designer’s brands, jadi customers-nya juga agak lebih.. beradab. Begitu juga dengan mutawwa (semacam polisi syari’ah) yang bertugas di sana. Kalo di Riyadh Gallery, mutawwa-nya menyuruh sholat dengan cara yang agak kasar, kalo di Kingdom Centre tidak. Pada saat waktu sholat, mereka akan berkeliling, dan bertanya “Are you muslim? If you are, mari sholat dulu.”

Di mall ini, ada 3 Bar Stucks, Level 0, 2, dan 3. Level 2 itu letaknya di lantai atas, khusus perempuan. Iya, ada satu lantai dikhususkan untuk keperluan perempuan, laki-laki gak boleh masuk. Level 0 itu di lantai dasar, dan Level 3 di basement. Dua-duanya toko publik, ada family & single section. Aku ditempatkan di Level 0, toko paling ramai.

Di sini aku merasakan betapa repotnya kerja di toko dengan 2 sections, karena setup tokonya itu single section itu back-to-back dengan family section, dibatasi tembok dan ada pintu tembus. Mesin POS ada di masing-masing section, tapi mesin espresso dan blender cuma ada di single section. Kami beneran mesti bolak-balik ambil marked empty cups dari kasir, lalu mengantarkan minuman yang sudah selesai dibuat, belum lagi orderan makanan.

Supervisor di Level 0 namanya Paolo, orang Filipina, kami kira-kira seumuran. Orangnya kecil, rambutnya gondrong, agak urakan, tapi selalu ramah dan penuh semangat. Pada suatu hari, dia melayani customer orang Filipina, tapi mukanya agak kecut. Lalu dia bercerita kalo orang Filipina yang dia layanin tadi itu sombong, udah gak mau pake Tagalog karena dia pernah gabung dengan US Navy. This explains kira-kira kenapa orang Filipina selalu langsung berubah gak ramah begitu sapaan Tagalog mereka kubalas pake bahasa Inggris.

Ngomong-ngomong orang Filipina, mereka menyebut orang yang sebangsa dengan mereka sebagai kabayan yang artinya fellow countrymen. Pertama kali ada yang menyapaku, “Kabayan?” Aku kaya, “Wah, ada orang Sunda lain nih. Tapi kok dia bisa tau ya aku orang Sunda?” padahal maksudnya dia nanya kalo aku orang Filipina atau bukan. Kecele, deh..

Dari Paolo juga aku belajar untuk bekerja lebih rajin. Suatu hari kami berdua bekerja di Level 3, toko yang sepi banget. Sebelum tutup, aku ditugaskan membersihkan mesin pemeras jeruk Zumex, sementara dia mengerjakan tugas yang lain.

Lalu dia memeriksa pekerjaanku, rupanya kurang bersih karena memang aku juga agak asal sih bersihinnya. Sambil membuka mesin dan membersihkan ulang, dia bilang, “The reason why they need us here, is because they expect us to work better than locals.” Di situ aku merasa malu, dan selanjutnya berusaha bekerja dengan lebih baik.

Pada saat bekerja di Kingdom Centre ini aku akhirnya bertemu dengan District Manager-ku, namanya Ahmed, orang Jordania. Orangnya ramah sekali. Hal pertama yang dia bilang adalah, “Erie, my job is to help you. If you have any issue, give me a call. Here is my number.”

Dia ulang-ulang beberapa kali sampai akhirnya, “Mana sini nomer kamu.” Ini ada hal yang nyaris tidak pernah aku dapatkan dari atasan-atasanku sebelumnya. Aku tidak pernah merasa lebih dihargai sebagai manusia daripada saat itu.

Seminggu kemudian, aku dikembalikan ke Bar Stucks Riyadh Gallery, di sini lah dimulai interaksi-ku dengan orang lokal yang kelakuannya aneh-aneh. Apa aja ceritanya? Di bagian selanjutnya ya.

Terima kasih sudah membaca!

--

--