Menyoal Keputusan-keputusan yang Telah Kita Buat

Gaffar Mu'aqaffi
5 min readFeb 19, 2023

--

Waktu itu akhir tahun 2017. Ayah saya menyodorkan kepada saya sebuah buku yang ia ambil dari lemari koleksi buku keluarga kami. Catatan Pinggir 1 judulnya, karya Goenawan Mohamad (GM). Ini adalah salah satu buku favorit ayah saya ketika masih muda. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1977, Catatan Pinggir adalah esai-esai pendek GM yang membahas berbagai isu: dari politik, sastra, filsafat, psikologi, hingga ekonomi.

Semenjak saya membaca dari halaman pertama, saya jatuh cinta terhadap bagaimana cara GM menulis dengan wawasannya yang begitu luas. Saya tidak bisa berhenti membaca keanggunan tulisan-tulisan sastrawan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) itu. Di saat saya semakin tenggelam dan takjub, ayah saya justru sebaliknya. “GM memang tulisannya bagus. Tapi ia tak memiliki sikap dalam karya-karyanya. Labil dan ragu-ragu. Padahal, hidup ini diisi oleh keputusan-keputusan”, ucap ayah saya. Saya jadi terheran-heran. Bukankah GM adalah penulis favorit ayah saya pada zaman Orde Baru dulu? Jika sekarang tidak menyukai karya GM, mengapa memberikan buku Catatan Pinggir 1 kepada saya? Saya tak pernah mengerti.

Terlepas dari ketidaksetujuan terhadap gaya GM menulis, belakangan, saya jadi teringat omongan ayah saya perihal “hidup yang diisi keputusan-keputusan” di atas. Saya menyadari bila kehidupan kita saat ini, sangatlah dipengaruhi berbagai keputusan yang telah kita ambil di masa lampau. Keputusan-keputusan yang diambil itu membentuk suatu lintasan (trajectory) yang memengaruhi kondisi kehidupan kita sekarang dan juga masa depan.

Sejalan dengan itu, dalam Ilmu Sosial, dikenal pula istilah historical path dependence sebagai upaya analisis historis suatu fenomena sosial. Konsep itu berargumen bahwa peristiwa atau keputusan masa lalu membatasi peristiwa atau keputusan di kemudian hari. Semisal, ketika kita memutuskan untuk kuliah jurusan Ekonomi di level sarjana, keputusan ini akan membatasi kita untuk bisa menjadi seorang pengacara dan dokter ketika kita lulus. Kecuali ada transformasi radikal— meskipun juga terbatas— kita sebagai lulusan Ekonomi hanya mampu mendapatkan pekerjaan yang membutuhkan keahlian analisis ekonomi, atau yang menerima semua jurusan: divisi sales, misalnya.

Menyadari bila keputusan di masa lampau menentukan kehidupan kita saat ini dan masa mendatang, pembuatan keputusan perlu dilakukan dengan hati-hati. Permasalahannya, bagaimana kita bisa menilai bahwa suatu keputusan yang diambil sudah benar-benar keputusan terbaik? Bukankah banyak keputusan masa lalu yang kita anggap sudah sempurna tetapi saat ini kita menyesalinya karena terasa kurang bijak? Bukankah kita sering menyebut “bagaimana jika di masa lalu” untuk berandai-andai?

Menyesali Keputusan di Masa Lalu: Salahkah?

Harus diakui, kita sering menyesali keputusan yang telah kita buat. Kita sering berbicara, misalnya, “coba aja aku beli barang A seri ketiga dan bukan seri kedua. Ternyata seri ketiga lebih murah”. Banyak orang bilang bahwa penyesalan biasanya terjadi karena kita tidak memiliki pilihan yang lengkap dan variatif atas suatu hal yang ingin kita putuskan. Dalam konteks pembelian barang A di atas, kita memilih untuk membeli seri kedua karena kita tidak mengetahui adanya pilihan seri ketiga yang lebih murah. Oleh karena itu, informasi atau pilihan harus disediakan sebanyak-banyaknya sebelum kita memutuskan sesuatu. Tapi apakah benar seperti itu?

Baru-baru ini saya membaca tulisan Barry Schwartz, seorang psikolog Amerika Serikat yang mengajar di University of California, Barkeley. Dalam artikel yang berjudul The Tyranny of Choice itu, Schwartz menemukan bahwa semakin banyak informasi atau pilihan yang kita punya, kondisi ini belum tentu baik terhadap kondisi mental kita. Ketika pilihan semakin beraneka ragam, ternyata ada kecenderungan bagi kita untuk tidak lebih bahagia. Mengapa bisa demikian?

