4 Orang Pemikir ( Ilmuan Islam pada Masa Kejayaan Islam )
1. Al-Battani
Nama lengkap beliau adalah Abū Abdillah Muhammad bin Jābir bin Sinān al-Harrānī ar-Raqqī ash-Shabī’ al-Battānī. Ia lebih dikenal dengan nama ‘Al-Battānī’ yang merupakan nisbah kepada tempat ia dilahirkan yaitu “Battān”, Irak. Al-Battānī hidup di zaman kekhalifahan Abbasiyah.
Sedari muda beliau memiliki ketertarikan terhadap benda-benda langit yang pada akhirnya beliau mengabdikan dirinya menekuni ilmu astronomi. Al-Battani dikenal sebagai ‘Albategnius’ atau ‘Albategni’ di dunia barat. Selain menjadi seorang astronom, Al-Battani juga menekuni bidang lain bahkan menjadi seorang arsitek, geographer dan matematikawan. Karena kemasyhurannya, nama Al-Battani diabadikan sebagai salah satu nama kawah di bulan. Salah satu penemuan besar Al-Battani adalah astrolabe. Pada zaman itu Al-Battani hidup dengan astronom islam terkenal, yaitu Ali bin Isa al-Usthurlābī dan Yahyā bin Abi Manshūr. Al-Battani juga mendirikan sebuah observatorium astronomi bernama ‘Observatorium Al-Battānī’ (Marshad al-Battanī) di kota Raqqa sejak tahun 264/878 sampai tahun 306/918. Pencapaian terbaik yang Al-Battani lakukan di observatorium ini adalah sebuah karya bertitel Zij al-Shabī’ (Tabel Astronomi Sabean) yaitu, sebuah ensiklopedia berisi uraian-uraian lengkap tentang astronomi yang diperlengkapi dengan tabel-tabel dan juga hasil-hasil observasi yang pernah dilakukannya.
Pencapaian fenomenal Al-Battani lainnya adalah penentuan tahun matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.penemuan ini sangat berkesan dan memiliki pengaruh yang sangat besat terhadap ilmu astronomi modern. Selain itu Al-Battani juga melakukan penelitian terhadap gerhana matahari dan bulan, Al-Battani membuktikan bahwa adanya kemungkian gerhana matahari cincin yang berbeda dengan pendapat Ptolemeus yang sangat populer pada saat itu.
Selain kontribusinya di bidang astronomi, Al-Battani juga memiliki pengaruh yang kuat pada bidang matematika khususnya spherical trigonometry’ (‘ilm al-mutsallatsāt) yaitu, ilmu yang memiliki pengaruh besar pada perkembangan astronomi. Al-Battani juga adalah matematikawan Arab pertama yang menggunakan persamaan trigonometri (al-juyūb, al-autār) dalam menghitung sudut sebuah segitiga.
2. Abbas Bin Firnas
Abbas Ibn Firnas adalah seorang ilmuwan Muslim berkebangsaan Arab yang hidup pada abad ke-8 tepatnya 810M di Andalusia, Spanyol Islam. Pada saat itu spanyol dikenal dengan nama Cordova atau Cordoba yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sejak kecil Abbas memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan selalu menciptakan hal baru dengan tangannya. Abbas Bin Firnas terkenal karena pengetahuan dan inovasinya dalam bidang penerbangan dan ilmu pengetahuan lainnya. Prestasi Abbas yang paling terkenal adalah percobaannya pada tahun 875 M yaitu, ia membuat sayap dari kain dan mencoba terbang menggunakan mereka. Meskipun dia tidak berhasil terbang, eksperimennya menunjukkan pemahaman awal tentang aerodinamika. Abbas mendapatkan ide pembuatan pesawat setelah Abbas membaca surat dalam Al-Quran yaitu, surat Al-Mulk yang berarti
“Tidaklah mereka memperhatikan burung burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya diatas mereka? tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu”.
Beberapa penemuan Abbas Bin Firnas yang lainnya adalah
1. Kacamata Kaca: Abbas ibn Firnas juga diketahui telah membuat kacamata yang terbuat dari kaca, yang merupakan kontribusi penting dalam pengembangan alat optik.
2. Kontribusi dalam Astronomi: Ia juga memberikan kontribusi dalam bidang astronomi dengan mengembangkan instrumen-instrumen observasi, seperti astrolabe, yang digunakan untuk mengukur posisi bintang dan planet.
3. Kontribusi dalam Pengobatan: Abbas ibn Firnas juga dikenal sebagai dokter dan penemu. Ia membuat kemajuan dalam bidang pengobatan melalui penelitian dan eksperimennya.
