Kaderisasi dengan Kerendahan Hati

Muhammad Farras Wibisono
5 min readFeb 10, 2017

Kata kaderisasi bukanlah suatu kata asing di telinga mahasiswa, khususnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Mungkin jika diadakan survei “kata yang paling sering digunakan oleh mahasiswa ITB”, kata kaderisasi pasti menduduki peringkat 10 besar disamping kata “ambis”, “kuorum”, “esensi”, “merangkul”, dan kata-kata khas ITB lainnya. Kaderisasi yang saya maksud disini bukan hanya kaderisasi-kaderisasi eventual (Osjur, OSKM, LKO, dan lainnya), namun juga segala bentuk kaderisasi kultural dan penanaman nilai sehari-hari. Namun bagi saya pribadi, kata kaderisasi ini sudah mulai kehilangan maknanya. Saya tidak tahu apakah hilangnya makna kaderisasi terjadi akibat terlalu sering diucapkan (biasa disebut semantic satiation), ataupun karena memang tidak ada lagi yang ingin memaknainya secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Tidak perlu lagi menurut saya untuk mengutip arti harfiah kata kaderisasi dari KBBI, karena telah banyak dipaparkan dalam tulisan sejenis. Namun, saya ingin memberikan definisi milik saya pribadi mengenai kata kaderisasi, yang terbagi menjadi makna luas dan makna sempit. Menurut saya, kaderisasi dalam makna sempit berarti proses penurunan nilai sebuah organisasi dari orang yang terlebih dahulu berada di organisasi tersebut (pengkader) kepada orang yang lebih baru bergabung dalam organisasi tersebut (kader) dalam rangka membentuk kader/penerusnya dalam organisasi tersebut. Sedangkan dalam makna luas, kaderisasi merupakan proses penurunan nilai yang telah dimiliki dari seseorang (pengkader) kepada orang lain (kader) dengan tujuan untuk berbagi dan menjadikan kader seseorang yang lebih baik. Mungkin tiap-tiap orang memiliki pengertian masing-masing mengenai kaderisasi dan mungkin berbeda dengan definisi yang saya paparkan, tapi itu bukan masalah. Yang perlu dibahas adalah: apa sebenarnya makna dari proses kaderisasi tersebut?

Mencari makna dari kaderisasi bukanlah suatu hal yang mudah, karena bentuknya cukup abstrak dan berhubungan dengan manusia yang sangat dinamis. Namun menurut saya, sebenarnya makna mendasar dari kaderisasi sangat sederhana, yaitu keinginan untuk mendidik generasi penerus menjadi lebih baik. Semangat inilah yang perlu dipegang dalam setiap bentuk kaderisasi, baik di himpunan, unit, paguyuban, dan organisasi-organisasi lainnya. Pertanyaannya adalah: yakinkah kaderisasi yang dilakukan selama ini telah memiliki semangat itu?

Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dengan memiliki akal dan hawa nafsu sekaligus. Tentunya dengan segala pemberian tersebut manusia harus bijak dalam menggunakannya selama hidup di dunia ini. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kadangkala hawa nafsu mengalahkan akal dan nurani yang dimiliki oleh manusia. Dalam proses kaderisasi, hal ini sangat sering terjadi utamanya pada diri pengkader. Sebenarnya, fenomena ini dapat dikorelasikan dengan definisi dari kaderisasi itu sendiri. Pengkader merupakan orang yang terlebih dahulu berada di dalam organisasi tersebut, orang yang terlebih dahulu memahami nilai-nilai yang ada di tempat itu. Dengan posisi seperti itu, sangat riskan bagi pengkader untuk merasa dirinya jauh lebih hebat dan lebih tinggi dibandingkan orang yang dikader. Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah pengkader mudah dikontrol oleh egonya dan selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya yang terhebat dan tanpa celah. Dan dampak yang paling berbahaya, semangat untuk mendidik sang kader untuk menjadi seseorang yang lebih baik malah terlupakan.

Dari pengamatan saya selama ini, hal itulah yang seringkali terjadi dalam proses kaderisasi yang selama ini saya ikuti. Saya sebenarnya berharap pandangan saya salah, namun setelah menjadi orang yang dikader, menjadi pengkader, bahkan menjadi pengkader para calon pengkader, dugaan saya ini malah terasa semakin terbukti. Acapkali saya jumpai pengkader mengatakan:

“Abisin aja lah tuh adek-adek, disuruh gitu doang ngeluh dan ga becus”

“Bantai aja tuh orang, nyolot banget sih jadi junior”

Saya merasa bahwa kata-kata seperti ini adalah salah satu tanda bahwa sang pengkader telah dikuasai oleh egonya. Pengkader yang baik menurut saya adalah pengkader yang selalu berusaha untuk membantu kadernya menjadi seseorang yang lebih baik. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, pengkader tidak bisa hanya menggunakan cara yang ia anggap baik. Tidak semua yang dianggap sang pengkader baik adalah yang terbaik untuk semua pihak. Pengkader harus mencoba memandang dari sisi lain, harus mencoba menyelami pandangan dari kadernya tersebut sehingga dapat dilakukan suatu usaha untuk menuju ke arah yang lebih baik.

