RED. [Chapter 6] You Need Me

gemsattur
16 min readNov 13, 2023

--

— GeminiFourth Local AU.
90% Narrative Story (3.6k words)

CONTENT WARNING
Harsh words, Violance, Blood, Kiss

(Chapter 6) Theme Song : https://open.spotify.com/track/1cQ3LIkZE68pMSnPhZWXLu?si=aVocUG96SBCIjB8uOEiSUg&utm_source=copy-link

Please ignore typos & Broken English. Pictures credit to owner.

Now I got you
- Grey

.

Grey tersenyum menatap layar ponsel, mengingat semalam ia berhasil mendapatkan mangsanya. Digelengkan kepalanya seraya menempelkan ujung ponsel pada kening, Grey tak habis pikir apa yang membuat pria itu begitu spesial.

Nathan bukan yang pertama, dia hanya salah satu diantara sekian manusia yang pernah dinikmatinya, pria maupun wanita. Bertemu, bermalam, puas, lupakan. Selama ini rantai itu lah yang menjadi pedoman Grey. Ia hanya ingin bersenang-senang, ia bahkan tak pernah mengingat apa saja yang terjadi di tiap malamnya.

“Who the fuck are you,” gumam Grey yang masih terduduk di bangku menghadap kasur yang menjadi saksi bisu gairahnya tadi malam. Semua gambar yang terjadi tadi malam terputar kembali.

Wajah itu, lekuk tubuh, aromanya, pinggul, jemari, hembus nafasnya, bibirnya..

Grey menggigit bibir bawahnya merasakan gairah yang seketika naik saat ia mengingat Nathan. Ponsel yang sedari tadi tidak digubrisnya itu kembali bergetar, Grey belum juga menghiraukannya. Ia masih menikmati potongan-potongan gambar permainannya tadi malam.

Sampai ponsel itu bergetar berkali-kali, memaksanya membuka dan memeriksa beberapa notifikasi yang masuk pada ponselanya,

Grey memarkirkan mobilnya pada tempat khusus yang disediakan untuknya dan Timoti. Dilangkahkan kakinya santai memasuki gedung. Seluruh karyawan yang melihat kedatangannya merundukkan kepala mereka untuk menghormati sekaligus menyapa Wakil Direktur Utama Naratama Group itu.

Tubuhnya yang tinggi tegap membuat keberadaannya selalu menjadi pusat perhatian. Parasnya tak pernah gagal menyihir para wanita. Wajahnya selalu datar, auranya dingin. Ia jarang terlihat senyum saat berada di wilayah kerja. Tapi itu yang menjadi daya tariknya,

Semua orang tergila padanya. Perempuan, maupun laki-laki.

Sampai ia melihat Matteo yang sudah menunggu didepan lift. Dengan setelan jas abu-abunya Matteo berdiri di pinggir pintu lift dengan memasukkan satu tangannya pada kantung celana. Sementara yang lainnya membawa dua gelas Ice Latte.

“Terlambat 15 menit” ucap Matteo menyodorkan segelas Ice Latte pada Grey lalu menekan tombol lift pada tembok. Grey hanya mengangkat kedua bahu sebagai jawabannya sebari menunggu pintu lift terbuka.

“Pak Timoti terlihat tidak baik, jaga sikap Grey” lanjut Matteo

Pintu Lift terbuka, mereka berdua memasukinya. Grey dan Matteo bersandar pada dinding belakang lift seraya menunggu karyawan lainnya masuk kedalam.

“Jadi siapa anaknya? Lo atau gue?

“Grey,” tegas Matteo melemparakan pandangan tajam pada Grey. Mengetahui itu, Grey memutar mata memalingkan arah pandangnya.

“Shut up

Sampai beberapa orang sudah masuk, dan lift mulai terlihat penuh. Ditekannya tombol tutup dan lift mulai naik keatas.

“Projeknya ngga keurus loh! Dia skip meeting sampai 5 kali itu gimana ceritanya?!” celetuk seorang bapak paruh baya yang masih terlihat segar dengan setelan jas dan kopi ditangan kanannya.