4. Penemuan Alat Optik: Selain kacamata, ia juga berkontribusi pada pengembangan alat optik lainnya, yang membantu dalam pengamatan ilmiah dan medis.
Selain itu, ia juga melakukan penelitian dan kontribusi dalam bidang matematika, kimia, dan teknik, meskipun detailnya mungkin tidak terlalu jelas karena sedikitnya sumber tertulis yang masih ada tentang karya-karyanya.
3. Ibnu rusyd
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia. Ibn Rusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Cordoba tahun 526H/1198 M dan wafat di Maraquesh (Maroko) 9 Safar 595 H (10–12–1198). Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya Ahmad atau Abu Al Qasim seorang hakim di Cordoba demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Dengan demikian ia lahir dari keluarga terhormat alim dan taat dalam beragama Islam, kakek dan ayahnya penganut mazhab Maliki. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ia sendiri pernah menduduki beberapa jabatan: antara lain sebagai qadli (hakim) di Sivilla dan sebagai qadli al-qudlat (hakim agung) di Cordoba.
Ibn rusyd dikenal dengan nama Averoes di dunia barat. Ia adalah seorang dokter, ahli hukum, dan filosof paling popular pada periode perkembangan filsafat Islam (700–1200). Ibnu rusyd juga dikenal sebagai komentator karya-karya Aristoteles, ibnu rusyd adalah seorang filosof Muslim paling menonjol dalam usahanya mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishal bain al-hikmah wa al-syari`ah). Ia wafat di Maraquesh (Maroko) 9 Safar 595 H (10–12–1198). Ibnu rusyd tidak hanya banyak memberikan komentar pada karya-karya Aristoteles tetapi juga menambahkan pandangannya sendiri, hal ini yang belum pernah dilakukan oleh filosof lain sebelumnya.
Ulasan-ulasannya sangat berpengaruh di kalangan ilmuwan Eropa. Namun, kepupolerannya tidak bertahan lama karena timbul kecurigaan terhadap Ibnu Rusyd dan akidahnya. Ia banyak menerima fitnah dan akhirnya menerima hukuman buang. Ia diasingkan ke Maraquesh. Pemerintah zaman itu tidak membiarkan Masyarakat mempelajari ilmu yang telah di pelajari Ibn Rusyd dan akhirnya turunlah perintah untuk membakar semua bukunya. 3 bulan setelah meninggalnya Ibn Rusyd, jenazahnya kemudian dipindahkan ke Cordova. Sepeninggal Ibn Rusyd bagaimanapun tidak ada lagi filosof Muslim di dunia Sunni khususnya di bagian Barat (Andalusia). Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau Spanyol, hilang pula kekuasaan dan kejayaan Islam di Barat.
4. Al-Farabi
Nama asli Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, ia lahir di suatu desa di Farab (Transoxa nia) pada tahun 257 H / 870 M. di Eropa Al-Farabi di kenal dengan nama Alpharabius. Ayahnya adalah seorang jendral berkebangsaan Persia sedangkan ibunya berkebangsaan Turki. Al-Farabi sangat terkenal di kalangan filosof Muslim, pada usia 40 tahun, Al-Farabi pergi ke Baghdad yang saat itu adalah pusat ilmu pengetahuan dunia. Disana Al-Farabi banyak belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Namun, tak lama setelah itu Al-Farabi Kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat.
Berdasarkan karya tulisnya, filosof Muslim keturunan Persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lainnya. Karya — karya dari al-farabi sebenarnya sangat banyak, setidaknya ada hamper 119 buah karya tulis yang dihasilkan al-farabi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
1. Syarh Kitab al-Burhan (Komentar atas Karya Aristoteles)
2. At-Tauthi’ah (Logika)
3. Al-Mukhtashar (Logika)
4. Kalam fi al-Juz’ wa ma la Yatajazza (Filsafat)
5. Al-Wahid wa al-Wahdah (Filsafat)
Karya-karya tersebut tersebar di timur dan barat pada abad 10 dan 11 M. karyanya diterjemahkan ke banyak Bahasa salah satunya adalah Bahasa Yunani latin dan Bahasa eropa modern, sehingga beberapa filsuf barat terpengaruh olehnya. Pemikiran inilah yang akhirnya menjadi dasar pijakan Ibnu Sina. Al-Farabi hidup berdampingan dengan banyak sekali ilmuan Muslim lainnya, hal ini yang menjadikannya ilmuan yang begitu hebat. Dengan demikian, Al-Farabi memperoleh pemikirannya dari bakat yang ia miliki, pendidikannya, situasi dan juga kondisi lingkungannya.
- Tugas sejarah politik dunia sem.2 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta