Nureza Dwi Anggraeni
5 min readMar 24, 2016

Bukan Pasar Malam – Pram

Bukan Pasar Malam, novel pendek Pramoedya Ananta Toer ini, barangkali adalah novel yang paling banyak dipuji dan diapresiasi para pembaca karya-karya Pram setelah Bumi Manusia. Setidaknya, YB Mangunwidjaja seorang penulis novel dan juga rohaniwan mengatakan bahwa Bukan Pasar Malam adalah karya Pramoedya yang paling disukainya. Oleh sebagian pembaca, Bukan Pasar Malam, sering disimpulkan sebagai novel yang bernuansa religius, beraura mistik dan mengandung pergulatan eksistensial diri manusia ketika berhadapan dengan maut di samping ironi seorang pejuang kemerdekaan yang kecewa dan tak mendapatkan tempat yang layak justru ketika kemerdekaan yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud.

Hanya saja, menurut penulis, apresiasi terhadap Bukan Pasar Malam, sampai detik ini tidak cukup mengena dan mendalam. Barangkali ketidakdalaman ini karena ketidaksanggupan melihat fakta gerak revolusi Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan begitu, bisa saja novel Bukan Pasar Malam, adalah novel yang paling banyak disalahpahami. Inilah alinea penutup Bukan Pasar Malam yang paling banyak dikutip dan tersebar luas untuk menggambarkan daya tarik Bukan Pasar Malam:

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Deretan kata-kata itu pulalah yang dicantumkan penerbit Lentera Dipantara pada cover belakang ketika menerbitkan Bukan Pasar Malam.

Judul novel pendek Pram Bukan Pasar Malam, memang menarik dan kuat dari segi diksi tapi barangkali tidak mewakili isi keseluruhan. Judul yang menggunakan kata kontradiksi “Bukan” terhadap keberadaan “Pasar Malam” tentu sangat menarik di tengah kehidupan rakyat yang (dalam tahun novel ini terbit) menganggap pasar malam adalah peristiwa yang sangat menarik, luar biasa dan tak bisa dilewatkan begitu saja baik sendiri maupun bersama (keluarga, pacar…). Dengan demikian judul novel ini bisa “menyesatkan” pembaca yang terpaku pada alinea penutup Bukan Pasar Malam sementara justru kedalaman kisah yang lain tak terungkap.

Lagi, masih bisa dipahami bila Pram menutup novel pendeknya dengan nada filsafat eksistensialisme yang begitu kuat. Bukankah Pasca Perang Dunia II, eksistensialisme justru semakin menemukan tempat? Dengan dua pendekar eksistensialisme: Camus dan Sartre, eksistensialisme juga semakin berkibar-kibar di lapangan sastra. Pengaruhnya pun sampai ke Indonesia terlebih melalui karya-karya Chairil Anwar dan Iwan Simatupang. Pram pun tampak tak bisa menghindar dari irama eksistensialisme: kemuraman dan kegelisahan akibat kemanusiaan yang runtuh akibat Perang Dunia II. Hanya saja Pram tidak larut dalam kegelisahan eksistensial terus-menerus. Ia tetap bergulat dengan masa depan Revolusi Indonesia.

Pram ketika menuliskan novel ini masih muda: kurang lebih 25 tahun mengingat Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Sementara Iwan Simatupang menuliskan sajak-sajak eksistensialisnya juga di sekitar tahun itu, 1952: Ada Dukacarita di Gurun – buat mereka yang disepikan, lalu Ada Dewa Kematian Tuhan – sajak peringatan 100 tahun kematian Nietzsche. Keduanya muncul di majalah mingguan terkenal saat itu: Siasat. (Baca: Pengantar Dami N. Toda dalam Tegak Lurus Dengan Langit, Lima belas cerita pendek Iwan Simatupang, Sinar Harapan, Jakarta, 1985;7)

Jadi, Bukan Pasar Malam terbit enam tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Atau tak lama setelah pertanyaan terakhir ayahnya menjelang ketaksanggupan melawan ajal: “Siapa yang bisa mengatakan padaku hari kelahiran sesuatu yang kita perjuangkan selama ini?” (jawab tokoh aku – Pramoedya Ananta Toer -sendiri-?) “Tujuhbelas Agustus tahun seribu sembilanratus empatpuluh lima , Bapak”. (h. 87). Dengan begitu, jelas, semangat revolusi untuk kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa pun menjadi bagian yang utama dan arus yang kuat di seluruh kisah Bukan Pasar Malam.