Dua bapak itu masuk paling akhir, mendapatkan tempat berdiri didepan pintu lift. Mereka masuk tanpa menyapa Grey karna sepertinya tak menyadari keberadaan atasannya itu.

“Benar-benar belum pantas. Untuk apa dia menduduki posisi itu jika project sekecil ini saja tidak bisa handle?” sahut satunya

“Dia diangkat hanya karna anak satu-satunya.

“Dia tidak kompeten. Ch, memang benar posisi sepenting itu tidak boleh diberikan kesembarang orang, terutama yang buta” pedas salah seorang bapak yang membuat suasana dalam lift mencekam.

Orang lain pada lift hanya bisa bungkam, mendengar kedua bapak itu mencibir Grey tepat didepannya.

“Buta warna” sahut satunya tertawa kecil lalu menyeruput kopinya

Grey berdeham geli. Ditarik salah satu ujung bibirnya membentuk senyum seringai. Orang lain yang ada pada lift menelan ludah merasakan tegang. Tak seorangpun berani menegur dua pria paruh baya itu karna aura mencekam Grey memenuhi ruang kecil ini.

Sampai lift berhenti di beberapa lantai yang mulai satu persatu menurunkan penumpangnya. Hingga lift berhenti di lantai 15, satu orang terakhir keluar. Menyisakan Grey, Matteo dan kedua pria paruh baya itu yang masih tak menyadari keberadaan atasannya.

“Project dengan GMM rugi ya?” ucap salah seorang pria itu lagi

“Ya, sesuai dugaan. Bocah itu tidak bisa handle project sebesar itu. Harusnya aku yang menduduki tahtanya

“Ya, sepertinya aku setuju.” timpal lawan bicaranya itu

Grey menggelengkan kepalanya, senyum seringai nya makin berkembang.

“Ya, saya pun setuju” celetuk Grey menghentikan jantung kedua pria itu. Mereka mengenali suara itu. Dengan jantung yang hampir lepas, mereka membalikkan badan kearah Grey,

“Grey,” ucap dua pria paruh baya itu salah tingkah

“Oh, saat rapat pemilihan kalau tidak salah ingat, om Radit ada skandal ya? Kekerasan pada pegawai rumah makan bukan?” lanjut Grey membungkam dua pria itu

“Ah.. sayang sekali harusnya om Radit yang dipilih ya” tutup Grey yang makin membuat dua pria itu salah tingkah

Matteo hanya bisa tersenyum puas menyaksikan tingkah adiknya itu,

“Bima sehat om?” tanya Grey pada salah seorang pria yang sudah lama mengenal keluargnya itu

“Sehat, dia fokus pada kuliah S2 nya” jawab pria bernama Radit itu

“Semoga sehat terus ya si Bima. Diawasin terus om, umur segitu masih suka kelayapan loh

“Tidak perlu khawatir, Bima jauh dari pergaulan bebas. Ia bahkan tak bisa minum alkohol saat saya mengajaknya” jawaban itu seketika membuat tawa Grey meledak.

“Grey,” tegur Matteo

“Okay, okay..” ucap Grey yang lalu menahan tawanya

Lift berhenti di lantai 25. Lantai para eksekutif berada. Langkah Grey dan Matteo yang jauh lebih besar & gesit dari pria paruh baya itu berhasil keluar mendahului dua biang keladi itu.

“Oh iya! Bima kayanya salah paham sama posisinya om. Jangan sampai dia pakai title ‘kecil’ om Radit untuk mengancam orang,” celetuk Grey membalikkan badannya

“Apa maksud mu?

“Well, Ask your son

Diruang kantor Timoti, kini Ayah dan anak itu berhadap-hadapan. Timoti duduk pada bangkunya, Grey berdiri didepan meja ayahnya. Sementara Matteo menyaksikan kedua orang penting perusahaan itu, beberapa langkah jauh darinya.

“Project GMM berantakan” ucap Timoti seraya membolak-balikkan kertas

“Bukan kesalahan dari kita, konsep dan kesiapan tim mereka yang kurang matang

“Jaga nama baik perusahaan. Termasuk pada tingkah lakumu

Mendengar hal itu, Grey memutar mata kesal. Ia merinding mendengar kata-kata yang selalu didengarnya setiap hari.

“Kamu dengar ayah? Jawab!” ucap Timoti lagi

“Yea, whatever

“Grey,” tegur Timoti

Kedua pria itu bertukar pandang. Sorot mata Timoti yang tajam dan sorot mata Grey yang dingin beradu mencekam. Matteo yang melihatnya pun langsung mengalihkan pandangannya, berusaha menghormati waktu privasi kedua ayah dan anak itu.

“Ya” jawab Grey mendengus kesal

“Apapun itu, jangan nodai nama perusahaan

Grey memalingkan pandangannya,

“Grey,” ancam Timoti lagi

“Got it

Grey membolak-balikkan berkas kontrak kerjasamanya dengan Agency GMMTV untuk project serial barunya. Ini pertama kalinya Naratama Group melakukan kerjasama dengan Agency Entertainment dalam penggarapan series, Grey diutus menjadi penanggung jawabnya oleh Timoti karna ia merasa anaknya masih muda dan memiliki kapasitas tinggi untuk memahami ranah itu dibidang itu.

Jam menunjukan pukul 23.30 PM. Tersisa beberapa menit menuju tengah malam.

Seharian ini Grey kesulitan konsentrasi. Wajah Nathan tak juga hilang dari kepalanya. Grey bahkan terheran dengan dirinya sendiri, ini pertama kalinya ia memikirkan seseroang sebegitu seringnya.

Sampai Grey teringat sesuatu yang menghentikan pekerjaanya. Dibukanya laci mejanya lalu mengeluarkan sebuah borgol dari dalamnya.

Grey menggelengkan kepalanya seraya tersenyum heran. Apa yang menganggu pikirannya hingga seorang polisi bisa meninggalkan benda krusial ini.

“Apa yang bikin lo segitu bersalahnya?” gumam Grey saat kepalanya memutar memori tadi malam

.

/ Flashback : ON /

.

“Maaf..

“Maaf..

Grey terbangun saat mendengar suara seseorang. Perlahan dibuka kelopak matanya yang masih berat setelah melakukan aktifitas yang menguras tenaganya beberapa jam lalu. Tangannya mengusap mata, mencoba memfokuskan pandangannya.

“Maaf..

“Maaf..

Grey menolehkan kepalanya kearah lelaki yang berbaring di sampingnya. Tubuh bagian bawahnya tertutup selimut. Nathan terlihat tidak baik-baik saja, ia terlelap tapi tubuhnya berkeringat. Ujung rambutnya basah meski aktifitas mereka sudah selesa beberapa jam lalu.

Kelopak matanya yang terpejam rapat bergetar. Pangkal alisnya berkerut, dan nafasnya menderu kuat. Grey beranjak bangun untuk memastikan keadaan pria itu.

“Nathan? Nath?” Grey menggoyangkan tubuh Nathan berusaha membangunkannya.

Nihil, Nathan tak juga bangun. Nafasnya makin terdengar menderu. Grey meletakkan punggung tangannya pada kening Nathan, dirasakannya panas. Pria ini demam. Segera Grey menelepon resepsionis untuk meminta handuk kecil bersih dan air untuk mengompres Nathan.

Grey yang singgah di hotel milik bibinya ini tanpa persiapan, membuatnya tak punya baju ganti untuk dipakainya. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk memakai Bath Robers nya (jubah mandi)

“Maaf..

“Salah gue..

Nathan bergumam cukup kencang hingga suaranya terdengar sampai kamar mandi. Grey keluar dan kembali menghampirinya. Ia duduk di pinggir kasur tempat Nathan berbaring. Keadaannya makin memburuk, kini kedua tangan pria itu mencengkram selimut yang menutupi tubuh bawahnya.

Grey merundukkan badan dan meletakan tanganya pada kepala Nathan,

“Hey, wake up” ucap Grey seraya mengelus kepala Nathan

“Maaf.. Salah gue,” Nathan terus mengigau, suhu tubuhnya makin naik.

