Mollo: Rumah bulat, gunung sakral, hingga pahlawan perempuan penolak tambang
Jika umat Katolik diajarkan bahwa gereja dan umatnya tidak bisa dipisahkan seperti tubuh Kristus, maka masyarakat Adat Mollo, Kota Soe-Kabupaten Timor Tengah Selatan, meyakini bahwa manusia harus menyatu dengan alam, menghormati nenek moyang, dan percaya pada Tuhan Allah. Filosofi hidup itu bukan hanya untuk mereka, tapi juga semua tamu yang datang ke Mollo, termasuk saya.
Bagaimana mereka mewujudkannya? Bagaimana mereka mengajak tamu untuk mengenal dan tunduk dan hormat pada keyakinan mereka? Matheos Anin, Ketua Adat Fatumnasi, menunjukkan sebuah rumah adat beratap rumput ilalang, yang biasa disebut rumah bulat.
Rumah adat itu memang berbentuk bulat, persis seperti topi yang berambut ilalang. Tapi bukan bentuknya yang menarik, melainkan apa yang ada di dalamnya.
Saat anda memasuki rumah bulat, maka anda harus menunduk, karena pintunya hanya sepertiga badan anda. Inilah filosofi menunduk itu. “Itu artinya tamu harus tunduk pada tuan rumah, nenek moyang, dan Tuhan Allah,” kata Matheos pada penulis saat berkunjung akhir pekan lalu.
Christian — Dicky — Senda, anak asli Mollo yang telah berhasil mengenyam pendidikan tingkat tinggi dan mendirikan komunitasnya sendiri Lakoat.Kajawas di Kapan, masih di Timor Tengah Selatan, melanjutkan keterangan bapak seniornya, Matheos, tentang filosofi rumah adat orang Timor Tengah Selatan itu.
Dicky mengajak penulis memasuki rumah bulat yang paling besar dan tinggi. Tentu saja, setinggi apapun, penulis harus menunduk saat memasuki pintu.
Di dalam rumah bulat itu terdapat sebuah patung muka nenek moyang mereka yang paling tua yang diukir dari kayu, berikut namanya. Selain itu juga ada foto dari nenek moyang tersebut.
Selain itu, di rumah bulat itu ada pembagian ruang yang sangat sederhana. Tak ada sekat, tapi tempat tidur, lemari, ruang tamu, dan tempat burung-burung dara bertengger menyatu dan melingkar dalam satu ruangan. Di tengah rumah bulat, kita bisa melihat bibit jagung siap tanam digantung, dan beberapa ubi kayu yang juga digantung.
Di tengah-tengah, dan paling tengah, ada tungku dengan arang yang masih menyala-nyala berwarna merah, memanaskan seteko air. Pemandangan di rumah bulat ini mengingatkan pada kotak pandora dengan segala keajaibannya.
Rumah bulat bukan hanya tempat istirahat, tapi juga tempat di mana simbol tertinggi nenek moyang mereka disemayamkan, tempat menyambut tamu, tempat mereka memelihara ternak mereka, hingga tempat menyimpan hasil panen mereka. Sungguh segalanya ajaib, bagi seorang penulis yang berasal di Pula Jawa yang serba modern.
Ritual mendaki Gunung Mutis
Sebenarnya bukan hanya lewat arsitektur rumahnya saja, kita bisa memahami siapa orang Mollo, dan mengapa mereka sangat lekat dengan alam. Orang Mollo di Fatumnasi tinggal di kaki Gunung Mutis, ini sekitar 130 kilometer dari Kupang, Ibukota Nusa Tenggara Timur.
Gunung itu bukan sembarang gunung yang bisa didaki. Semua pendaki gunung di seluruh dunia, harus melakukan ritual jika ingin meraba tebing dan menginjak rumput serta bebatuan di sana.
Ritual biasanya dilakukan oleh Ketua Adat Matheos, bersama beberapa tetua yang dianggap dapat berkomunikasi dengan alam. Menurut Matheos, di Gunung Mutis ada sebuah area bernama hutan bonsai. Di mana semua tanamannya berukuran kerdil. Di hutan bonsai itulah, Matheos percaya ruh-ruh di hutan bersemayam.
Bagi penulis yang hidup di kota serba metropolis, cerita ini menjadi sebuah kejutan di tengah modernisasi. Ternyata jauh beribu kilometer dari Pulau Jawa — Pulau di mana sebagian penduduknya percaya bahwa modernisasi adalah mengamini pembangunan pabrik semen di tengah Karst Kendeng — ada sekumpulan masyarakat yang masih memegang erat kepercayaan bahwa manusia dan alam harus bersahabat.
