19.

冬
3 min readMar 23, 2023

--

Kaina POV

“Pas banget timing-nya.” Kalimat pertama yang gisele ucapkan setelah membuka pintu dan bertemu pandang dengan ku.

Nada sumringah dan senyum lebar di wajahnya membuat curiga. Temanku kemudian membuat isyarat agar aku mengikutinya masuk ke dalam apartemen. Setelah mengganti alas kaki dengan sendal ruangan, aku membuntutinya dengan penasaran. “Ini kita mau ngapain sih?” Tanyaku tak sabar.

Gigi mengendikkan bahu acuh tak acuh, wajah masih menyungging senyum, “Ntar lagi kalau bel bunyi, lu bukain pintunya, terima barang yang dianter, trus terserah lu deh mau ngapain. Gw tinggal dulu, belum selesei nih.” Ucapnya lalu menutup sebuah pintu. Dugaanku itu adalah kamar utama.

Di ruang tamu, aku berdiri mematung, mencerna maksut dari ucapannya.

Bukain pintu? Ambil barang? Apasih?

Bayangan diri sendiri di lemari kaca menampilkan sosok yang sedang melongo, dengan kening berkerut.

Ding Dong Ding Dong

Belum genap memahami yang sedang terjadi, bell pintu depan membangunkan dari carut-marutnya pikiran. Tadi Gigi nyuruh bukain pintu kan?

Aku yang memang selalu berusaha tak membuat kurir menunggu lama segera berlari ke layar interkom di dekat lorong menuju pintu depan. Pada layar monitor, nampak seseorang berdiri dengan totte bag iphone berwarna putih. Aku tak bisa melihat si pengantar, karena tas yang ia bawa menghalangi kamera.

Dasar Gigi! Nyuruh-nyuruh aku! Mereka di kamar pada ngapain sih! Rutukku dalam hati.

Gak apa Kaina, demi nomor handphone Witha, kata suara lain.

Aku mengangguk-anggukkan kepala, dengan segera berjalan menuju pintu depan. Meski masih setengah tidak paham dan bingung, ku paksa sistem di tubuh untuk waspada. Takut orang di balik pintu berniat macam-macam. Setelah menekan tombol pengunci pintu, lalu melongok ke luar, aku kaget bukan kepalang.

HOLLY SHIT! NING SAID SOMETHING ABOUT WITHA’S JOB, ISN’T SHE?

“Kaina?”

“Witha?”

Kita berdua terkejut secara serempak. Senang akhirnya bertemu lagi dengan orang yang beberapa minggu ini memenuhi isi kepala, aku membuka pintu lebar-lebar.

Witha mengeluarkan HP dari saku jaket jeans yang ia kenakan, terlihat sibuk ntah dengab apa yang dilayar. Aku berdiri menyandar ke pinggiran kosen sambil melipat tangan di depan dada, hanya bisa menunggunya bicara karena otakku sendiri tiba-tiba blank.

“Gw nganterin pesesanannya nona Ning.” Terangnya.

“Iya ini bener alamat dia kok.” Jawabku.

Witha mengangguk angguk, menyerahkan bingkisan. Aku mengambil tas berwarna putih dengan simbol apel tergigit itu, “Bentar, foto ya? Sebagai bukti.” Ucapnya dengan suara super serak. Aku mengangguk, sedikit menahan tawa melihat kupingnya memerah.

“Udah. Tapi btw, nona ning siapa kamu?”

“Temen.” Jawabku singkat, dalam hati aku tahu sebentar lagi ia harus pergi, sedangkan aku ingin memandangnya sedikit lebih lama lagi. Tanpa berpikir panjang, aku mengeksekusi ide yang pertama kali terlintas. Ku rebut ponsel digenggamannya.

“Kaina what the hell!”

Tak menghiraukan nada terkejut di suaranya, aku memutar tubuh, membelakangi dia, lalu menelpon nomorku sendiri. Ringtone hp di saku belakang celana jeans ku berdering, Witha berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala, aku tersenyum lebar.

“Mending dari sekarang simpen nomor itu dan bales chat gua, oke?”

Witha mengambil kembali HP nya, mimik wajah masih bersungut-sungut. “Kamu sengaja ya bikin aku ke sini?” Tuduhnya, aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat.

“Nggak ya! Aku nggak tahu apa-apa. Temenku cuma nyuruh aku dateng ke sini, lalu pas baru nyampe dia nyuruh gua nerima paketan, karena dia masih belum selesei sama pacarnya.” Ototku tak terima, Witha terbahak.

“Selesei kok pake tanda petik gitu kenapa?” Katanya mengomentari hand gesture-ku.

“Entah. Lagi mantab-mantab kali mereka, aku juga masih bingung tadi tuh.” Jelasku bersungguh-sungguh. Manusia super menarik di depan ku kembali terbahak, suara tawanya seolah menular membuatku bahagia, ia mempengaruhi tubuhku pada tingkatan yang sukar untuk dijelaskan. Yang pasti, aku ingin mendengar dan melihatnya tertawa seperti itu setiap hari.

“Astaga mantap-mantap kata dia.” Ucapnya masih diselingi tawa kecil, mata ku bertemu tatap dengannya, dan karena tiba-tiba merasa malu, aku buru-buru mengalihkan pandangan.

“Yaudah kalo gitu, jangan sampe itu barang nggak ke nona ningning lho, atau aku cari ke seowardjono” Ucapnya seolah mengancam. Sayang sekali wajah imutnya sama sekali tak mendukung nada suara yang dibuat seolah menyeramkam.

“Sumpah lo kayaknya suka banget sama nama belakang gua. Mau dikasih sekarang nggak?” Godaku sambil memperhatikan punggungnya yang mulai berjalan menjauh.

Witha, dengan acuh melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. Dan saat itu ku sadari, betapa hati berdebar.

Tuhan! Keren sekali ciptaanMu yang satu itu.

Saat ia menghilang di belokan, aku buru-buru masuk ke dalam apartemen agar segera dapat berbagi kesenangan.

Please Witha, let me in. I promise to take care of you.

--

--

冬

I write. Join my crowd fund to get password and read 3 days earlier https://trakteer.id/_fuyu/tip