Industri Oleokimia dari Kelapa Sawit, Keunggulan Kompetitif Indonesia
Kekayaan alam Indonesia memang tiada duanya. Bayangkan sebuah archipelago beranggotakan 17.500 pulau yang membentang luas di antara dua samudera dan dua benua dengan tanah yang luar biasa subur, ribuan flora dan fauna tumbuh di atasnya. Tentunya menjanjikan kesejahteraan dan kelimpahan rezeki bagi penduduknya.
Namun yang terjadi saat ini, ibarat seorang pemuda yang mati kelaparan di sebuah gubuk penuh gabah, semua yang ia butuhkan untuk makan tersedia di sekelilingnya namun tetap saja ia tidak mampu mengisi perutnya sendiri. Hal inilah yang dialami oleh penduduk Indonesia, negeri yang begitu makmur namun penduduknya sendiri menderita.
Apa yang salah dengan negeri ini? Tentu salah satunya adalah ketidakmampuan rakyatnya untuk mengolah sumber daya alamnya menjadi sesuatu yang berguna untuk mereka sendiri dan juga dunia. Pada kasus ini, seorang insinyur teknik kimia merupakan salah satu pihak yang harus disalahkan, karena di tangan merekalah semestinya hasil bumi disulap menjadi produk bernilai tinggi yang bisa dikonsumsi dan dinikmati oleh para penghuni tanah Indonesia.
Indonesia dan Kelapa Sawit
Salah satu jenis komoditi unggulan Indonesia adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis). Tidak semua negara memiliki iklim dan tanah yang cocok untuk ditanami kelapa sawit yaitu daerah sekitar ekuator yang bersifat tropis dan basah (lembab, dengan RH ~ 85%), dengan suhu berkisar 24–32°C sepanjang tahun, sinar matahari melimbah, curah hujan tinggi (~ 2,000 mm) (GAPKI, 2016). Indonesia merupakan salah satu negara yang kondisinya sangat sesuai dengan kebutuhan kelapa sawit, sehingga tumbuhan ini ditanam di Indonesia secara besar-besaran. Luas total area perkebunan sawit di Indonesia sebesar 11.672.861 hektar (Ditjen Perkebunan, 2016). Pada Gambar 1 ditunjukkan jumlah produksi minyak kelapa sawit berdasarkan negara penghasilnya.
Dari Gambar 1, terlihat bahwa Indonesia merupakan penghasil terbesar minyak kelapa sawit di dunia dengan total produksi 38,98 juta ton per tahun, terpaut cukup jauh dari negara nomor dua (Malaysia) yang produksinya berada di angka 22,37 juta ton per tahun.
Mengenal Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit sendiri merupakan minyak nabati dengan jumlah produksi tertinggi di dunia, yang juga memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Berikut pada Gambar 2 ditunjukkan luas area total dan jumlah produksi dari beberapa minyak nabati utama di dunia.
Dari jumlah area perkebunannya, sawit hanya menguasai 5% dari total area di seluruh dunia, namun dari jumlah produksinya adalah yang tertinggi, mencapai 32% dari total produksi minyak nabati di dunia. Hal ini menunjukkan produktivitas sawit yang sangat tinggi. Secara lebih detil, produktivitas dari beberapa minyak nabati utama di dunia ditunjukkan pada Gambar 3.
Dari Gambar 3 nampak jelas jika produktivitas sawit sangat tinggi, bahkan lima kali lipat lebih dari biji rapa. Artinya, dengan luas perkebunan yang sama, minyak kelapa sawit yang didapatkan jumlahnya lima kali lipat lebih banyak dibandingkan biji rapa. Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan kompetitif pada kelapa sawit, dan dengan cara yang tepat minyak sawit mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Dari segi harga, minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati dengan harga paling rendah. Harga beberapa minyak nabati utama di dunia ditunjukkan pada Gambar 4.
Harga minyak sawit merupakan yang termurah dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya, hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit kurang cocok jika dijual langsung dalam bentuk mentah (crude oil) dan akan jauh lebih cocok dan potensial jika digunakan sebagai bahan baku produksi bahan kimia intermediet dan akhir. Namun, Indonesia masih mengekspor 19.043.783 ton minyak kelapa sawit dalam keadaan mentah dan belum diolah (sekitar 50% dari total produksinya) ke luar negeri. Hal ini sangat disayangkan karena seharusnya minyak kelapa sawit bisa diberikan nilai tambah terlebih dahulu agar harga jualnya lebih tinggi dan lebih banyak mendatangkan keuntungan utamanya bagi masyarakat Indonesia.
