Haruskah Kita Berani untuk Bercita-Cita Tinggi?
Setiap orang punya keinginan dan cita-cita. Ia adalah bagian dari naluri alamiah kita. Saat saya masih TK hingga SD misalnya, saya sempat ingin menjadi tentara — sebuah profesi yang wajar untuk didambakan banyak orang mengingat Indonesia pernah dikuasai militer puluhan tahun. Saat SMP hingga SMA, saya ingin menjadi dokter spesialis saraf karena sedih melihat nenek saya yang sakit parkinson selalu ke dokter ini setiap bulan. Saat kuliah hingga saat ini, saya ingin menjadi pengajar-peneliti karena saya suka berdiskusi dan pertukaran ide. Sayangnya, ragam cita-cita saya di atas tidak ada yang tercapai — atau mungkin belum.
Selain dapat bisa berubah seiring waktu, cita-cita seseorang juga berbeda-beda. Meskipun demikian, ada satu hal yang pasti: dari kecil hingga dewasa, kita diminta (atau mungkin diharuskan) untuk bercita-cita tinggi. Karena dengan bercita-cita tinggi, kita akan semakin terpacu untuk berusaha lebih giat. Dalam sebuah seminar motivasi misalnya, pembicara akan selalu mengutip kata-kata Bung Karno yang legendaris mengenai pentingnya bercita-cita megah. “Bercita-citalah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”.
Klise memang, tetapi entah mengapa banyak dari kita yang setuju atas hal itu. Sebagai anak muda, kita diwajibkan untuk membayangkan diri kita dalam suatu kondisi yang lebih baik dari saat ini. Kita harus lebih sukses (dalam arti apapun) agar dapat membantu orang tua dan orang-orang di sekitar kita. Jika orang tua saya adalah petani, maka saya harus menjadi pengusaha sukses yang kaya raya. Caranya tak rumit: hal yang paling penting adalah keinginan yang ambisius. Semua hanya tentang mindset dan usaha keras. Kita harus optimis dalam menatap masa depan.
Optimisme di dalam Masyarakat Kita
Optimisme untuk menjalani masa depan begitu tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Saya mengetahui fakta ini setelah membaca artikel The New York Times pada tanggal 23 November 2021 yang bertajuk Where Are Young People Most Optimistic? In Poorer Nations. Sembari mengutip sebuah survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Gallup, artikel ini mengeksplorasi bagaimana anak-anak muda di negara miskin ternyata “lebih optimistik” dibandingkan rekan sebayanya di negara-negara maju. Riset yang dilakukan UNICEF dan Gallup ini cukup komprehensif mengingat jumlah respondennya mencapai 21.000 orang yang tersebar di berbagai negara di dunia. Berikut adalah grafik yang menjelaskan bagaimana optimisme mendominasi anak-anak muda di negara-negara GDP/kapita rendah.
Dari grafik ini, dapat dilihat bagaimana anak-anak muda negara maju seperti Amerika, Jepang, Prancis, Inggris, dan Spanyol begitu pesimis bahwa kondisi ekonomi mereka lebih baik dibandingkan orang tua mereka. Sebaliknya, negara-negara miskin, termasuk Indonesia, justru begitu optimis. Kita lihat: sebanyak 82 dari 100 anak muda di Indonesia percaya bahwa keadaan ekonomi mereka lebih sejahtera dibandingkan orang-orang terdahulu. Begitu pula dengan Etiopia yang ternyata memiliki semangat yang sama, bahkan lebih besar angkanya yaitu 85 orang.
Optimisme ini tidak terhenti dalam aspek ekonomi saja. Masih dalam survei yang sama, fakta juga ditemukan bahwa anak-anak muda di negara berkembang percaya bahwa dunia saat ini sedang menuju “kondisi yang lebih baik”. Berikut adalah grafik yang menjelaskan fenomena ini.
Dari grafik ini, Indonesia bahkan menjadi negara teratas yang mempercayai bahwa dunia ini sedang berprogres positif. Lebih dari 75% anak muda Indonesia berpikir jika dunia ini sedang baik-baik saja dan akan semakin baik di kemudian hari. Angka ini mengalahkan jauh negara seperti Brazil dan Mali.
Optimisme yang tumbuh di masyarakat Indonesia ini cukup mengejutkan saya. Apa penyebabnya? Apakah karena kondisi ekonomi real dari anak-anak muda saat ini memang berjalan lebih baik atau karena seminar motivasi yang semakin marak? Dengan rendah hati, saya menjawab bahwa saya tak tahu. Tapi saya ingin menyelidiki lebih jauh mengenai bagaimana kondisi mobilitas sosial vertikal masyarakat Indonesia yang sebenarnya, dan apakah optimisme berperan besar di sana.
Benarkah Optimisme dan Kerja Keras Membuat Kita Sukses?