Schwartz membagi dua kategori psikologis manusia dalam pengambilan keputusan: “maximizers” dan “satisficers”. Maximizers adalah tipe orang yang selalu berusaha mencari keputusan terbaik atas pilihan-pilihan keputusan yang ada, sedangkan satisficers adalah mereka yang hanya mencari “good enough”. Dalam sebuah pengukuran kepuasan atas keputusan yang telah diambil, diketahui bila tipe orang maximizers ternyata sering menyesali keputusan mereka dan membuat kualitas mentalnya menurun. Karena ada obsesi atas kesempurnaan pilihan, maximizers sibuk untuk membandingkan keputusannya dengan kemungkinan-kemungkinan alternatif lainnya.

Kala dunia saat ini menyediakan informasi dan pilihan yang semakin beragam, tipe maximizers akan lebih tidak bahagia: mereka selalu berpikir mengenai opportunity cost atas pengambilan keputusan. Kondisi mental ini sama seperti yang diungkapkan Daniel Kahneman, bahwa manusia lebih sering fokus atas losses daripada gains. Sebaliknya, satisficers adalah mereka yang tidak terpaku atas perbandingan-perbandingan keputusan di masa lalu. Operasionalisasinya begini: ketika satisficers merasa suatu barang A layak dibeli karena baik kualitasnya, mereka tidak akan merasa bersedih ketika mengetahui barang B ternyata lebih baik daripada barang A di kemudian hari. Memang ada opportunity cost, tetapi toh barang A sudah “good enough”.

Membatasi Pilihan-pilihan

Dunia ini diisi milyaran kemungkinan dan informasi sementara tak semuanya bisa kita cerna. Sejalan dengan itu, Herbert Simon memperkenalkan konsep bounded rationality yang menjelaskan bahwa rasionalitas manusia sangatlah terbatas untuk memahami dunia yang serba-mungkin ini. Karena dunia sangatlah kompleks atas kemungkinan dan konsekuensinya, keputusan yang kita ambil pada dasarnya tidak pernah optimal — sementara maximizers mengejar kesempurnaan pilihan. Kita hanya perlu mengambil keputusan yang memuaskan, sebagaimana yang dilakukan satisficers.

Menimbang rasionalitas kita yang terbatas dan keputusan optimal adalah mustahil, maka pembatasan pilihan-pilihan adalah solusi. Untuk membeli sebuah handphone misalnya, agar kita tak terjebak pada perbandingan dan penyesalan atas keputusan yang diambil, kita perlu membatasi pilihan-pilihan merk yang ingin kita beli. Dari berbagai pilihan yang tersedia dan telah disaring itu, baru kita mencari merk yang terbaik. Jika di kemudian hari kita merasa bahwa keputusan kita salah, kita harus ingat bahwa di masa lampau merk handphone tersebut adalah merk terbaik dari opsi-opsi yang telah kita buat.

Cara di atas efektif untuk menghindari kesedihan atas diri kita yang sering merasa banyak membuat keputusan buruk. Di saat yang sama, kita sadar bila kita tidak benar-benar bisa membandingkan seluruh merk handphone di dunia dan mencari mana yang kualitasnya paling istimewa. Kita tidak mencari yang paling sempurna dari semua pilihan, tetapi memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang terbatas.

To conclude, keputusan-keputusan di masa lampau memang berpengaruh pada kondisi kita saat ini. Ia membentuk suatu garis sejarah yang sistemik terhadap kehidupan kita sekarang dan di masa depan nanti. Mungkin keputusan-keputusan tersebut banyak yang kita sesali. Meskipun demikian, pada akhirnya, kita harus menyadari bila penyesalan itu terkadang datang karena kita menggunakan sudut pandang masa kini. Padahal, pada pembuatan keputusan di masa lampau, itulah keputusan yang paling baik menurut kita di antara pilihan-pilihan yang ada. Mengutip salah satu prinsip dasar Gojek, kita perlu mengetahui bahwa every decision is correct at the time it is made”.

Sudah saatnya saya bertanya kepada ayah saya: apakah ia menyesal membaca Goenawan Mohamad semasa muda dan menyerahkan bukunya kepada saya?

--

--