“Hey, can you hear me? Wake up,” Grey masih mencoba membangunkan pria itu dengan menepuk pelan kepala Nathan

Diguncangnya pelan bahu Nathan, sampai ia mulai mendapatkan kesadarannya. Kelopak matanya terbuka cepat, nafasnya terhentak. Matanya langsung menangkap sosok Grey yang ada tepat dihadapannya.

Tiba-tiba Nathan bangun dan memeluk erat Grey,

“Maaf! Maafin gue!

Grey yang bingung dengan situasi ini mencoba untuk tetap tenang dan tidak menambah kepanikan. Tangannya menyentuh kulit tubuh Nathan, dielusnya punggung lebar pria itu.

“It’s okay, It’s okay, semua bakal baik-baik aja..” ucap Grey

Nathan mempererat pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar,

“Maaf! Harusnya gue dengerin lo.. Harusnya..g-gue..maaf…maff-” kalimat Nathan terhenti, tubuhnya melemas. Ia tak sadarkan diri.

Tangannya terhempas pada kasur, Grey menopang kepala Nathan yang hampir jatuh kebelakang dengan sebelah tangannya.

“Nath?

Menyadari bahwa pria yang direngkuhnya itu kembali terlelap, segera ia membaringkan tubuh Nathan kembali pada kasur. Ditariknya selimut yang semula menutupi setengah tubuhnya, setinggi leher.

Grey kembali mengecek suhu tubuh Nathan, masih panas. Diusap kening pria itu yang basah karna keringat,

“Apa yang bikin lo rapuh gini?” gumam Grey merapihkan rambut Nathan yang basah dengan jarinya

Ini pertama kalinya Grey memperhatikan wajah seseorang sedekat ini. Ini pertama kalinya Grey terlihat peduli pada orang lain. Pada Nathan.

.

/ Flashback : OFF /

.

Grey yang tak tahan lagi akhirnya beranjak dari kursinya. Diambilnya outer jas yang tergantung pada stand hanger di belakang kursinya. Sedikit lagi dia gila, Grey harus bertemu Nathan. Dia harus melihat wajahnya, menyentuhnya.

Nathan mulai menjadi candu untuknya.

“Grey? Mau kemana?” pekik Matteo yang baru masuk ruangan dan berpapasan dengan atasannya itu,

“Gue serahin ke lo. Gue pergi bentar,” jawab Grey mempercepat langkahnya

“Grey! Grey!.. Shit!” gerutu Matteo

Grey telah memarkirkan mobilnya didepan gedung Porles. Ia keluar dan menyandarkan tubuhnya di pintu mobilnya. Terhitung sudah 30menit Grey menunggu pria itu keluar, tapi batang hidungnya tak kunjung terlihat.

Grey mengambil ponselnya, kembali dibuka chattnya dengan Nathan. Senyumnya terkembang melihat Nathan hanya membaca pesannya tanpa balas.

Grey diam-diam memasukkan nomornya pada ponsel Nathan saat ia tak sadarkan diri kemarin malam. Ia tau Nathan tak akan memberikan nomor kontaknya pada Grey, jadi dia harus mencari cara sendiri untuk bisa menghubunginya.

“Cute,” gumam Grey setelah menekan foto profil Nathan pada aplikasi pesannya, membuat foto nya terpampang besar pada layar ponselnya.

Menunggu adalah hal yang paling dibenci Grey. Itu membuang-buang waktunya. Tapi kini pria yang rapih dengan setelan jasnya itu masih sabar menunggu. Hal yang dibencinya itu rela dilakukan demi bertemu satu-satunya mangsa yang berhasil membuatnya sangat bergairah.

Dimainkannya borgol pada tangannya seraya menunggu sang tokoh utama muncul.