Minyak Kelapa Sawit untuk Industri Oleokimia
Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak dari buahnya (disebut minyak sawit atau palm oil) dan juga dari intinya (disebut minyak inti kelapa sawit atau palm kernel oil/PKO). Minyak mengandung trigliserida yang jika dihidrolisis akan menghasilkan asam lemak dan gliserol. Reaksi hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol ditunjukkan pada Gambar 5.
Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki komposisi asam lemak yang berbeda, ditunjukkan pada Tabel 1.
Di dunia, sebagian besar (80%) minyak nabati masih digunakan untuk kebutuhan di bidang pangan. Namun, karena meningkatnya permintaan bahan kimia berbasis minyak nabati (oleokimia) dan harga jualnya yang tinggi membuat industri oleokimia semakin berkembang di beberapa dekade terakhir. Awalnya industri oleokimia menggunakan bahan baku lemak hewani dan minyak kelapa. Namun pada perkembangannya minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit mulai digunakan karena jumlahnya berlimpah, harganya murah, dan komposisi asam lemaknya mirip dengan lemak hewani dan minyak kelapa (Ooi dan Kifli, 2002).
Secara umum, produk oleokimia dasar terdiri dari gliserin, asam lemak, metil ester rantai panjang, dan alkohol rantai panjang (fatty alcohol). Metil ester dan alkohol rantai panjang didefinisikan sebagai metil ester dan alkohol dengan jumlah karbon ≥6. Simplifikasi proses manufaktur oleokimia dasar ditunjukkan pada Gambar 6.
Reaksi kimia yang terlibat dalam proses manufaktur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hidrolisis minyak
Trigliserida dapat dihidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserol. Reaksinya ditunjukkan pada Gambar 5 di atas. Proses hidrolisis dilakukan pada suhu sekitar 250oC dan tekanan sangat tinggi, di atas 50 bar.
2. Transesterifikasi
Proses pemecahan trigliserida bisa dilakukan juga dengan transesterifikasi menggunakan metanol sehingga menghasilkan metil ester dan gliserin, sehingga metil ester yang didapatkan bisa langsung diolah menjadi fatty alcohol. Reaksi transesterifikasi umumnya dikatalisis dengan senyawa sodium metilat (NaOCH3). Reaksi transesterifikasi ditunjukkan pada Gambar 7.
3. Esterifikasi
Jika minyak dihidrolisis terlebih dahulu, maka selanjutnya asam lemak yang terbentuk harus diesterifikasi dengan metanol agar menghasilkan metil ester yang akan diproses untuk mendapatkan fatty alcohol. Reaksi esterifikasi dikatalisis dengan resin asam. Reaksinya adalah sebagai berikut:
R-COOH (asam lemak) + CH3OH (metanol) <=> RCOO-CH3 (metil ester) + H2O (air)
4. Hidrogenasi
Untuk menghasilkan fatty alcohol, maka metil ester harus direduksi/dihidrogenasi menggunakan gas hidrogen dan katalis logam berbasis tembaga. Reaksi hidrogenasi adalah sebagai berikut:
RCOO-CH3 (metil ester) + H2 (hidrogen) <=> RCOH (fatty alcohol) + CH3OH (metanol)
Asam lemak pun bisa langsung dihidrogenasi dengan reaksi sebagai berikut:
R-COOH (asam lemak) + H2 (hidrogen) <=> RCOH (fatty alcohol) + H2O (air)
Dari produk oleokimia dasar, dengan proses downstream lebih lanjut bisa didapatkan berbagai produk turunan oleo dan produk akhir yang bisa langsung dinikmati oleh konsumen. Skema peningkatan nilai produk oleokimia ditunjukkan pada Gambar 8.