Bahkan untuk sekedar urusan mendaki gunung saja, tetuanya harus mengadakan ritual untuk meminta izin. Jauh dari urusan dinamisme dan animisme, apa yang dilakukan Matheos menurut penulis adalah sebuah penghargaan tertinggi pada alam.
Saking tingginya penghargaan mereka pada alam, konon bahkan memetik bunga di Fatumnasi tak bisa sembarangan. “Boleh memetik bunga, asal rela kawin dengan warga di sini,” seloroh Dicky Senda, yang bermaksud agar setiap pengunjung atau pendatang tak sembarangan memperlakukan tanaman milik masyarakat adat tertua di Mollo ini. Karena warga juga demikian, sangat berhati-hati memperlakukan alam.
Mama Aletha dan perlawanan perempuan Mollo
Kehatian-hatian itu membuahkan hasil juga ternyata. Sebab seorang warga Mollo bernama Aleta Baun pernah mendapat penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat.
Mama Aletha, begitu ia disapa, adalah salah satu pahlawan perempuan yang menolak tambang marmer di kaki Gunung Mutis.
Alkisah, seperti yang dituturkan oleh Dicky Senda, ada proyek tambang marmer yang entah dari mana datangnya izin operasi perusahaan itu, di kaki Gunung Mutis. Tepat hanya beberapa ruas jalan dari rumah Ketua Adat Matheos dan Mama Aletha.
Menurut Dicky, tak ada komunikasi antara pemerintah setempat dengan warga Mollo, padahal semua tanah di Mollo adalah tanah adat atau ulayat. Bagaimana mungkin izin itu terbit tanpa persetujuan warga?
Tapi pencaplokan tanah yang semena-mena ini sudah terjadi sejak orde baru. Menurut Dicky lagi, zaman Soeharto dulu, banyak tanah ulayat yang dicaplok dengan semena-mena oleh Kementerian Kehutanan. Tak ada komunikasi, apalagi dialog dengan tetua adat. Semua dilakukan sepihak. Kalau bukan semena-mena apa namanya?
Kembali ke soal tambang marmer, Mama Aletha kemudian mengerahkan perempuan Mollo untuk bersama-sama melawan perusahaan tambang. Mama kemudian meminta mama-mama lainnya untuk menenun di batu, agar kendaraan alat berat kesulitan beroperasi. Selama tiga tahun, mereka melakukan berbagai aksi protes yang menunjukkan bahwa perempuan Mollo bisa melawan dengan kekuatan tanpa kekerasan.
Akhirnya, perusahaan tambang itu pun berhasil diusir.
Apa yang menjadikan Mama Aletha yakin mereka harus tetap melawan?
“Suku adat Molo memiliki hubungan rohani dengan tanah dan yakin bahwa segala sesuatu itu saling berkaitan. Kami bersemboyan bahwa tanah merupakan daging, air merupakan darah, batu merupakan tulang, hutan merupakan pembuluh darah dan rambut. Kami percaya bahwa bila kami sampai terpisah dari salah satu unsur alam tersebut ini, atau jika salah satu dari unsur ini sampai rusak, kami akan mati dan kehilangan jati diri kami. Sangatlah penting bagi kami untuk melindungi tanah kami.” katanya dalam sebuah wawancara dengan media.
Sayangnya, penulis hanya sejenak di Fatumnasi, Mollo, Timor Tengah Selatan. Banyak cerita-cerita yang menginspirasi penulis untuk menulisnya menjadi sebuah buku kelak.
Bagaimana kekuatan local genius di Mollo telah mengantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat yang sejahtera dan hidup dalam kedamaian, meski sangat sederhana.
Penulis harus meninggalkan Mollo dengan bukit-bukit padang rumputnya yang hijau, sapi dan kuda yang berkeliaran sambil merumput, pohon-pohon cemara dan keanekaragaman hayati yang tak terhitung jumlahnya, serta Matheos tua yang ramah serta humoris.
Mungkin suatu hari penulis dapat menikmati matahari terbit dan tenggelam di Mollo. Mungkin, suatu hari nanti, di rumah bulat di depan bukit itu. Sampai jumpa Mollo!
Tulisan ini adalah seri perjalanan penulis menelusuri pelosok Indonesia dalam rangka memberikan pelatihan jurnalistik.