Penyendiri Ulung

Nazwa Aeera
5 min readJun 23, 2023

--

Adalah benar jika Hyori Aaruka lahir ketika dunia sedang tak berbaik hati, kelahirannya dianggap petaka karena ayah tak menginginkan istrinya hamil kembali, dianggap bala ketika tengah dikandung, bundanya sakit bukan main, dianggap sumur perkara karena kedatangannya tiba pada waktu yang tak diharapkan.

Namun jika dunia tak berbaik hati, ada bunda yang dengan segala kemurahan dalam genggam hangatnya mengusap kepala Hyori, tenangkan bayi merah yang menangis kehausan dan tak dapat disusuinya karena ia baru saja operasi pengangkatan rahim.

Jika abang merupakan putra kebanggaan, maka Hyori adalah kecilnya sebuah pengharapan. Bagi ayah, Hyori hanya butuh menghabiskan waktu di dalam rumah, tak perlu menampakkan wajahnya ke antero dunia. Hyori hanyalah bocah kecil biang masalah di keluarga, setidaknya begitulah definisi Hyori yang ayah pahami.

Sampai ketika yang tertua mengajak Hyori menapaki tungkai mungilnya di sebuah taman. Menggenggam yang paling muda tuk diajak berlari bersama, dan untuk pertama kalinya pula senyuman yang tak pernah terukir selebar itu tergambar jelas begitu elok dipandang.

Sang malaikat kecil menari, bak mendapat kebaikan semesta yang sebelumnya terbagi, Hyori kecil berlari kesana-kemari menginjakkan telanjang kaki di permukaan bumi.

Namun sayang semesta memang tak ingin bermurah hati, Hyori masih begitu kecil untuk dihadapi benang merah kusut buana. Masih dengan sucinya akal, dengan putihnya hati si Kecil berlari ke tengah jalan menggapai capung yang tebang bebas tanpa dihambat.

Dua manik dengan binar apik menyoroti sang serangga lamat-lamat, duhai, alangkah adilnya jika ia juga bisa terbang bebas ke angkasa.

Hyori berlari, terus berlari dan abai oleh keramaian jalanan. Tangan mungilnya terulur ke atas kepala berharap bisa menggapai capung yang akan membawanya bebas. Namun sayang seribu sayang, raga kecilnya terhuyung, alih-alih dapat kebebasan malah sakit dirasa pada permukaan kulit wajah yang manis.

Kala itu abang berlari, memeluk Hyori yang menangis kesakitan dengan beberapa luka di dahi. Berkata ‘gak apa-apa, sakitnya cuman sebentar kalau dicium bunda!’

Untuk pertama kalinya Hyori mengerti, kalau sakit bisa diobati asal ada bunda yang duduk menemani.

Hyori dalam rengkuh hangat abangnya, sepanjang jalan merapal jika sakitnya akan segera hilang dan semuanya akan tidak apa-apa.

Pulang, sebuah kata yang menjelma menjadi momok paling menyeramkan bagi sepasang kakak beradik yang tengah menangis. Awalnya tersenyum melihat rumah yang sebelumnya sepi kini penuh orang ramai entah siapa siapa mereka. Kemudian menjerit setelah paman mengatakan dua sayap mereka direnggut paksa oleh dunia.

Hyori kecil memegang dahinya di depan jasad yang ditutupi kain putih, mengeluh kesakitan, berharap ibunda bangun untuk sekedar mengecup lukanya. Ah, ayolah. Bukankah ia terlalu kecil untuk membumbung tinggi harapan pada Yang Kuasa?

Awalnya Hyori kebingungan dengan kata ‘mati’ yang berkali-kali abangnya lafalkan di depan dua jasad orang tua mereka. Dalam kepalanya, jika mati maka akan bisa hidup kembali bukan? Seperti lampu di kamar tidurnya, ayah sering mematikan lampu kamarnya jika Hyori akan tidur dan esok malam akan dihidupkan lagi jika kembali dibutuhkan.

Maka tanpa sekecil-kecilnya keraguan Hyori mendatangi abangnya, mengerjap penuh pinta kepada yang tua yang juga tengah berduka.

“Abang, ayo hidupkan bunda. Jidatnya Hyo sakiiiiiit.”

Semakin kencanglah jeritan abang, memeluk jasad bundanya dengan hati penuh kehancuran. Menampar diri berkali-kali berharap ini hanyalah mimpi buruk belaka.

Pada akhirnya hari itu tiba juga, hari dimana dua raga ayah dan bunda ditelan gundukan tanah. Hari dimana abang dan Hyori saling dilempar entah harus diurus siapa.

Paman yang a bilang ia tak punya waktu, bibi yang b bilang ia sudah punya cukup banyak anak. Semuanya memilih abang dan tak ada yang menginginkan Hyori. Berdalih jika yang kecil akan merepotkan karena terlalu cengeng dibanding kakaknya.

Maka pisahlah mereka, sudah malang ditinggal orang tua, kembali telan perih ditinggal abang. Hyori dibawa dimasukkan ke asrama ketika usia masih 12 tahun dan abang tetap tinggal di kota bersama nenek yang menjaga.

Jangan tanya mengapa mereka dipisahkan, dari awal dunia memanglah hanya berotasi pada Prasetyo Arhan seorang.