Tiap produk oleokimia dasar jika diolah lebih lanjut memiliki fungsi yang berbeda-beda, yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Besar persentase konsumsi pasar untuk hasil pengolahan bahan kimia berbasis oleokimia ditunjukkan pada Gambar 9:
Dari Gambar 9 diketahui bahwa detergen dan pembersih merupakan produk oleokimia yang memiliki permintaan paling besar, sehingga dibutuhkan produksi fatty alcohol dengan panjang rantai C12 hingga C14 yang lebih banyak. Sesuai data di Tabel 1, fraksi ini bisa didapatkan dari minyak inti kelapa sawit, oleh karena itu minyak inti kelapa sawit (PKO) menjadi bahan baku utama dalam proses oleokimia saat ini.
Proses Produksi Oleokimia
Ada dua rute yang umum digunakan dalam memproduksi oleokimia dari minyak kelapa sawit, yaitu rute asam lemak, rute asam lemak-metil ester, dan rute metil ester.
1. Rute asam lemak/fatty acid (FA)
Pada rute ini minyak dipretreatment kemudian dihidrolisis untuk menghasilkan gliserin dan asam lemak. Gliserin dipurifikasi dan asam lemak dihidrogenasi hingga menghasilkan fatty alcohol. Hidrogenasi sebenarnya tidak dilakukan langsung kepada asam lemak, namun terjadi proses esterifikasi terlebih dahulu antara asam lemak dan fatty alcohol yang diresirkulasi sehingga membentuk ester rantai panjang. Ester inilah yang dihidrogenasi menghasilkan fatty alcohol dari asam lemak dan fatty alcohol awal yang diresirkulasi tadi. Block flow diagram rute ini ditunjukkan pada Gambar 10.
2. Rute asam lemak-metil ester (FA-ME)
Rute asam lemak-metil ester melibatkan proses pretreatment, kemudian trigliserida dihidrolisis menghasilkan gliserin dan asam lemak. Gliserin yang didapat dipurifikasi, sedangkan asam lemak tidak langsung dihidrogenasi melainkan diesterifikasi terlebih dahulu menjadi metil ester dengan metanol. Metil ester yang dihasilkan dihidrogenasi menjadi fatty alcohol. Block flow diagram dari rute ini ditunjukkan pada Gambar 11.
3. Rute metil ester (ME)
Pada rute ini tidak dilakukan hidrolisis minyak menjadi asam lemak, namun trigliserida dalam minyak langsung diubah menjadi metil ester menggunakan reaksi transesterifikasi dengan metanol. Metil ester yang terbentuk kemudian dihidrogenasi untuk menghasilkan fatty alcohol. Block flow diagram dari rute ini ditunjukkan pada Gambar 12.
Perbandingan ketiga reaksi tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.
Teknologi Baru dan Peluang Inovasi
1. Rute wax-ester
Proses ini menggunakan fatty alcohol sebagai reagen transesterifikasi trigliserida agar tidak perlu menggunakan metanol dari luar pabrik sebagai reagennya. Rute ini telah dikembangkan oleh Lurgi dan telah digunakan di beberapa pabrik. Katalis hidrogenasi tetap menggunakan katalis CuCr.
2. Katalis padat untuk transesterifikasi
Transesterifikasi biasanya menggunakan sodium metilat (NaOCH3) yang berupa larutan sehingga tidak dapat dipisahkan dari produk reaksi. Sodium metilat sisa nantinya akan dinetralkan dan tidak dapat digunakan ulang untuk reaksi berikutnya. Hal ini tentunya mengakibatkan tingkat penggunaan katalis yang cukup tinggi. Oleh karena itu, ada peluang untuk mengembangkan katalis padat heterogen untuk reaksi transesterifikasi sehingga dapat digunakan berulang kali dalam sebuah reaktor unggun tetap.
3. Katalis alternatif untuk hidrogenasi
Katalis padat terbaik yang digunakan untuk hidrogenasi saat ini adalah CuCr. Sayang katalis ini mudah teracuni oleh asam lemak dan sangat beracun bagi lingkungan karena mengandung logam krom. Oleh karena itu, terdapat potensi untuk berinovasi untuk menciptakan katalis baru yang memiliki kinerja yang sebanding namun lebih ramah lingkungan dan lebih tahan racun. Di Laboratorium TRKK ITB saat ini sedang mengembangkan katalis alternatif untuk proses hidrogenasi ini.
