Sorai sedikit melongok ke arah kelas 12 IPS 3. Ia sudah berdiri di sekitar kelas itu sejak sepuluh menit lalu, tapi Sorai tak melihat sama sekali keberadaan laki-laki bernama Bram yang dimaksud Wulan, hingga matanya bertemu laki-laki tinggi yang hendak masuk.
“Eh, sori, tau nggak Bram dimana?“ Tanyaku.
“Mau ngapain, lo?” Laki-laki itu bertanya balik.
“Mau bicara sebentar,”
“Oh,” Kemudian laki-laki itu masuk ke kelas, sedetik kemudian ia keluar lagi menghampiri Sorai. “agak ada, lo cari belakang taman sudah, biasanya itu anak mangkal disitu,”
Sorai mengangguk, “Thanks.”
Dan hal selanjutnya yang mau tak mau harus Sorai lakukan adalah berjalan menuju belakang taman. Belakang taman yang dimaksud hanyalah sekotak tanah berpaving yang selalu ramai karena banyak pedagang kaki lima berjualan disekitar situ. Di dekatnya juga ada pohon beringin tua yang sangat besar yang mungkin sudah ada disitu sejak Belanda masih menjajah, yang menjadikan tempat disitu menjadi teduh dan sejuk. Kesimpulannya, tempat disitu adalah spot terenak untuk nongkrong.
Ketemu. Di tengah keramain, Laki-laki yang dimaksud Bram itu, Sorai melihatnya. Tentu saja ia langsung menghampiri Bram yang sedang memakan ciloknya sendirian, menyender pada pagar besi berwarna kuning yang berkarat.
“Bram, kan?” Tanya Sorai.
“Bukan.” Jawab laki-laki itu singkat. Padahal Sorai yakin yang sedang berbicara denganya ini Bram, dilihat dari name tag yang ada di baju bagian kiri.
“Tapi… name tag lo?”
“Punya temen gue,”
“Oh, oke. Lo tau nggak Bram dimana?”
“Lo mau ngapain emang?”
“Mau ngomong bentar,”
“Kalo mau confess, mending gausah. Seratus persen ditolak,” Kata laki-laki itu sambil membuang bungkus ciloknya ke tempat sampah. Kemudian dia memasukkan kedua tangannya di kantong celana, dan menatap Sorai lurus.
Sorai menggeleng, menatapnya datar, “Nggak, sih.”
Cowok itu mengeryitkan kedua alisnya, “maksud lo?”
“Gue nggak mau confess.” Jawab Sorai.
“Gausah boong,” Cowok itu menatap Sorai tak percaya. Wajahnya yang semula datar berubah kesal.
“Gue nggak bohong. Gue mau nawarin Bram buat gabung ke poetry club,”
“Poetry club? Nggak salah lo,” Katanya dengan nada mengejek. Namun sedetik kemudian wajahnya berubah datar, “gue gak minat.” Kata cowok itu kemudian.
Sorai menjawab acuh tak acuh, “Gue nawarin Bram, bukan lo,”
“Gue Bram.”
“Gausah bohong,” Ujar Sorai, mengulangi kata-kata Bram.
“Gue nggak bohong anjir,” Ucap Bram kesal. Sorai masih menatapnya datar.
“Okay, gue Sorai, perwakilan poetry club, berminat untuk ngerekrut lo gabung klub — “ Sorai menyodorkan jabatan tangan.
“Gue gak minat join klub lo. Budek, ya?”
Sorai menurunkan tangannya yang tak diterima oleh Bram, lalu membuka binder yang Sorai bawa untuk mengambil form pendaftaran.
“Okay, kalau gitu, tapi kalau misal lo berubah pikiran, lo bisa isi form ini atau dateng ke ruang poetry club langsung. Thanks, Bram.” Kata Sorai, kemudian beranjak pergi dari tempat itu, meninggalkan Bram dengan kekesalan yang sudah dipuncak.
“Woi!” Teriak Bram berusaha menghentikanku.
“Ya?” Tanyaku.
“Lo niat nggak sih ngajaknya?” Tanya Bram. “Masa dijawab gak minat sekali doang langsung nyerah? Gue jadi males.” Katanya.
“Well, makanya gue ngasih lo form itu. Biar lo masih bisa daftar kalau lo berubah pikiran. Gue nggak mau maksa, lo juga gamau dipaksa, kan?”
Iya juga, sih. Ah, tai lah. Bram masih menatap sengit Sorai yang berada didepannya yang masih berwajah datar tanpa ekspresi. Wajah datar yang entah kenala membuatnya jengkel.
“Lagian lo nggak tau ya gue udah ikut basket?” Tanya Bram.
“Setau gue di sekolah ini boleh gabung maksimal dua ekskul.”
Ya emang sih. Taiiii. Batin Bram diikuti sumpah serapah dalam hati. Ia terdiam sejenak, memikirkan cara lain untuk memancing emosi Sorai yang terlihat tenant-tenang saja.
“Kurang kerjaan lo nawarin gue pas gue udah kelas 12, ngapain aja lo pas gue masih kelas sepuluh?”
“Nggak ada larangan sih, kan masih semester 1. Tapi kalau lo gamau ya gapapa.”
“TERSERAH.”