Kembali Pulang

Fairylittlerly
6 min readAug 5, 2023

--

“Si Juan aneh banget anjrit, padahal Abel ada di sini” Ungkap Mic saat melihat komentar ucapan selamat dari Juan pada postingan Abel. Sedangkan lelaki jangkung itu hanya terkekeh kikuk.

“Bae atuh anjir,” Balas Juan dengan nada sundanya yang lekat.

Kini di ruang inap Jeihan banyak mahluk-mahluk tak di undang yang datang menjenguknya. Ada Danu dan Orion yang berdiri di dekat ranjang Jeihan sedangkan Mic dan Juan tengah duduk di sofa. Sementara Saga, Resya dan Joshua belum juga tampak di sana.

“Bang Saga belum nyampe ya? Padahal dia orderin kita ojol satu-satu,” Ucap Danu sedikit terkekeh membuat dahi Jeihan mengernyit.

“Satu-satu? Emang bisa?”

“Bisa, pake car bang. Jadi pertama jemput gue, terus Danu, terus Mic sama Juan. Kebetulan banget nih bocah-bocah searah kan,” Jelas Orion.

“Kenapa nggak lo yang jemput sih Chi?”

“Males nyetir ah, lagian bang Saga mau orderin kita.. jadi ya udah lah gas aja,”

“Abel, selamat ya. Ikut seneng denger Gian siuman,” Ungkap Danu tersenyum ramah.

“Makasih banyak kak,” Balas Abel dengan senyuman sopan pada adik sepupu kekasihnya.

Dari situ ucapan selamat dan bahagia pun terucap dari orang-orang yang ada di sana.

“Berarti lo pulang hari ini ya?”

Abel mengangguk, “Iya kak Juan,”

“Pake apa?” Tanya Ochi.

“Pesawat Mas, butuh cepet soalnya,”

“Udah pesan tiketnya?” Tanya Mic.

Abel mengangguk, “Udah kok, flight jam setengah enam sore,”

“Mau gue anter?” Tanya Orion, membuat yang lain memicingkan mata jail.

“Awas bang Han, si Ochi mulai nih suka rebut-rebut pacar orang,” Ungkap Juan sambil menyeringai hingga membuat kedua mata Orion terbelalak panik.

“Nggak bang, fitnah anying Juanda! Nggak ada aing rebut-rebut pacar orang!” Elaknya sambil menunjuk Juan yang kini sudah tertawa puas.

“Terus Tita Tita itu gimana Chi?” Timpal Danu tak mau kalah.

Abel pun ikut tertawa, “Masih chattingan sama Tita Mas?”

“Waduh ditanyain tuh Chi,” Ujar Jeihan lalu terkekeh.

“Nggak Bel, nggak chattingan lagi. Tita nya nggak mau putus sama pacarnya padahal kan dibanding doi soal ganteng dan baik mah, gue juaranya nggak sih Bel?”

“Nggak sih,” Bukan Abel, itu suara Mic yang terdengar santai sambi menyeruput minumannya.

“Bajingan!” Umpatnya datar membuat yang lain terbahak. “Ih beneran Bel ini mah sebagai adik ipar yang baik, mau nggak gue anterin? Bang Han nggak masalah kan Abel gue anterin?”

Jeihan menggeleng, “Nggak apa-apa, makasih malah kalo lo mau anterin Abel tapi masalahnya lo kan nggak bawa mobil,”

“Eh anjrit iya ya! Nanti pinjem mobil bang Saga lah gampang,”

Saat itu Saga muncul dibalik pintu ruang rawat inap bersama Resya dan Joshua.

“Abeeeel,” Resya berlari kecil mendekati perempuan yang sedang duduk di samping Jeihan lalu memeluk erat. “Ikut seneng dengernya, legaaa banget denger Gian bisa bangun,”

Abel mengangguk sambil melerai peluk, “Iya Sya, makasih banyak yaa,”

“Mas Jeihan gimana sekarang?” Tanya Resya menatap Jeihan.