Sampai Nathan pun muncul, ia keluar dari pintu gedung seraya berlarian kearah Grey. Wajahnya ketus, ia tak sama sekali terlihat senang dengan kedatangan pria yang telah menghabiskan malam dengannya itu. Grey dengan menyembunyikan borgol Nathan dibelakang tubuhnya,

“Mana?” ucap Nathan menyodorkan tangannya kearah Grey

“Bisa loh nyapa dulu” ucap Grey menyeringai bahagia

“Gausah basa-basi, kembaliin borgol gue dan pergi

“Oho, gue udah jauh-jauh dan ngebut juga. Ujung-ujungnya diusir? Oh, come on!

Kesal dengan tingkah pria itu Nathan mencengkram kerah baju Grey dengan kedua tangannya, emosinya selalu meluap tiap kali melihat wajah licik itu.

Grey tertawa kecil mendapat tingkah Nathan terlihat menggemaskan di matanya,

“Give it to me, and get the fuck off!” ancam Nathan menggertakan giginya

“You sure?

“Fuck off” ucap Nathan mendekatkan wajahnya pada Grey bermaksud mengancamnya.

Alih-alih mundur, Grey yang tak merasa terancam itu menarik ujung bibirnya tersenyum.

Grey mencium bibir Nathan.

Tangannya menangkup kepala Nathan untuk menahannya tak menjauh. Hal itu dilakukannya sangat gesit tanpa aba-aba. Bibir Grey bergerak sangat agresif membuat bibir Nathan bertaut dengannya.

“Bangsh..swtt!” Nathan menggerutu mencoba melepas tautan bibir mereka tapi Grey merengkuh kuat tubuh Nathan, tak membiarkannya lepas. Tubuh Grey yang lebih besar dari Nathan membuat tenaganya tak kalah kuat dari pria yang berprofesi sebagai polisi itu.

“Bangsat!

BUK!

Sampai Nathan benar-benar bisa melepaskan diri dan langsung mendaratkan sebuah tinju pada wajah pria itu. Grey terhuyung sedikit, lalu kembali pada posisinya. Diusapnya ujung bibir yang cukup terasa sakit.

Senyum seringainya terkembang,

Nathan yang melihat borgolnya ada ditangan Grey, segera merampasnya dan hendak pergi. Tapi dengan cepat Grey mencengkram pergelangan tangan mangsanya itu lalu menariknya mendekat.

Sangat dekat hingga wajah mereka tersisa hanya beberapa senti.

“Suara di kepala lo berhenti, kan?” ucap Grey membungkam Nathan

Nathan terkejut, dari mana Grey tau tentang suara yang selama ini menghantuinya?

“Waktu gue cium, lo ngga denger suara itu kan?

Nathan benar-benar terbungkam. Ekspresinya tak bisa bohong. Suara itu memang berhenti saat Grey menyentuhnya. Saat Grey menciumnya tadi, dan malam itu. Nathan menatap mata Grey penuh tanya,

Kalo gue mati, ini semua salah lo..

Kalo gue mati, ini semua salah lo..

Suara itu kembali terdengar. Nathan mengernyitkan alisnya, sebelah matanya tertutup merasakan pening pada kepalanya.

Melihat itu Grey menangkup wajah Nathan, lalu mengecupnya lagi. Kali ini diciumnya lembut bibir manis Nathan,

Suara itu hilang.

Grey menggerakan bibirnya perlahan. Disesapnya daun bibir Nathan yang terasa manis pada indra perasanya. Sampai Grey melepas kecupannya,

“See?” ucap Grey menatap dalam manik hitam Nathan

“Admit it, you need me” lanjutnya

Nathan memandang mata Grey dalam. Tanda tanya besar muncul pada kepalanya, siapa orang ini? Bagaimana bisa ia menghentikan suara itu pada kepalanya. Demi tuhan segala cara sudah ia lakukan, tapi tak satupun membuat suara itu berheti.

Kedua pria itu bertukar pandang. Nathan masih tak percaya Grey bisa dengan mudah menghilangkan suara itu,

Nathan mengecup bibir Grey.

Kali ini ia melakukannya duluan. Ia sudah kehabisan cara untuk membuat suara itu terhenti. Nathan mulai menutup matanya. Grey menyeringai dibalik kecupanya. Mendapat lampu hijau dari Nathan, Grey melumat bibir manis Nathan. Ditautkannya daun bibir mereka lekat.