Bukan kebetulan bila Pram mengajukan tokoh novel ini berprofesi sebagai guru (bukan dokter, ulama,…), walaupun Ayahnya sendiri pun berprofesi sebagai guru dan mengajar di sekolah pergerakan Budi Utomo: organisasi yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional sejak 1908.

“Aku tak mau jadi ulama…Aku mau jadi nasionalis…Karena itu aku jadi guru…Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman…Patriotisme.” (h. 88)

Dua kata terakhir mengingatkan kita pada sekolah pergerakan kemerdekaan (juga) yang didirikan pada 3 Juli tahun 1922 oleh Tokoh Besar pendidikan bangsa ini Ki Hajar Dewantara yakni Taman Siswa. Sampai sekarang sekolah ini pun masih eksis.

Kita pun tahu sebagian guru-guru yang terlibat pada pergerakan kemerdekaan kemudian mengorganisasikan diri di samping pada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), juga pada Persatuan Guru Republik Indonesia-Non Vak Sentral (PGRI-NVS) yang dianggap berafiliasi politik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pasca G 30 S 1965, ribuan guru yang bergabung dalam PGRI-NVS, dikejar-dikejar, diburu oleh rezim baru bernama Orde Baru, untuk dibunuh atau dikirim ke penjara-penjara dan kamp pembuangan Pulau Buru.

Tentu saja, sebagian guru yang dikejar-kejar itu pun lalu menghilang dari panggung politik Orde Baru dan mencari jalan lain untuk melanjutkan kehidupan atau justru tenggelam dalam kekecewaan yang tak menemukan obatnya.

Dengan demikian Bukan Pasar Malam adalah karya Pram yang luar biasa dipersembahkan Pram kepada para pahlawan tanpa tanda jasa, para guru yang tak dapat disangkal turut berperan besar pada proses kemerdekaan bangsa ini tapi juga tak mendapat perhatian dan tempat yang sepantasnya pasca kemerdekaan. Inilah novel yang tak sekadar kisah duka, kematian atau kekecewaan seorang pejuang kemerdekaan, tapi lebih dari itu adalah kisah seorang guru pejuang yang bangga dengan predikat guru sebagai salah satu unsur penting dalam membebaskan bangsa dan tanah air dari ketidakmerdekaan akibat penjajahan kolonialisme. Dan pesan yang lain jelas, sang guru gugur bukan karena semata-mata kecewa tapi dalam pengertian nilai perjuangan yang baru yaitu gugur di lapangan politik.

“…Hanya yang bisa kukatakan dengan pasti, dan barangkali inilah yang tak Tuan ketahui, ialah: ayah Tuan gugur di lapangan politik.” (h. 102) Pernyataan gugur di lapangan politik itu pun diulangi kembali: “Benar, ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah Tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencuri untung itu…” (h. 103).

Dengan demikian politik sebagai kesadaran ditekankan dan betapa pentingnya untuk dipelajari dan dipahami agar guru dan pejuang umumnya tak lagi gugur di lapangan politik dalam kesia-siaan.

Untuk di era Demokrasi saat ini, bijak kiranya untuk dipahami bersama bahwa, banyak guru Indonesia yang masih gugur di lapangan politik. Slogan pahlawan tanpa tanda jasa, tampaknya sudah tak layak dikumandangkan dalam Hymne Guru.

Sebagai catatan, Novel inipun mengalami cetakan kedua oleh Balai Pustaka pada tahun 1959. Kemudian dicetak ulang ketiga kalinya pada tahun 1964 oleh Yayasan Kebudayaan Sadar. Satu bulan kemudian pasca peristiwa G 30 S 1965 yang membawa kerusakan parah gerakan kiri di Indonesia, Bukan Pasar Malam pun dilarang peredarannya. Novel ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing. Dalam bahasa Inggris, It’s Not An All Night Fair terbit pada tahun 1973. Baru kemudian pasca tersingkirnya Jendral Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru, pada tahun 1999, novel ini, edisi Indonesia, kembali diterbitkan oleh Bara Budaya, Yogyakarta. Kini sudah cetakan ke 8 tahun 2015 yang diterbitkan Lentera Dipantara.