Tentang Joker dan Mereka yang Tahu Terlalu Banyak

Geril Dwira
6 min readJan 8, 2018

--

Ilustrasi Joker, pixabay.com

Saya baru saja selesai (untuk kesekian kalinya) membaca sebuah novel berjudul Misteri Soliter, saat hendak membuat tulisan ini. Sekedar info, novel ini adalah karya novelis asal Norwegia, Jostein Gaarder. Novel itu bercerita tentang sebuah kisah perjalanan seorang anak laki-laki bersama ayahnya untuk mencari sang ibu yang telah pergi dalam waktu lama.

Dalam proses pencariannya itulah, si anak dan sang ayah mulai mengalami kejadian-kejadian aneh, seperti bertemu sosok mirip kurcaci yang memberi kaca pembesar, hingga tukang roti yang memberi buku dengan ukuran sangat mini.

Menarik. Dalam novel itu Gaarder juga mengajak para pembacanya untuk sedikit belajar tentang filsafat dengan cara yang lebih ringan. Beda dengan novel ‘Dunia Sophie’ yang ia buat sebelumnya. Kisah-kisah filsafat dan cerita di kehidupan Yunani kuno ada dalam karyanya. Cocoklah buat bacaan santai.

Ada kisah di dalam kisah, kurang lebih seperti itu novel Misteri Soliter dikemas. Tidak, saya tidak bermaksud untuk mempromosikan buku tersebut, hanya saja, saya sedang membuka alur agar tulisan ini sedikit tersambung dengan judulnya.

Dalam salah satu kisahnya, Gaarder mencoba menggambarkan bagaimana setumpuk kartu remi bisa terlibat peran dalam sebuah cerita fantasi perjalanan hidup manusia.

Setumpuk kartu remi yang berjumlah 52 menjelma di dalam sebuah Pulau Ajaib. Keseluruhan individu yang terbagi dalam empat simbol tersebut hidup seperti manusia, dan memiliki pekerjaannya masing-masing: keriting sebagai petani, wajik sebagai pembuat kaca, hati sebagai pembuat roti, dan sekop sebagai tukang kayu. Dalam hidupnya, mereka sepenuhnya hanya bisa bekerja, tanpa membuat hubungan sosial antara satu dengan yang lainnya.

Membayangkan kisah seperti dalam dunia dongeng, kehidupan dalam pulau ajaib pada awalnya berjalan normal, hingga pada suatu waktu, muncul sosok yang kemudian dianggap selalu membuat kekacauan tiap kali kehadirannya. Dialah: Joker, individu ke-53 dalam setumpuk kartu remi.

Oke, saya selesai. Untuk lebih lengkapnya bisa baca bukunya sendiri. Atau bila ingin merepotkan diri, kalian bisa mampir di Gorontalo, pinjam buku milik saya, dengan bonus jalan-jalan.

Berangkat dari kisah itu, sepertinya sosok Joker menarik jika dijadikan bahan obrolan, pikir saya.

Kita tahu bahwa Joker memang selalu digambarkan sebagai sosok yang berbeda dalam satu set kartu. Joker bukan bagian dalam kerajaan kartu, dia orang luar, tapi berada dalam lingkungan yang sama.

Biasanya ada dua atau lebih kartu joker dalam satu set kartu, Joker merah dan hitam. Tapi, meski selalu berada dalam tempat yang sama, tidak banyak juga permainan yang memerlukan Joker. Dia biasa digunakan dalam kondisi tertentu saja, oleh sebab itu dia bisa diambil atau dilupakan, tanpa ada yang merasa kehilangan. Sedih.

Joker juga biasanya digambarkan sebagai sosok yang konyol, sering menggunakan kostum warna-warni dengan lonceng-lonceng kecil di badannya. Tapi, lain halnya dengan Joker ciptaan Bill Finger, Bob Kane, dan Jerry Robinson dalam komik terbitan DC Comics.

Joker dalam komik digambarkan sebagai musuh terbesar si manusia kalong. Joker dengan rambut yang berwarna hijau dan dandanannya yang menor, digambarkan memiliki kepribadian psikopat, anti sosial, tak punya hati nurani, dan selalu berbuat kriminal. Tapi, di balik semua itu, ia memiliki kecerdasan dan selera humor yang juga luar biasa.

O, iya, ada satu persamaan antara Joker dalam kartu remi dan komik, keduanya selalu digambarkan sebagai pribadi yang selalu tertawa dan senang hatinya.

Terlepas dari sebab kenapa Joker bisa menjadi sosok yang sangat sadis plus kejam seperti itu, menurut saya dia keren. Sebab, dia juga satu-satunya karakter yang sepenuhnya sadar bahwa dirinya memang tidak waras alias gila alias edan.

Ah, sedikit kembali ke cerita novel, sebab karena dirinya berbeda dari ke-52 karakter lainnya dalam satu set kartu remi — dan juga seorang pengangguran — hal itu membuat Joker bisa jauh lebih mengekspresikan dirinya. Dia digambarkan sebagai sosok individu yang bebas, tidak terikat pekerjaan seperti yang lainnya, dan itulah yang membuatnya bisa “melihat terlalu dalam dan mengetahui jauh lebih banyak”.

Joker bisa mencari tahu tentang berbagai kisah di Pulau Ajaib, tentang alam, tentang hewan dan tumbuhan, tentang kehidupan masyarakatnya, konflik sosial serta permasalahan-permasalahan lainnya.

