Becak, Jejak Roda Tiga dalam Sejarah Perjalanan Kota-Kota Nusantara
Kategori: Budaya Tradisional & Transportasi
by : Lumisight_Seven
Di antara modernitas yang menyapu kota-kota Indonesia, masih tersisa satu kendaraan yang bersuara lembut dan berjalan pelan: becak. Kendaraan roda tiga ini pernah menjadi primadona, penghubung antar sudut kota, pengantar belanjaan pasar, bahkan saksi bisu banyak peristiwa sosial. Tapi tahukah kita dari mana asal muasal becak?
Mari kita telusuri lebih dalam, bagaimana becak lahir, berkembang, dan menjadi bagian dari cerita panjang transportasi di Indonesia.
Asal Mula Becak: Dari Asia Timur Menuju Tanah Jawa
Asal usul becak bisa ditelusuri jauh ke abad ke-19. Konon, ide dasar dari kendaraan ini muncul di Jepang pada tahun 1869, dikenal dengan istilah jinrikisha (jin = manusia, riki = tenaga, sha = kendaraan). Wujudnya bukan becak seperti yang kita kenal sekarang, melainkan sebuah kereta dorong dua roda yang ditarik manusia dari depan.
Inovasi ini dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah Asia seperti Tiongkok, India, dan akhirnya ke Asia Tenggara. Di Tiongkok, bentuknya dimodifikasi menjadi becak kayuh, di mana pengemudi duduk di belakang penumpang dan mengayuh sepeda tiga roda. Dari sinilah bentuk becak yang kita kenal sekarang mulai terbentuk.
Diperkirakan, becak mulai masuk ke wilayah Hindia Belanda pada awal abad ke-20, terutama ke daerah pelabuhan besar seperti Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya. Awalnya digunakan secara terbatas oleh kalangan Tionghoa, namun kemudian menyebar luas menjadi alat transportasi rakyat.
Becak dan Kolonialisme
Di masa penjajahan Belanda, becak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kota. Ia menawarkan alternatif murah, fleksibel, dan efisien dalam menjangkau gang-gang sempit dan area pasar. Meskipun tergolong kendaraan rakyat kecil, becak ikut membentuk struktur ekonomi perkotaan.
Tukang becak saat itu sering diasosiasikan sebagai simbol keterpinggiran sosial, namun justru dalam posisi itulah mereka menjadi penggerak roda ekonomi informal kota. Kehidupan mereka keras, tapi juga penuh makna. Banyak dari mereka adalah pendatang dari desa yang mencari nafkah di kota, membawa serta semangat kerja keras dan ketekunan.
Salah satu pergeseran makna sosial becak adalah saat kendaraan ini mulai hadir dalam karya sastra dan film Indonesia. Becak tak lagi hanya dianggap sebagai kendaraan, tetapi sebagai metafora kehidupan rakyat kecil.
Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa becak menjadi simbol kesenjangan — namun juga menjadi ikon perjuangan rakyat dalam menghadapi modernisasi. Misalnya dalam novel-novel sosial seperti karya Pramoedya Ananta Toer, becak muncul sebagai bagian dari lanskap urban yang sarat konflik kelas.
Era Emas Becak: 1950–1970
Setelah kemerdekaan Indonesia, becak benar-benar menjadi raja jalanan. Di kota-kota besar, becak menjadi kendaraan utama yang mudah ditemukan di setiap sudut kota. Pemerintah kota bahkan sempat mendata jumlah becak dan mengatur perizinan serta jalur operasionalnya.
Di masa ini pula, bentuk becak mulai bervariasi. Ada becak Jawa dengan tempat duduk penumpang di depan, becak Makassar yang tempat duduknya di samping pengemudi, hingga becak khas Medan dan Padang yang memiliki bentuk unik sesuai dengan kondisi geografis dan budaya lokal.
Peran becak sangat vital. Ia mengantar anak sekolah, membawa ibu rumah tangga ke pasar, bahkan kadang difungsikan sebagai “ambulans darurat” saat akses rumah sakit terbatas.