4. Proses hidrolisis bertekanan rendah
Rute FA saat ini mulai ditinggalkan akibat kebutuhan energi yang sangat tinggi untuk proses hidrolisis, namun permintaan pasar akan asam lemak juga masih tinggi sehingga tidak bisa hanya mengandalkan rute ME saja. Kelemahan terbesar rute FA adalah kebutuhan energi reaksi hidrolisis yang sangat besar, sehingga biaya produksinya jauh lebih tinggi. Hal ini merupakan peluang untuk membuat teknik reaksi hidrolisis trigliserida yang lebih hemat energi namun memberi kinerja yang tidak menurun.
5. Proses hidrogenasi superkritik
Proses hidrogenasi dilakukan dengan hidrogen berada pada fasa gas. Hal ini mengakibatkan hidrogen sulit untuk mengakses pusat aktif dari katalis dan mengakibatkan kebutuhan hidrogen berlebih yang sangat besar. Hal ini dapat diperbaiki dengan menggunakan prinsip fluida superkritik dan menjadikan fasa seluruh reaktan menjadi homogen sehingga mampu meningkatkan efisiensi pusat aktif katalis. Proses ini masih berada di tingkat penelitian di RRC, dan merupakan topik potensial untuk diteliti dan diaplikasikan dalam industri oleokimia Indonesia.
6. Proses produksi specialty chemicals bernilai tambah tinggi
Produk oleokimia dasar dapat ditingkatkan lagi harga jualnya dengan memproses lebih lanjut menjadi produk specialty chemical contohnya dengan proses etoksilasi, proses pembentukan polyol dengan epoksilasi dan alkoholisis, dan masih banyak lainnya. Dengan penguasaan teknologi untuk memproduksi specialty chemicals dengan harga yang sangat tinggi, tentunya nilai tambah kepada minyak sawit akan jauh meningkat.
Tugas Kita Bersama
Dengan masih banyaknya peluang berinovasi dalam industri oleokimia, tentunya para insinyur teknik kimia Indonesia harus berusaha menjadi yang terdepan dalam teknologi pemrosesan oleokimia berbasis minyak sawit, karena kita lah negara penghasil terbesar minyak sawit. Sangat disayangkan jika produsen terbesar utama minyak sawit adalah Indonesia namun lisensi teknologinya dipegang oleh Lurgi (Jerman) dan Davy (Inggris). Sudah saatnya Indonesia sadar akan keunggulan kompetitifnya di bidang minyak sawit dan oleokimia, merupakan tugas bagi para insinyur teknik kimia Indonesia untuk menjadikan Indonesia negara yang terdepan dan berdikari di dalam teknologi pemrosesan minyak sawit.
Daftar Pustaka
Babcock, R. E.; Clausen, P.; Popp, M.; Schulte, I. W., “Yield Characteristics of Biodiesel Produced from Chicken Fat-Tall Oil Blended Feedstocks”, Project Number MBTC-2092, 2014.
Ditjenbun Pertanian, “Statistik Perkebunan Indonesia 2014–2016: Kelapa Sawit” on http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2016/SAWIT%202014-2016.pdf (accessed on April 15th, 12.00)
GAPKI, “ Mengenal MINYAK SAWIT Dengan Beberapa Karakter Unggulnya” on http://gapki.id/wp-content/uploads/2016/04/Buku-Mengenal-Minyak-Sawit-Dengan-Beberapa-Karakter-Unggulnya-GAPKI.pdf (accessed on April 15th, 12.00)
O’Brien, R. D.; Farr, W. E.; Wan, P. J.,”Introduction to Fats and Oils Technology”, 2nd Ed., AOCS PRESS, Illinois, 2000.
Oil World 2013 Annual Report on www.simedarby.com/upload/Palm_Oil_Facts_and_Figures.pdf (accessed on April 15th, 12.00)
Ooi, T. L.; Kifli, H., “Palm-Based Oleochemicals: Overview and
Perspectives”, MPOB, Chapter 12 SODEOPEC, 2004.
van Kasteren, J. M. N.; Nisworo, A. P., “A process model to estimate the cost of industrial scale biodiesel production from waste cooking oil by supercritical transesterification”, Resources, Conservation and Recycling 50 (2007) 442–458.
https://www.indexmundi.com/commodities/ (accessed on April 15th, 12.00)