Suara itu hilang. Kepala Nathan sunyi,

Lumatan bibir itu cukup panas, terdengar suara kecap bibir mereka yang bertaut lengket ditengah nafas yang mulai terengah. Grey menangkup wajah Nathan dengan sebelah tangannya, disesap dan sesekali digigitnya bibir Nathan.

Now I got you..

Tes.. Tes.. Tes..

Hening membuat tetesan air dari keran yang tak rapat itu menggema pada dinding. Ruangan gelap ini remang diwarnai lampu bernuansa merah. Seseorang duduk tak sadarkan diri ditengah ruangan. Kepalanya tertutup kantung kain hitam dengan kedua tangan diikat ke belakang kursi.

Tempurung kepalanya yang retak dan kenignya yang sobek, mengucurkan darah membasahi leher dan wajahnya. Entah sudah berapa lama pria itu sudah ada disana, kelopak matanya mulai terbuka.

“Arkh!” ia mengerang saat merasa sakit pada kepalanya.

Mengingat dirinya sedang dalam bahaya, kepanikan seketika menyergapnya. Nafasnya menderu, detak jantungnya naik.

“Bangsat!” gerutunya menyadari dirinya terikat pada kursi. Dihentaknya keras kedua tangannya berlawanan arah berharap itu bisa membuatnya terbebas.

Nihil. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk melepas kedua tangannya yang terlilit sesuatu bertekstur solid, tidak terasa seperti tali. Pinggiran benda tersebut melukai pergelangan tangan pria itu saat ia semakin berusaha melepaskannya.

Benda itu terasa seperti kabel ties.

Dirasakannya hawa dingin menusuk sampai ketulang. Pria itu menggelengkan kepalanya, berusaha melepas kain yang menutup kepalanya. Tak juga membuahkan hasil, Ia hanya bisa melihat cahaya merah menembus rongga-rongga kecil kain.

“Shit!” gerutunya lagi berusaha keras melepaskan diri. Digoyangkan tubuhnya ke kanan-kiri, sengaja membuatnya tak seimbang dan jatuh dengan pikiran dapat melepaskan diri jika posisinya berubah.

Buk!
Pria itu jatuh kearah kanan tubunya, membuat bahunya menghantam cukup keras pada alas. Dirasakan tekstur licin dan dingin, seperti ada lapisan plastik pada lantai. Tubuhnya menggeliat mencoba melepaskan diri, menimbulkan suara gesekan plastik yang cukup berisik.

“Please, please, please!” gumamnya dengan nafas yang masih menderu keras

Sampai indra penciumannya menangkap sesuatu. Bau kimia seperti cairan pemutih menyengat hidungnya yang berasal dari alas. Tak begitu menghiraukannya, pria itu masih mencoba melepaskan diri.

Klang.. Klang..

Tubuh pria itu mematung seketika saat tiba-tiba terdengar suara besi yang dibenturkan pada lantai. Tubuhnya gemetar, keringat mengucur pada keningnya, menerka-nerka siapa orang itu dan apa maunya.

Langkah kakinya terdengar semakin mendekat, semakin jelas terdengar ditelinganya.

“S-siapa lo?! Lep-pasin g-gue!!” pekik pria itu dengan suara bergetar

Nafas pria itu terhenti saat langkah yang ia dengar kini berhenti tepat di depan wajahnya. Bau pemutih makin menyengat berasal dari orang itu.

“S-siapa lo! Ss-siapp.. hmph-” gerutu pria itu terhenti saat sebuah benda besi tertempel pada pipi kirinya. Orang itu menekan benda tumpul dingin itu membuat kepala mangsanya itu menempel pada alas.

Tubuh pria itu bergetar hebat, nafasnya semakin menderu saat orang dihadapannya menepuk-nepukkan benda tumpul itu pada pipinya. Dia tertawa kecil, suara tawanya terdengar berat dan mencekam. Tawanya puas seperti predator yang berhasil menjebak mangsanya.

