Seberapa Cepat Kita Perlu Bersyukur?

Gaffar Mu'aqaffi
4 min readFeb 12, 2023

--

Saya selalu bertanya-tanya: mungkinkah Indonesia merdeka pada tahun 1945 tanpa pemuda-pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok? Pemuda-pemuda itu, seperti Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh, adalah orang yang tidak sabaran dan tidak pernah puas diri. Mereka mendesak proklamasi kemerdekaan harus dilakukan secepat-cepatnya. Sebaliknya, Soekarno dan Hatta menginginkan proklamasi tidak perlu terburu-buru, toh Jepang telah menyiapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertanggungjawab atas kemerdekaan negeri ini. Meskipun ada “jaminan” Jepang dan ia telah kalah di Perang Asia Timur Raya, pemuda-pemuda itu menolak untuk bersyukur, sementara golongan tua, termasuk Soekarno dan Hatta, justru mengikuti jaminan tersebut.

Bila dipikirkan, bersyukur memang upaya yang dilematis. Bersyukur dalam waktu terlalu cepat memungkinkan kita untuk malas mengubah realitas dan pasrah atas nasib. Kita menghapus kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik daripada apa yang kita dapatkan saat ini karena memilih untuk menyerah lebih awal. Merujuk bahasa ilmu ekonomi, ada opportunity cost yang bisa jadi sangat besar. Bayangkan bila tidak ada kaum pemuda dan Soekarno-Hatta memilih bersyukur atas jaminan kemerdekaan dari Jepang: Indonesia mungkin saja gagal merdeka karena Belanda bersama Sekutu terlanjur datang kembali setelah kemenangan perang dan adanya kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

Sebaliknya, memutuskan untuk bersyukur terlalu lama juga problematik. Bila bersyukur dilakukan ketika kesempurnaan — dalam bentuk apapun itu — harus terlebih dahulu dicapai, maka ini hampir mustahil: kita tak tahu kapan dan bagaimana bentuk persisnya kesempurnaan itu sendiri. Di saat yang sama, pengejaran atas kesempurnaan begitu melelahkan dan menguras batin. Kita terjebak atas perbandingan-perbandingan atas apa yang kita dapatkan, apa yang tidak kita didapatkan, dan apa yang memungkikan untuk kita dapatkan. Sementara itu, probabilitas atas semua hal di dunia ini hampir tak ada batasnya. Dengan begitu, penyesalan atas pengambilan keputusan, perjalanan hidup yang sedang dilakukan, terus terjadi. Harus selalu lebih dan kondisi saat ini terus dikutuk.

Fokus atas Apa yang Dipunyai untuk Mendapatkan Hal-hal yang Tidak dan Belum Dipunyai

Saya baru saja selesai membaca buku Menjadi karya Afutami, seorang Ekonom Lingkungan World Bank dan juga satu di antara beberapa orang yang kehidupannya saya terus ikuti, meskipun hanya melalui media sosial. Di dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, sering merasa rendah diri karena kita berfokus pada hal-hal yang tidak ada, alih-alih melihat apa yang tersedia di depan mata. Pola pikir seperti ini membuat kita hanya berfokus pada kekurangan-kekurangan yang dimiliki dan apa yang “seharusnya”. Kita akan terus bertanya “apa kekurangan saya?”. Tentu dampaknya cukup sistemik: kita akan terjebak untuk terus complaining atas keadaan yang dialami tanpa berupaya untuk memecahkannya, sekecil apapun itu upayanya. Kita merasa tak punya otonomi untuk melakukan liberasi dan terlalu bergantung tindakan orang lain.

Sebagai antitesis, Afutami memperkenalkan konsep asset-based approach, sebuah pola pikir yang mendorong seseorang dapat menjadi lebih produktif untuk melakukan perbaikan atas dirinya sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Dengan menekankan pertanyaan “apa kelebihan saya?”, asset-based approach menawarkan pemahaman perlunya kita untuk berfokus pada hal-hal yang dipunyai untuk melakukan perubahan yang kita inginkan. Dengan memiliki mindset ini, kita tidak hanya didorong untuk lebih optimis dan aktif dalam melakukan perbaikan, tetapi juga memahami keterbatasan-keterbatasan dari upaya tersebut.

Pada akhirnya, konsep asset-based approach ini membantu kita untuk memetakan hal-hal apa yang kita punyai saat ini untuk melakukan perbaikan atas kondisi hidup yang kita inginkan, setipis apapun itu. Dengan memetakan kepemilikan itu, kita juga akan sadar bila ada perbaikan yang tidak mungkin tercapai bila hanya melalui kerja individual — kerja kita sendiri, dengan resource kita sendiri pula. Kita tidak terjebak pada narasi bahwa semua orang dapat mendapatkan kesuksesan asal kerja keras saja, tanpa melihat privilese yang melekat padanya. Misalnya saja:

  1. Dengan kondisi kita sebagai mahasiswa, kita bisa fokus untuk aktif melakukan aktivisme sosial, dan bukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
  2. Dengan kondisi kita sebagai pekerja sektor pemerintahan, kita bisa fokus untuk memformulasikan kebijakan publik yang adil dan berkualitas, dan bukan untuk menciptakan teknologi ramah lingkungan dengan tangan sendiri.

Bersyukur yang Progresif

Selama ini, bersyukur biasa diasosiasikan dengan menyerahnya dan berhentinya diri untuk melakukan perubahan atas realitas. Di saat yang sama, terminologi “syukur” selalu muncul dan digaungkan oleh otoritas-otoritas keagamaan untuk meredam kegelisahan para individu atas keadaan yang mereka alami. Karena bersyukur, para individu yang gundah ini akhirnya mewajarkan realitas yang mungkin saja opresif terhadap mereka, sehingga menciptakan apa yang disebut Karl Marx sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Maka wajar saja bila Marx kemudian menyebut agama sebagai “the opium of the people”.

Oleh karena itu, praktik bersyukur sudah seharusnya tidak bekerja sebagaimana biasanya. Bersyukur, sebagaimana konsep asset-based approach, harus didasari pada semangat dan keinginan untuk merubah keadaan. Bersyukur berarti melihat dan merefleksikan apa yang diraih saat ini, untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diinginkan. Bersyukur adalah strategi untuk memetakan kelebihan-kelebihan diri dan kemudian menjadikannya instrumen untuk keluar dari zona yang merugikan. Bersyukur harus progresif.

Dengan model bersyukur seperti di atas, kita akan melihat potensi-potensi yang melekat dalam diri kita untuk terus dikembangkan dan kita berterimakasih karena memilikinya. Alih-alih terjebak pada pesimisme untuk berubah dan terperangkap pada ketidaktenangan batin, kita percaya diri dapat melampauinya meskipun memiliki keterbatasan. Kita tidak perlu menunggu cahaya datang, karena kita telah memegangnya di tangan kita sendiri.

Sebagai penutup, saya berkesimpulan bahwa bukan pertanyaan “seberapa cepat kita perlu bersyukur” yang penting, tetapi “apakah cara bersyukur kita sudah tepat”.

--

--