Benarkah demikian? Benarkah cara pikir dan kemauan berusaha lebih adalah kunci kesuksesan? Seminar-seminar motivasi yang pernah kita ikuti menganjurkan demikian. Semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi sukses dan kaya raya asal mau berpikiran positif dan bekerja lebih giat. Tidak ada hal di dunia ini yang tak bisa diraih dengan dua hal di atas. Jika Amerika pernah memiliki American Dream tentang “better, richer and happier life”, sudah saatnya Indonesia punya Indonesian Dream yang mungkin lebih ambisius.
Tapi riset yang dilakukan oleh SMERU Research Institute yang berjudul Effect of Growing Up Poor on Labor Market Outcomes: Evidence from Indonesia menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang diterbitkan Asian Development Bank pada September 2019 ini menjelaskan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan rendah ketika mereka dewasa. Mudahnya, mereka yang lahir dari keluarga miskin, kemungkinan akan tetap miskin di masa depan.
Berbasiskan data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS), para peneliti SMERU Research Institute mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika masih berusia 8–17 tahun, dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22–31 tahun. Temuannya jelas: pendapatan anak miskin setelah dewasa ternyata 87% lebih rendah dibanding mereka yang lahir dari keluarga kaya.
Mungkinkah karena anak orang-orang miskin kurang cerdas sehingga tak sukses? Tidak juga. Penelitian ini juga menganalisis kemampuan matematika dan kognitif anak-anak miskin dan membandingkannya dengan teman sebayanya yang kaya. Setelah dilihat, ternyata kemampuan matematika dan kognitif antar dua kelas sosial ini tidak beda jauh. Meskipun mereka sama-sama memiliki potensi kecerdasan yang setara pada awalnya, tetapi outcome yang dihasilkan ternyata berbeda.
Penelitian SMERU Research Institute ini mengonfirmasi jika perbedaan kesejahteraan orang tua berimplikasi pada masa depan seorang anak, dan bukan perihal optimisme dan usaha ekstra seperti yang banyak digaungkan. Jika pun optimisme dan kerja keras memiliki dampak pada sukses tidaknya seorang individu, kepemilikan kapital sejak awal jelas memiliki signifikansi yang lebih tinggi. Oleh karenanya, anak-anak dari orang miskin dan kaya memiliki garis awal yang tidak sejajar, dan akhirnya berimplikasi pada perbedaan kepelikan dalam mencapai garis finish — kesejahteraan yang didamba-dambakan.
Upaya untuk menaiki tangga kelas sosial, dengan begitu, jelas sangatlah sulit bagi anak-anak yang lahir dari keluarga miskin di Indonesia. Ini sejalan dengan posisi Indonesia yang terpuruk dalam survei Global Social Mobility Index yang dilakukan oleh World Economic Forum. Dalam survei tentang kesempatan individu untuk memperbaiki kualitas hidup tersebut (baik secara ekonomi, kesehatan, dan pendidikan), Indonesia menempati posisi 67 dari 82 negara di tahun 2020. Posisi Indonesia ini lebih buruk daripada negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.
Kita Harus Bagaimana?
Mungkin banyak orang akan membuat kontra-argumen dengan memberikan bukti bahwa banyak orang miskin yang bisa menjadi sukses. Dari sektor ekonomi, kita bisa melihat Chairul Tanjung atau pun Dahlan Iskan. Dari sektor pendidikan, banyak pula profesor-profesor yang masyhur datang dari keluarga tak mampu. Atau mungkin teman-teman terdekat kita sendiri yang kita saksikan bagaimana mereka tumbuh menaiki kelas sosial.
Tentu, penyanggahan dengan menggunakan fakta di atas valid. Meskipun demikian, kita tidak bisa melihat Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, atau pun para professor berlatarbelakang keluarga miskin sebagai pola umum (general pattern). Mereka adalah pengecualian yang terjadi sangat jarang dalam kondisi kehidupan masyarakat kita. Fenomena sosial yang mendominasi masyarakat Indonesia (yang sangat disayangkan) adalah bahwa orang terlahir miskin kemungkinan besar akan tetap miskin di kemudian hari.
Oleh karenanya, fakta bahwa orang-orang Indonesia yang begitu optimis terhadap kondisi ekonomi mereka dan percaya bahwa dunia akan semakin baik, sebagaimana yang ditunjukkan artikel The New York Times, membuat saya agak bersedih. Mereka (atau mungkin termasuk saya sendiri) memiliki kesempatan terbatas untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Di sisi yang lain, banyak orang yang telah sukses mengatakan bahwa mereka bisa mencapai kondisi ini hanya dengan optimisme dan usaha keras, tanpa mengakui privilese-privilese yang telah dimiliki sebelumnya. Dunia ini seolah mudah digenggam dengan perubahan mindset.
Bercita-cita untuk kehidupan yang lebih baik barangkali tak pernah salah — mimpi adalah awal dari perubahan. Toh, yang gratis di dunia ini hanyalah bermimpi. Tapi orang juga sering bilang bahwa ekspektasi tinggi namun realita berbeda hanya membuat kita sakit hati. Dengannya, kita akan mudah mengutuk dunia sekeras-kerasnya dan bahkan membuat kita tambah terjatuh lagi.
Lalu, haruskah kita berani untuk bercita-cita tinggi?