Jeihan mengulas senyum tipis, “Udah mendingan kok Re, makasih ya udah ikut jenguk sama kasih ini juga,” Ucapnya sambil menunjuk keranjang berisi buah-buahan.

Resya pun mengangguk-anggukkan kepalanya, “Iya Mas, itu buah-buahannya dimakan ya,”

“Banyak banget ini manusia-manusia, nggak dimarahin suster kan?” Tanya Joshua.

“Disuruhnya sih berdua-berdua, tapi ya udah lah sekalian aja orang Juan sama Mic cuma bentar,”

“Mau kemana lo berdua?” Tanya Saga.

“Mau nonton,” Ucap Juan santai.

“Berdua doang?” Timpal Joshua.

Mic mengangguk, “Iya berdua,”

“Lengket banget mereka mah kayak lem tikus,” Komentar Danu.

“Iya elu tikusnya,” Seru Juan.

Joshua yang berdiri di dekat Danu dan Orion lalu bergeser semakin mendekat ke arah Jeihan. Ia memeriksa teman nya dari mulai mengecek suhu badan dengan termometer, selang infus juga beberapa pertanyaan-pertanyaan yang membuat Jeihan bosan.

“Udah Jo, gue nggak apa-apa sekarang. Tadi dokternya juga udah periksa kok,”

Joshua terkekeh, “Reflek Han,”

“Bang bisa tolong periksa manusia itu nggak?” Tanya Juan sambil menunjuk Orion.

“Ochi kenapa emangnya?”

“Sakit hati bang, jadi korban PHP,” Canda Juan sambil tertawa.

“Jiaaaakh,” Timpal Mic sambil ber-tos ria dengan Juan.

“Sabaaar.. sabar,” Danu yang berdiri di samping Orion pun mengusap pundak lelaki berpipi chubby itu yang kini hanya mendengkus malas, “Sabar aja, terima aja takdir percintaan lo yang suram itu,” Lanjutnya Danu hingga Orion kesal.

“Sama aja lu Danu!” Orion menghempaskan tangan Danu. “Bel, mau berangkat sekarang?”

“Mau pulang ke Jogja lagi ya?” Tanya Joshua.

Abel mengangguk, “Iya mas Jo,”

“Hati-hati ya Abel, semoga Gian cepet sembuh,” Ungkap Sagara yang duduk di tepi ranjang Jeihan.

“Makasih mas Saga,” Balasnya, “Aku pulang dulu ya mas,” Pamit Abel pada Jeihan, lelaki itu mengangguk menarik kedua sudut bibirnya.

“Hati-hati, salam untuk om Satya ya,”

Abel mengangguk, “Iya nanti aku sampein ke papi,” Ucapnya sebelah tangannya menggenggam tangan Jeihan.

Gian hanya menatap orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan kosong. Seminggu sebelum ini, Gian sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisi lelaki itu terus membaik seiring waktu, di kala lelap panjangnya sang Ibunda, Sita, setia berada di sampingnya, mengajaknya berbicara banyak hal, perempuan paruh baya itu kembali menjadi seorang ibu yang selalu ada untuk sang anak, persis seperti saat Gian masih belia.

Selain itu, Sita dan Satya juga Abel pun terus memperjuangkan keadilannya. Mereka tak pernah menyerah, meskipun Satya masih bekerja di rumah sakit —dimana pemiliknya adalah orangtua dari pelaku – dirinya tak pernah gentar. Ia tak takut, karena banyak sekali orang yang mengawasi kasus putranya.

“Gian tahu kami siapa?” Tanya Sita, dirinya sudah sampai di rumah sakit tepat setelah pemeriksaan sang anak.

“Kalau Gian tahu, tolong kedipkan mata saja,” Sahut sang dokter.

Perlahan, kedua kelopak mata Gian berkedip hingga semua orang yang ada di sana menghembuskan nafas lega.