Lalu, bagaimana jika sifat “mengetahui jauh lebih banyak” itu hadir pada individu-individu tertentu di era yang serba menggemaskan seperti saat ini?

Manusia memang makhluk unik, ia bisa saja melihat banyak hal sekaligus belajar tentang banyak hal, sama seperti yang dilakukan oleh Joker. Tapi yang kadang menyebalkan itu adalah, saat ada individu-individu yang muncul secara mendadak dengan menganggap dirinya bisa tahu segala hal. Tidak termasuk si peramal.

Individu-individu seperti ini biasanya seringkali cepat merasa puas dengan sedikit pengetahuan yang dimiliki. Seringkali mengabaikan atau tidak melakukan proses yang benar dalam hal-hal tertentu, semisal: verifikasi. Meminjam istilah kerennya, Tabayyun.

Atau dalam kasus yang lebih parah, sebagian dari mereka malah membual dengan mengetahui segala hal yang sebenarnya tidak diketahui. Ikut meramaikan, biasanya.

Semisal dalam beberapa contoh: ketika ramai meributkan soal ayat, ramai pula ahli tafsirbaru yang bermunculan. Ribut soal racun dalam kopi, banyak juga muncul si ahli hukum. Ribut soal pilkada (rasa pilpres), bermunculan mereka yang tahu lebih banyak soal politik. Atau yang lebih gereget, saat sebagian ramai membicarakan kafir, asing-aseng dan hal-hal berbau “kiri”, naiklah ke permukaan mereka yang tahu segala hal soal agama dan sejarah. Hebat.

Terlepas dari itu, apakah mereka juga tahu atau minimal mau mengetahui, bahwa banyak masalah-masalah lain seperti penggusuran lahan secara paksa milik petani di Sukamulya, warga Bukit Duri, atau Rembang, reklamasi yang merugikan alam dan kehidupan warga Bali, pembunuhan massal 65, kasus pembunuhan aktifis HAM: Munir, atau ketidakadilan di bumi Papua, atau masalah-masalah kemanusiaan lainnya, yang hingga kini semuanya tak kunjung selesai?

Kemana individu-individu tersebut? Apakah mereka acuh? Apakah mereka juga turun demo terhadap hal itu? Atau mereka ingin melihat jauh lebih dalam dan mengetahuinya lebih banyak? Saya pikir tak semuanya memang. Wallahu a’lam bishawab.

Selesai dari novel, saya juga melihat bacaan lainnya. Mencoba untuk lari mundur ke zaman 450 SM, saat di mana Athena menjadi pusat kebudayaan Yunani. Di era demokrasi yang masih muda, penduduk Athena pada masa itu, membutuhkan pikiran yang lebih terbuka.

Pada masa itu, menguasai seni berpidato adalah salah satu hal penting, yang artinya mengatakan berbagai hal agar bisa meyakinkan orang banyak. Sekelompok orang (guru atau para filsuf) berkumpul di Athena, mereka menamakan diri kaum “Sofis”, atau seseorang yang bijaksana dan berpengetahuan lebih.

Kaum sofis berkontribusi besar dalam perkembangan dunia pendidikan di Athena, mereka mengajarkan banyak ilmu seperti matematika, astronomi, bahasa, dan masih banyak yang lainnya. Para filsuf besar pun lahir dari sini. Tapi, seiring berjalannya waktu, kaum sofis sering dikonotasikan buruk, mereka dianggap mencari nafkah dengan mengajar para warga hanya untuk imbalan uang.

Di saat itulah sosok Joker muncul: Socrates.

Dalam beberapa kisah, Socrates merasa tidak sepenuhnya tahu segala hal yang harus diketahui, dia tidak juga acuh dalam masalah-masalah penting untuk kemudian tinggal diam. Maka dari itu, ia mencoba untuk tetap berupaya mencari kebenaran. “Pohon-pohon di daerah pedesaan tidak mengajarkan apa-apa padaku,” katanya.

Tindakan seperti ini sepertinya bagus untuk ditiru, terlepas setuju atau tidaknya kita dengan cara pandang pemikiran Socrates.

Membangun fondasi yang kuat dalam pengetahuan itu penting, supaya bisa membangun wawasan yang benar untuk kemudian melahirkan tindakan yang benar juga.

Di era yang serba menggemaskan seperti saat ini, tak sedikit individu yang secara sadar dalam perbuatannya sering juga berbohong, menipu, menjelek-jelekkan, atau bahkan dengan mudahnya mengkafir-kafirkan orang. Namun apakah individu-individu tersebut juga sadar bahwa hal itu tidak sepenuhnya dibenarkan atau tidak adil? Apakah mereka akan terus bersenang-senang dengan hal itu?

Ah, pada akhirnya saya pun harus berkaca untuk kemudian menertawakan diri sendiri. Sebenarnya tak banyak hal yang saya tahu. Saya hanya bisa membuat tulisan yang tidak juga memberikan pengetahuan lebih bagi para pembacanya.

Mengutip kalimat saktinya Socrates (yang pada akhirnya dihukum mati dengan minum racun), “hanya satu hal yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa”.

*Artikel ini pertama kali tayang di Qureta dengan judul dan isi yang sama, 20 November 2016

--

--

Geril Dwira

Jalan kaki di akhir pekan demi menjaga kewarasan di mamakota.