“Arkh!” pekik pria itu saat predator itu menjambak rambutnya membuat tubuhnya kembali terduduk pada kursi.

BUK!

“Uhk!” predator itu mengayunkan benda tumpul yang di genggamnya pada perut mangsanya. Pria yang terikat pada kursi itu terbatuk keras, nafasnya sesak merasakan sakit dibagian perut yang merambat pada dadanya.

Dirasakan benda itu terasa familiar. Berbentuk panjang, dengan permukaan halus dan tumpul, tak terlalu berat tapi solid. Seperti tongkat baseball.

BUK!

“Haha!” predator itu tertawa setelah mengayunkan untuk kedua kalinya dengan tenaga yang lebih kuat dari sebelumnya.

BUK!

BUK!

“Hahahaha!” predator itu tertawa semakin kencang

Pria yang dihujani pukulan tongkat baseball itu terbatuk keras, mulutnya mengeluarkan darah akibat hantaman bertubi-tubi pada perut dan dadanya.

“Uhk! Uhwg..hh” Kain hitam yang menutupi kepala si mangsa itu ternodai bercak darah yang terus termuntahkan. Membuat sang predator mendekat,

Ditarik sebelah bibirnya tersenyum seringai. Jemarinya menyentuh bagian basah kain hitam itu, hingga bercak merah menempel pada jarinya. Diusap ibu jarinya dengan jari lain, memainkan noda darah mangsanya itu.

“Interesting” gumamnya

“Lep..pasin gue.. Tt-tolong..” ucap pria yang hampir kehilangan kesadarannya itu dengan suara parau. Sesekali ia tersedak oleh darahnya sendiri,

“Okay” jawab sang predator lalu beralih kebelakang mangsanya

Dilepas penutup kepala mangsanya itu membuat darah mengoles hampir seluruh wajahnya. Pandangan pria itu buram, cahaya merah yang masuk pada matanya membuatnya pening. Ia butuh waktu untuk mengembalikan fokusnya.

Cklek!

Suara saklar lampu terdengar, ruangan yang semula remang menjadi terang. Membuat seluruh sudut ruangan terlihat jelas. Ruangan ini kosong, hanya ruangan persegi dengan tembok dan alas semen. Benar dugaannya, terdapat plastik bening tergelar lebar dibawahnya.

Sampai pria itu menangkap sebuah meja disebarang sana, yang menempel pada tembok. Meja hitam berisikan beberapa alat potong, pisau, tali, palu dan peralatan bangunan lainnya.

Mata pria itu berhenti pada hijang yang tergantung di tembok meja itu. Disitu tergantung berbagai jenis pisau, mulai dari pisau lipat hingga pisau daging.

Dan, kabel ties. Terlihat berlusin-lusin kabel ties yang terikat menjadi satu, tergantung dipinggir pisau-pisau itu.

“Menarik bukan?” sahut predator itu menempelkan wajahnya tepat disamping wajah mangsanya. Ia menahan wajah mangsanya itu dengan tangan, membuatnya tak bisa melihat bagaimana rupa pemburunya itu.

Dengan cepat sang predator menutup mata mangsanya dengan kain. Kali ini hanya matanya. Lalu ia beralih kedepan mangsanya,

Srbbt!

“Akh!! Bangsat!!” pekik pria itu saat predatornya menggores tulang pipinya dengan benda tajam. Mengukir goresan yang terasa perih menbuat sebelah matanya tertutup rapat.

“Aaaaaaaa!!” teriaknya saat predatornya itu menekan luka goresnya dengan jempol begitu kuat.

“So, beautiful” ucap predator itu yang lagi-lagi memainkan darah mangsanya itu pada jemarinya

“Please, please, please! Jangan bunuh gue.. Gg-gue bisa kk-kasih lo ap-apapun!! Gue janji!

“Sssstt… Diam..” bisik predator itu menempelkan ujung pisau runcingnya pada dagu kanan mangsanya.