“Gian terimakasih, Nak,” Ungkap Satya terus mengucapkan syukur atas kembalinya sang anak.

“Gian, mami minta maaf sayang. Terima kasih Gian mau kembali, terima kasih sudah berjuang,” Sita mencium kening sang anak dengan derai air mata yang tak hentinya mengalir, sebuah air mata bahagia yang selama ini ia nantikan.

“Dokter Sita, dokter Satya kami harus melakukan observasi lebih lanjut lagi terhadap pasien. Syukurlah Gian tidak kehilangan ingatannya, untuk mengembalikan fungsi motoriknya kita lakukan fisioterapi dan okupasi, Dokter mungkin tahu kalau semua ini membuntuhkan waktu yang tidak sebentar Dok. Jadi kita perlu berjuang lagi, sabarnya di perluas lagi karena di masa-masa seperti ini justru kesiapan wali pasien benar-benar di uji,”

Satya dan Sita kompak mengangguk, “Baik dok, saya mengerti. Kita lakukan yang terbaik untuk Gian. Saya tahu semuanya tidak mudah, kami siap mendampingi anak kami sampai sembuh,” Ungkap Sita.

Dokter itu pun tersenyum, “Kalau kondisinya sudah mulai stabil dan memungkinkan, kita akan lakukan konseling juga dengan psikiater untuk memulihkan trauma,”

“Baik Dok,”

“Kalau begitu saya pamit Dok, nanti akan ada perawat yang standby di sini menemani kalian,”

Sita dan Satya serempak mengucapkan terima kasih, setelah itu dokter itu pun berlalu. Mereka saling memeluk satu sama lain.

“Kita harus kuat mi,”

“Iya pi.. kita harus kuat. Mami akan lakukan apapun agar Gian kita kembali seperti dulu,”

Satya mengangguk, “Kita ke dalam yuk?”

Mereka berdua pun masuk ke dalam, Gian di sana tengah melamun melihat jendela yang menampakkan langit gelap. Pemuda itu terisak menangis dengan suara yang cukup keras membuat Sita dan Satya berlari memasuki ruang rawat inapnya.

“Gian ada apa? Kenapa Nak?”

“Ada yang sakit?” Tanya Satya.

Gian menggeleng-gelengkan kepala, “Takut.. gelap,”

Tubuhnya yang bergetar segera Sita peluk erat, “Gian nggak perlu takut ya, sekarang ada mami dan papi di sini ya sayang,”

“Takut… gelap,” Ucapnya berulang-ulang seolah ingatan akan malam itu kembali menghantuinya.

“Iya Gian iya, di sini ada mami sama papi. Kita nggak akan tinggalin Gian, kita di sini,” Ungkap Satya mengusap punggung sang anak. Dirinya harus tegar dan kuat menahan air mata agar anaknya bisa percaya bahwa kedua orangtuanya dalam melindunginya. Agar Gian tahu, bahwa mereka adalah tempat paling aman untuknya.

Saat itu pintu terbuka, Abel segerak mendekati sang adik. Dirinya tak dapat menahan air mata haru saat mendengar suara tangis Gian.

“Gian,”

Sita dan Gian melerai peluk, “Gian lihat itu siapa?” Tanya Sita.

Gian memandang kakaknya lekat, “Mbak Abel,” Ucapnya hingga perempuan itu merengkuh, memeluk Gian dengan erat.

“Gian makasih udah bertahan, makasih udah ingat dan memeluk mbak lagi,” Tangis Abel semakin pecah saat Gian membalak pelukkannya.

“Mbak Abel,” Kata Gian lagi sambil terisak.

“Iya Gi.. mbak di sini, Gian nggak perlu takut ya. Mami, papi, dan mbak akan temani Gian. Gian nggak akan sendirian lagi, Kita semua di sini, kita semua sayang sama kamu Gi,”

--

--