Sang pewaris yang memegang penuh kuasa jika besar nanti, sedangkan ia? Menangis di kamar asrama merindukan ibunda.

Sejak itu Hyori menjadi manusia dengan kantung sepi paling penuh. Sampai akhirnya Pras datang dengan seragam SMA-nya menjemput Hyori yang terlanjur mati dibunuh sepi.

Dimandikan dengan kasih sayang, dibuai dengan sejuta afeksi yang dirindukan. Sejak itu Hyori memusatkan dunianya kepada abang yang paling penyayang.

Tetap saja, rasa khawatir itu tetap ada. Hyori dengan segala ketakutan akan ditinggalkan kembali memang tak pernah reda. Ia terlampau takut jika abang akan kembali pergi, ketika ia menyaksikan abangnya pergi ke bengkel dan sibuk bersama mur serta kunci lainnya, bukankah ia adalah beban yang sesungguhnya?

Hyori takut jika abang terbebani, kepalanya memproduksi tuduhan jika dirinya akan kembali menjadi petaka namun kali ini bagi yang tua.

Dan datanglah Hiro Aji bak pahlawan yang membawa kuncup bunga raya. Menawarkan kemudahan tanpa syarat agar Hyori bisa bernapas lega. Benar, hemat sudah kebutuhannya dipenuhi Hiro yang rela memberikan segalanya.

Tanpa sadar jika ia terbiasa, terbiasa dengan uluran tangan Hiro Aji yang begitu leluasa. Dimana ketika abang disibukkan dengan urusan bengkelnya, Hiro Aji kembali merenggut rasa sepi yang menggagahi Hyori seorang diri.

Hiro Aji dengan senyumnya yang menenangkan, merangkul Hyori yang begitu kecil presensinya di mata dunia. Membesarkan hati Hyori agar percaya jika semesta tak sekadar diisi oleh ia dan abangnya.

Hiro Aji bukan sekedar kakak kelas baik hati yang singgah tanpa torehkan bahagia, Hiro Aji tak se-simple yang abangnya kira.

Malam berganti malam, rembulan berotasi tanpa henti, begitu pula Hyori duduk di pinggir jendela menunggu abangnya pulang sambil memandangi beberapa kotak permen karet pemberian Hiro yang belum ia makan.

“Kalau ada kak Aji, Hyo nggak akan sendirian lagi kan?”

Monolognya sambil menekuk kaki dan menenggelamkan wajahnya pada lutut. Kuasa apa yang harus Hyori siapkan agar bisa meyakinkan abangnya jika Hiro bukanlah binatang buas yang perlu dijauhi?

Tak ada yang memberinya pengertian, baik Hiro Aji maupun abangnya. Mengapa mereka harus saling menjauh? Bukankah akan lebih mudah jika mereka berhubungan baik?

Tapi dalam hati Hyori juga ditekan kuat. Akan larangan yang abangnya katakan, tak segampang membalik telapak tangan, berbohong sudah tak ingin lagi Hyori lakukan. Abang tetap menjadi pusat dunianya, apa pun itu jika benda kesayangannya harus dibuang demi abang maka akan Hyori lakukan.

“Gak apa-apa, ada abang yang sayang sama Hyo!” Tekad si Kecil mencoba untuk menguatkan hati.

Pintu dibuka perlahan, hadirkan yang ditunggu akhirnya datang. Raga yang tertua mendekati adiknya yang sedang diam.

“Makan yuk?” Ajak abang pada Hyori yang menggeleng tanpa menjawab.

“Kok akhir-akhir ini nggak nafsu makan? Hyo nggak enak badan?” Abang kembali bertanya, mengusap pucuk kepala Hyori penuh khawatir setelah melihat wajah adiknya pucat dengan tubuh lesu.

“Mau abang suap? Maaf ya abangnya sering di bengkel. Satu minggu lagi aja, abis itu abang nggak akan sering di bengkel lagi dan temani Hyo di rumah.”

Bibir itu menarik senyum tipis, beranjak ke pelukan abangnya. Melilitkan dua kuasanya pada batang leher abang erat-erat seraya sembunyikan wajah di ceruk leher yang tertua.

“Hyo sayang abang,” deklarasinya dengan aksentuasi tanpa keraguan.

Abang mengangguk, “Abang juga, Hyo mau dibelikan apa?” tangan Pras kembali mengusap belakang kepala adiknya.

“Mau dibelikan ramai.”

“Abang carikan!”

Lalu tubuh itu luruh, dengkuran kecil mengikuti setelah Pras terlonjak kaget merasakan hangat pada seluruh raga dalam rengkuhnya.

Pras menggapai benda pipih di saku, jemarinya bergerak lekas-lekas diburu ketakutan yang amat.

“Bar! Tolong! Hyori demam tinggi!”

Kepada pria dengan nama belakang Arhan

Sudahkah kau tau wahai tuan?

Jika hakikat dari sepasang tungkai ialah; berlari menggapai renjana

Jika hakikat dari bunga api ialah; bersinar di angkasa raya

Maka siapakah engkau wahai tuan? Bagaimanakah hatimu setelah menjepit milik dia yang tak berdosa?

--

--