Ada sebuah kata bijak dari seorang anonim:

“Control your ego or ego will control you” — Anonim

Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh seorang pengkader. Dalam memaknai posisinya sebagai pengkader, seharusnya hal yang timbul adalah pengkader merasa bertanggungjawab jika sang kader melakukan sesuatu yang buruk serta menjadi seseorang yang bisa dijadikan contoh. Jangan sampai hal yang timbul adalah rasa superioritas, paling mengerti segalanya, serta merasa selalu benar. Mungkin hal ini mudah untuk diucapkan, namun silakan ditanyakan pada diri sendiri, “Apakah benar ego tersebut sudah bisa dikuasai oleh diri sendiri?”. Jangan sampai malah ego yang menguasai diri, karena makna kaderisasi akan hilang dengan hal tersebut.

Oleh karena itu, menurut saya pribadi diperlukan suatu karakter yang sangat fundamental sebagai prasyarat untuk seseorang sebelum ia mulai mengkader: KERENDAHAN HATI. Sikap rendah hati inilah yang akan menghindarkan seseorang dari penguasaan ego dan juga memurnikan niatnya dalam mengkader yaitu untuk membuat sang kader menjadi lebih baik. Dengan memiliki sikap rendah hati, menurut saya tidak akan ada lagi keinginan untuk merasa paling hebat, merendahkan sang kader, maupun bertindak impulsif jika sang kader melakukan kesalahan. Sekali lagi saya tuliskan, mungkin sangat mudah untuk mengatakan “Ya, saya telah memiliki kerendahan hati” , tapi silakan tanyakan ke hati kecil masing-masing apakah hal itu benar adanya. Karena saya pun mengakui untuk menjadi orang yang rendah hati ketika berada di posisi yang lebih tinggi/senior adalah suatu hal yang cukup sulit.

Saya sangat yakin jika kerendahan hati telah dimiliki oleh sang pengkader, proses kaderisasi yang dilakukan akan menjadi lebih nyaman, lancar, dan berdampak. Dengan kerendahan hati, tidak akan ada lagi kader yang merasa direndahkan oleh sang pengkader. Tidak akan ada lagi teriakan-teriakan melengking yang isinya hanya menyalah-nyalahkan. Tidak ada lagi pendapat kader yang dibantah mentah-mentah oleh pengkader walaupun sang kader telah berpikir keras untuk mengeluarkan pendapat tersebut. Tidak ada lagi teknik-teknik kaderisasi yang penuh sandiwara dan dibuat-buat yang tujuannya hanya untuk menunjukkan eksistensi sang pengkader. Seluruh proses kaderisasi berjalan dengan menyenangkan dan begitu bermakna. Sang kader mudah untuk mencerna apa yang diberikan oleh sang pengkader, begitu pula sang pengkader yang dalam prosesnya pun kadangkala mendapatkan pelajaran dari sang kader dalam beberapa hal dan pandangan. Semua berjalan secara organik, tanpa tipu daya dan ego masing-masing. Pengkader dan kader memiliki satu tujuan luhur yang sama: membawa organisasi dan diri menjadi lebih baik.

Ada sebuah tolok ukur mudah untuk mengetahui apakah seorang pengkader telah memiliki kerendahan hati dan meresapi makna dari kaderisasi. Ketika sang kader telah menjadi lebih baik hingga melampaui dirinya, apakah ia akan tersenyum bangga dan haru, bukannya mencari celah agar dirinya tidak terlihat lebih buruk? Ketika sang kader melakukan kesalahan dan tidak bertambah baik, apakah ia akan ikut bersedih serta berusaha untuk membantu sekuat tenaga untuk menjadikannya lebih baik, bukannya mencibir dan merendahkan? Jika jawabannya iya, maka sang pengkader telah memiliki kerendahan hati dan dapat memahami makna dari kaderisasi yang selama ini (menurut saya) telah lama hilang.

Dan saya yakin, jika seluruh pemuda Indonesia telah memiliki karakter rendah hati, kaderisasi yang dilakukan di seluruh pelosok nusantara akan semakin baik dan Bangsa Indonesia memiliki masa depan yang cerah di tangan para pemuda ini.

“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati …” — (Al Furqan: 63)

--

--

Muhammad Farras Wibisono

Rhetoric. I’m a dyed-in-the-wool person for some topics, but I always try to dive in other’s perspective.