Manusia adalah hewan yang berpikir

Giyanda Vernoval
5 min readMay 2, 2019

--

“A mind needs books like a sword needs a whetstone.” — Tyrion Lannister

“Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya. — Goethe”

Ketika saya membaca buku Jostein Garder yang berjudul Dunia Sophie, tertulis kutipan milik Goethe tersebut di halaman paling awal. Ia berkata “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Ketika membaca kutipan tersebut, nama yang muncul pertama kali di kepala saya adalah nama Seorang filsuf penting yunani kuno. Ia bernama Aristoteles — murid dari Plato yang juga murid dari Socrates si lalat Athena. Aristoteles pernah bilang kalau “manusia adalah hewan yang berpikir”.

Dari salah sedikit banyak pemikiran-pemikiran hebat Aristoteles, ia pernah bilang kalau setiap hal yang diciptakan di dunia ini memiliki fungsi sesuai keunikannya masing-masing. Contoh sederhananya bentuk pisau tidak sama dengan bentuk palu; pisau diciptakan dari logam pipih yang ujungnya sengaja dibuat tipis dan tajam. Tujuannya memang pisau diciptakan untuk membelah sesuatu. Kalau pisau diciptakan dengan bentuk tidak seperti itu — misalnya pisau tersebut terlahir dengan bentuk tumpul, maka fungsi dari pisau tersebut tidak akan tercapai. Sederhananya pisau tersebut gagal menjadi sebuah pisau. Kalau saya menjadi pisau tersebut, saya akan merasa sia-sia telah diciptakan.

Bagaimana dengan manusia? apa fungsi manusia yang sesuai dengan keunikan yang hanya dimiliki manusia saja? apakah fungsi manusia hidup hanyalah untuk makan? Jawabannya pasti bukan, karna hewan juga makan. Apakah fungsi manusia hanyalah untuk kawin? jawabannya juga pasti bukan, karna hewan juga kawin. Fungsi manusia hanya untuk bekerja? Semut juga bekerja. Jawaban yang paling tepat adalah manusia diciptakan dengan keunikan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu akal. Manusia harus menggunakan akalnya agar hidupnya tidak sia-sia seperti pisau yang tumpul tadi.

“Manusia adalah hewan yang berpikir”. kalau manusia tidak berpikir atau tidak menggunakan akalnya, maka yang tinggal dari manusia tersebut hanyalah hewannya saja. Begitu kata Aristoteles.

Saya baru sadar mengapa Cak Lontong kerap menyelipkan kata “Makannya mikir!”. Mungkin Cak lontong hanya ingin kita untuk menjadi manusia, sesederhana dan serumit itu.

Saya merasa ada yang kurang dengan pendapat aristoteles. Aristoteles tidak menambahkan perasaan juga keunikan dari manusia yang tidak dimiliki makhluk lain. Adolf Hitler sangat menggunakan akalnya. Mungkin dia salah satu hewan yang berpikir yang paling baik yang pernah dunia miliki. Begitu juga Cersei Lannister — salah satu karakter Game Of Thrones yang sekarang masih hidup dan masih menjadi karakter yang paling dibenci. Mereka sangat berakal. Tapi mereka kehilangan satu benda kecil yang penting dan hanya dimiliki manusia juga, yaitu perasaan. Apakah mereka berhasil menjadi manusia seperti yang di gambarkan Aristoteles? Saya rasa Drogon atau Ghost — Naga milik Daenerys dan Direwolf milik Jon snow — Berpeluang besar untuk menjadi manusia kalau begitu.

Menurut Plato — plato ialah guru dari Aristoteles. Ada yang salah dengan cara — orang-orang seperti Adolf Hitler ataupun Cersei — mereka berakal. Plato menggambarkan jiwa manusia seperti kereta yang ditarik dua kuda dan dikendalikan oleh seorang supir.