Tergilas Modernisasi
Memasuki era 1980-an, posisi becak mulai tergeser. Kemunculan kendaraan bermotor seperti angkot, ojek, dan kemudian ojek online, mengubah peta transportasi publik. Becak dianggap lambat, menghambat lalu lintas, dan tidak sesuai dengan citra kota modern.
Pemerintah Jakarta bahkan secara resmi melarang becak beroperasi di banyak wilayah pada awal tahun 1990-an. Langkah ini memicu polemik sosial yang cukup besar, karena ribuan tukang becak kehilangan mata pencaharian. Di kota-kota lain seperti Bandung dan Surabaya, peraturan serupa juga diterapkan secara bertahap.
Namun di tengah tekanan itu, beberapa kota seperti Yogyakarta dan Solo justru mempertahankan becak sebagai bagian dari warisan budaya dan daya tarik wisata. Wisatawan mancanegara menyambut baik keberadaan becak, bukan hanya karena fungsinya, tapi karena pengalaman otentik yang ditawarkan.
Becak dalam Bingkai Budaya
Kini, becak tidak sekadar alat transportasi. Ia telah menjadi ikon budaya urban. Banyak seniman mengangkat becak dalam lukisan, fotografi, film dokumenter, hingga pertunjukan teater. Kehadiran becak dalam karya seni sering dimaknai sebagai kritik sosial atau nostalgia terhadap masa lalu.
Beberapa komunitas bahkan mulai menghidupkan becak sebagai kendaraan pariwisata berkelanjutan. Misalnya, di Yogyakarta terdapat rute tur edukasi dengan becak keliling kampung batik, situs sejarah, dan sentra kerajinan tangan.
Dalam diskusi komunitas budaya, disebutkan bahwa “becak adalah peradaban bergerak yang digerakkan oleh tenaga manusia dan dijalankan oleh keikhlasan.”
Menariknya, di tengah geliat kampanye ramah lingkungan, becak kini dilirik kembali sebagai kendaraan bebas emisi yang layak diintegrasikan dalam sistem transportasi hijau.
Kehidupan Tukang Becak: Dulu dan Sekarang
Perjalanan hidup tukang becak adalah cermin dari dinamika kota dan kebijakan pemerintah. Mereka adalah saksi sejarah yang ikut merasakan setiap denyut perubahan zaman. Dari rezim kolonial, kemerdekaan, Orde Baru, hingga era digital, tukang becak tetap setia mengayuh harapan di atas tiga roda.
Saat ini, sebagian dari mereka telah beralih profesi, sebagian lain bertahan dengan modifikasi kendaraan seperti bentor (becak motor), dan sebagian lagi menjadi bagian dari inisiatif pariwisata lokal.
Bahkan, di beberapa forum wacana sosial, muncul usulan agar pemerintah daerah mengakui peran tukang becak sebagai pekerja informal penting dan memasukkan mereka dalam sistem jaminan sosial.
Penutup: Becak dan Masa Depan
Becak mungkin tak lagi menjadi raja jalanan, namun ia tetap berkuasa di dalam ingatan. Ia adalah simbol ketekunan, kesederhanaan, dan kearifan lokal yang patut kita lestarikan.
Jika kita ingin mengenang nilai-nilai lokal yang bersahaja, maka mengingat kembali keberadaan becak adalah langkah kecil yang penuh makna. Ia mungkin pelan, tapi selalu bergerak — seperti kehidupan yang tak pernah berhenti meski penuh tantangan.
Dalam konteks budaya transportasi, kita perlu menyadari pentingnya mempertahankan identitas lokal seperti becak tradisional yang sarat nilai — bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena sejarah dan jiwa yang dikandungnya.
Seiring zaman berubah, kita tak bisa hanya bicara soal kecepatan. Terkadang, makna yang dalam justru datang dari perjalanan yang perlahan seperti roda becak yang mengayuh diam-diam namun pasti.
🏷️ Tag :
#sejarah #becak #transportasitradisional #kendaraanrakyat #budayaurban #tukangbecak #transportasi #ramahlingkungan #becakIndonesia #heritage #transport