Si Anak dan Pendongeng

898
2 min readFeb 15, 2023

--

Ini kisah seorang anak yang sedari kecil sudah dijejali mimpi dan segala pernak pernik keindahan dunia. Padahal mereka yang mendongengkan perihal keindahan, lupa menceritakan akan sedihnya kehidupan.

Mereka hanya bercerita satu sisi. Namun siapa juga yang tega menceritakan pada anak kecil yang lugu ini? Anak kecil yang tak sabar menjadi dewasa.

Oleh karena itu, para pendongeng meminta si anak untuk selalu teguh dalam menggenggam segala mimpi agar kelak dirinya menjadi sesuatu yang tak pernah ia sesali. Tentu, sesuatu yang membahagiakan dirinya tanpa mempertimbangkan lainnya.

“Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti,” ucap para pendongeng itu.

Anak ini semakin tak sabar menjadi dewasa karena ingin segala pertanyaannya segera terjawab. “Dunia ini terlalu membosankan karena hanya di rumah,” utas anak penuh khayal ini.

Berpikir mereka yang keluar rumah untuk bekerja dengan menenteng berbagai jenis tas, warna baju yang beragam, dan riasan muka yang mengangumkan merupakan orang dewasa yang dipenuhi kebahagian. Tidak monoton; bagi si anak yang hanya makan, mandi, bermain, lalu tidur. Ya mungkin sesekali untuk belajar.

Tumbuh, suatu proses yang membutuhkan waktu penuh.

“Dimana para pendongeng itu ketika aku tumbuh?” tanya anak itu.

Si anak berhasil menemukan mereka berada di samping, di belakang, di depan, meski ada yang tidak dimana pun. Berkat rasa yakin dirinya tak sendiri, anak ini mulai berani berlari.

Ketika lelah, genggaman mimpinya pun mulai merenggang. Berhentilah dia dijeda-jeda waktu. Ketika ditanya mengapa oleh pendongeng, anak itu dengan lantang menjawab

“Mengapa aku harus berlari secepat ini? Lalu kenapa kalian tidak memberi tahu aku tentang apa saja yang akan terjadi? Lantas, bagaimana aku menghindarinya? Itulah yang membuatku sering berhenti. Lalu kapan aku sampai tujuan?”

Para pendongeng itu tertawa kecil dan berkata

“Sabar, sayang. Perjalanan yang tidak diketahui lebih bisa dinikmati, dibanding kamu harus mengejar apa yang kamu sudah ketahui. Apakah nanti itu akan membuatmu berlari seperti ini? Tentu tidak, itu yang membuat kamu terus menepi. Dan apakah kamu akan belajar membuat keputusan?

Sayang, jangan menyerah, karena waktu tak pernah mau mengalah. Bentang jarak perjalananmu masih panjang. Lari, jika perlu. Beristirahatlah, jika kamu sedang pilu.

Genggam lagi mimpimu yang pernah kamu ukir. Ingatlah hal indah yang membuat kamu tak sabar menjadi dewasa pada saat dahulu.

Yakinlah kamu selalu berangsur menjadi lebih baik, sayang. Karena kamu selalu tumbuh.”

Anak ini pun ikut tertawa sambil bergumam “Inikah rasanya menjadi dewasa?”

Kini anak yang selalu menghitung umurnya menunggu dewasa, akhirnya menjadi pengembara tanpa peta.

Bukan tanpa tujuan. Hanya saja berpetualang tanpa memperdulikan sebuah perjalanan. Bukannya lebih menyenangkan? Sekaligus mengejutkan.

Setelah sekian tahun berlalu, Si Anak yang mulai menjadi dewasa menuliskan surat untuk para pendongeng.

--

--