Menurut Plato ada tiga unsur jiwa manusia yang di analogikan seperti kereta kuda di atas:

  1. Kuda hitam (Epithumia)
    Menggambarkan nafsu-nafsu rendah yang sukar ditundukkan(hewani). Seperti makan,minum,uang dan seks. wilayahnya “perut kebawah”, jauh dari kepala.
  2. Kuda putih (Thumos)
    Wilayahnya dada sampai leher. menggambarkan nafsu-nafsu seperti kehormatan, pengakuan, gengsi, harga diri.
  3. Supir (Rasio/Logostikon)
    Wilayahnya ada di kepala. Menggambarkan pengetahuan dan akal. Mengapa dia di simbolkan sebagai supir? karna dialah yang memiliki kewajiban untuk mengendalikan kedua kuda tersebut. Akal lah yang harus mengendalikan nafsu atau kebutuhan yang diwakilkan setiap kuda-kuda tersebut.
  4. Sayap (Eros)
    Dari tiga unsur tersebut masing-masing punya eros; yang mendorong ketiga bagian jiwa tersebut agar dapat hidup. Eros biasa disebut sebagai hasrat atau cinta — diambil dari kata dewa eros yang berarti dewa cinta. Digambarkan sayap tujuannya eros ini membantu kereta kuda untuk terbang naik ke atas atau naik level. Menurut saya mungkin “perasaan” masuk di bagian ini. Kalau kereta kuda tersebut kehilang eros, maka kereta kuda itu pun akan jatuh. Supir juga wajib dan harus adil memberi makan kuda-kudanya. Mengiyakan nafsu-nafsu tersebut sesuai batas. Itu mungkin mengapa Pramoedya pernah bilang “Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran”

Akal lah yang memegang kendali dari semua unsur yang ada di kereta kuda tersebut agar kereta kuda tersebut mencapai tujuannya dengan selamat — yaitu untuk naik ke atas — menjadi manusia yang lebih manusia. Orang-orang seperti Adolf Hitler dan Cersei Lannister adalah orang-orang yang akalnya telah dikendalikan kuda-kuda tersebut. Dikendalikan nafsu-nafsu tersebut — seperti harta dan tahta — sehingga supir(akal)secara tidak sadar mengikuti tujuan nafsu-nafsu tersebut. Kereta kuda tadipun menjadi tersesat.

Saya banyak belajar dari membaca buku-buku Plato dan Aristoteles. Seperti kata Tyrion Lannister “A mind needs books like a sword needs a whetstone.” Akal butuh diasah dengan buku — seperti pedang butuh batu pengasah untuk menajamkan dirinya — untuk mengoptimalkan fungsi hidupnya sebagai pedang. Supir kereta tadi butuh dilatih agar tidak diperbudak kuda-kudanya. Itu mengapa kita butuh belajar berpikir.

Menurut saya akal adalah senjata. Belajar berakal seperti mengoleksi berbagai macam jenis senjata. Kalau kita hanya punya gunting, kita hanya bisa memotong kertas. Kita butuh gergaji untuk menebang pohon. Tapi kembali lagi kalau niat kita tidak lurus seperti Adolf Hitler dan Cersei Lannister, kita akan menyalahgunakan senjata tersebut, membunuh orang dengan gergaji misalnya.

Oh iya, hari ini negara saya sedang merayakan hari pendidikan nasional. Selama di sekolah dulu saya bertanya-tanya mengapa kita harus belajar rumus-rumus matematika, belajar sejarah,kewarganegaraan dan teman-temannya. Apa fungsinya itu semua di kehidupan? saya tidak menerima jawaban itu dari sekolah. Jawaban yang saya dapatkan adalah “Sudah pelajari saja” “sudah hapalkan saja yang ada di buku” — ini salah satu alasan mengapa saya dulu sempat tidak menyukai buku.

Saya pernah mendapat gelar juara kelas dulu karna modal menghapal itu. Tan malaka pernah bilang “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.” Miris sekali ketika saya sadar saya diberi apresiasi atas kebodohan saya.

Saya baru sadar kalau saya tidak diajarkan bagaimana caranya berpikir ketika sekolah dulu. Saya hanya diajarkan dan dilatih untuk bisa menjadi mesin.
Benar kata Haruki Murakami “The most important thing we learn at school is the fact that the most important things can’t be learned at school.”

“Di hari pendidikan nasional ini harapan saya sistem pendidikan tidak lagi menciptakan mesin-mesin pabrik. Tapi ciptakanlah manusia.”

Satu lagi, Milan kundera pernah bilang “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Setelah membaca kutipan Milan Kundera itu, saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya selama ini; “mengapa di negara saya buku-buku dijadikan ganjelan pintu,tatakan mouse dan bantal?”

--

--

Giyanda Vernoval

A mind without books is like a room without windows—your brain wont be able to breathe at all