Coffee Shop

Erika Reieru
1 min readOct 9, 2018

--

Bandung 2016

Pesanannya masih saja sama, espresso with double sugar. Sedangkan aku, sudah beberapa tahun ini mengganti kopi favoritku dengan mochaccino.

“Tidak pesan macchiato caramel?” Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.

Entah bagaimana dia masih mengingat jenis kopi yang selalu kupesan ketika dulu kami duduk berdua seperti ini di kala senja. Membicarakan topik apa pun yang bisa kami bahas. Hingga malam menjelang. Ya, dulu, dulu sekali.

“Sibuk apa sekarang?” tanyanya dengan sorot mata yang sulit kuartikan.

Dan — dengan sangat singkat — aku menjawab, “Masih sama.”

Dia mengangguk-angguk. Tangannya meraih cangkir espresso-nya, kemudian meneguknya dengan perlahan.

“Sama siapa sekarang?”

Aku diam, mengalihkan tatapan ke dalam cangkir kopiku. Meraihnya dan memenuhi mulutku dengan mochaccino. Pertanyaan itu tidak ingin aku jawab.

“Kamu berubah,” ujarnya setelah jeda beberapa saat. Terdengar begitu menyakitkan.

Aku mengembalikan pandanganku kepadanya. Tak ada yang berubah darinya, bahkan aroma biji kopi bercampur kayu manis dan daun mint masih melekat padanya.

Hanya satu yang berbeda, bahwa aku bukanlah seseorang yang berada dalam pantulan matanya lagi.

“Kamu juga,” kataku. Pelan.

Senja itu, kami bertemu kembali. Bukan untuk berbagi cerita satu sama lain — seperti yang sudah-sudah. Namun, sebagai orang asing yang dipertemukan kembali.

--

--