“Please.. Please.. Gg-gue ga bakal-ga bakal laporin ke pp-polisi! Gg-gue bakal pergi jauh! Tolong jangan bb-bunuh ggue…” ucapnya lagi kini menitihkan airmata, suaranya bergetar hebat menggambarkan bertapa takutnya dia dengan situasi ini.

Melihat wajah memelas mangsanya, predator itu menyeringai. Tubuh mangsanya yang gemetar, suaranya yang parau, membuat dirinya semakin bergairah. Ditancapkan ujung pisau runcing itu pada dagu mangsanya, lalu digores kearah atas pipinya.

Senti demi senti, digoresnya pelan hingga darah mengucur deras dari luka sobek itu.

“AAAAAAAAAAAA!!” jerit pria itu merasa perih luar biasa pada wajahnya

Predator itu masih asik menikmati jeritan mangsanya. Senyumnya terkembang lebar, sesekali digigit bibir bawah menikmati gairahnya yang makin naik.

Setelah selesai mengukir luka vertical yang cukup panjang sejajar dengan tulang pipi, predator itu mengusap jarinya pada darah yang mengalir deras, didekatkan jari berlumur darah itu pada wajahnya. Senyumnya terkembang memandang kagum pada bercak darah yang menempel pada jarinya.

“Please.. Tolong.. jangan bbunu-

Ssrbt!

“Hmph! Arkh..” pekik pria itu merasakan benda tajam menusuk perutnya tiba-tiba

Ssrbt!

Ssrbt!

Dengan brutal predator itu menusukan pisau pada beberapa bagian tubuh mangsanya. Perut, Pinggang hingga paha. Darah mengalir deras dari luka-luka tersebut.

Srrbt!

Ssrrbt!

Ssrrbt!

Kali ini predator itu menggores ringan tak tentu arah pada sekujur tubuh mangsanya. Ia membabi buta, merasakan cipratan darah menganai tubuh dan wajahnya itu membuatnya puas. Ia tertawa keras, ditengah mangsanya yang merintih pilu.

Srrbt!

“Haaarkhh!!” jerit pria itu saat pisau menancap pada paha kanannya.

“Ampun.. gg-gue mo-hon.. jangan..bun-nuh..g-gue..” ucap mangsa dari predator itu yang sudah hampir hilang kesadarannya.

Predator itu mendekatkan wajah pada telinga mangsanya, seraya meletakan tangan kirinya pada tempurung kepala pria itu yang sudah basah dengan darah.

“See? You’re not that important, kid. No one cares that you’re gone

“No.. Please..

Predator itu menyeringai seraya mengelus lembut belakang kepala mangsanya itu. Dilihat telapak tangan yang kini berlumur darah,

“This thing, really tempted me” kalimat itu sungguh mencekam terdengar pada telinga pria berlumur darah itu.

Tubuhnya gemetar hebat menahan sakit dan takut. Detak jantungnya terdengar saking kencangnya, nafasnya lemah dan berat.

Sampai sang predator menjauh dari jangkauan mangsanya itu.

“Hkk!!!

Sesuatu melilit lehernya dari belakang. Lehernya tercekik kuat hingga nafas berhenti di kerongkongan. Wajah pria itu memerah, urat wajah dan lehernya muncul kepermukaan.

“Hkkk!!!” tubuh pria itu bergetas hebat saat nafasnya sudah pada ujung

Melihat pria itu sudah sampai pada ajalnya, seseorang itu membuka penutup mata lalu menjambak kasar rambut mangsanya itu, mendonggakkan kepalanya sengaja bermaksud membiarkan mangsanya itu melihat wajahnya.

“Kau..” pekik mangsa itu terkejud melihat siapa yang ada di depan matanya

“Farewell, Bima” ucap orang itu seraya menyeringai lebar.

Nafas Bima semakin diujung, hingga kini oksigen benar-benar habis. Matanya berputar keatas, memperlihatkan bagian putih bola matanya. Kelopaknya berkedip cepat, tubuhnya kejang.

Hingga Bima perlahan tenang.

Pergerakannya mulai berhenti.

Begitu juga dengan nafasnya.

.

.

.

To be continue..

--

--