Are Most Indonesians Functionally Illiterate?

Gianina Amadira
6 min readJun 28, 2018

--

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah temuan yang cukup menggelisahkan dari World Bank’s Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018 . Dalam publikasi tersebut, terdapat sebuah figur yang berjudul “Most Indonesians are functionally illiterate”, yang tergambar sebagai berikut :

Dalam figur yang datanya diambil dari PISA 2015 tersebut, kemampuan membaca terbagi menjadi 6 kategori, dengan level 1 sebagai level terendah, dan level 6 sebagai level tertinggi. Dapat dilihat dari figur diatas, bahwa mayoritas masyarakat Indonesia (55%) hanya menempati level 1. Tidak perlu muluk-muluk membandingkan dengan negara-negara OECD, dibandingkan dengan negara tetangga kita saja, Vietnam, kita masih jauh tertinggal. Mayoritas rakyat Vietnam memiliki kemampuan membaca pada level 2 dan 3, dan hanya 13.9% yang “tertinggal” pada level 1.

Karena penjelasan lebih lanjut mengenai figur tersebut yang cukup terbatas, saya mencoba mencari sumber lain terkait penelitian sejenis, dan menemukan sebuah survey yang sepertinya cukup kredibel. Survey ini berjudul “Survey of Adult Skills”, sebuah program yang dilaksanakan oleh OECD yang bertujuan untuk memetakan kemampuan orang dewasa di berbagai negara dalam 3 hal; literasi, kemampuan berhitung, dan problem solving. Dalam tulisan ini, saya akan membahas bagian literasi saja, walaupun hasil pada 2 kategori selanjutnya tak kalah mengkhawatirkan (laporan lengkapnya dapat diunduh di https://www.oecd.org/skills/piaac/Skills-Matter-Jakarta-Indonesia.pdf)

Survey tersebut dilaksanakan di Jakarta, dari bulan April 2014 hingga Mei 2015, dengan 7.229 responden berusia 16 sampai 65 tahun. Dalam penelitian ini, kemampuan literasi orang dewasa dibagi menjadi 6 level, yaitu level 1–5, dan below level 1 atau dibawah level 1, dengan penjabaran sebagai berikut :

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa 70% dari responden di Indonesia memiliki kemampuan literasi pada level 1 dan dibawahnya (below level 1), presentase yang sangat besar dan paling besar diantara negara-negara lain yang disurvey. Proporsi terbesar (32.1%) berada dalam kategori below level 1, dimana orang dewasa yang masuk ke dalam kategori ini hanya mampu membaca teks singkat dengan topik yang familiar baginya, dan hanya mampu menangkap satu buah pesan atau informasi dari teks tersebut. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan pada level ini, hanya dibutuhkan perbendaharaan kata yang sederhana, dan pembaca tidak harus mengerti struktur dari kalimat atau paragraf yang diberikan. Hanya 5.4% responden di Jakarta yang menempati level 3, dan hanya 1% yang menempati level 4 atau 5. Dengan hasil tersebut, Indonesia menempati posisi buntut dari 33 negara yang disurvey.

Membaca temuan ini seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang perilaku kita sebagai netizen Indonesia saat berselancar di internet. Berdasarkan pengamatan saya pada konten-konten yang diterbitkan di berbagai jenis media sosial beserta kolom komentarnya, masih banyak sekali masyarakat kita (bisa jadi termasuk saya sendiri) yang belum dapat :

  1. Mengambil kesimpulan atau inti dari suatu paragraf
  2. Membedakan opini dan fakta
  3. Menangkap penggunaan metafora, majas hiperbola, dan majas-majas lainnya
  4. Membedakan tulisan yang objektif, dan yang berpihak secara tidak proporsional
  5. Membedakan hoax dan artikel yang berasal dari sumber yang valid

dsb, dst.

Alhasil, tak jarang kita dapati komentar-komentar yang tidak nyambung dengan artikel, argumen-argumen tak berdasar, pertengkaran karena sesuatu yang sebenarnya tidak jelas apa yang diperdebatkan, dan tulisan-tulisan yang penuh dengan logical fallacy. Jika argumen telah tersudut, seringkali orang berbalik menyerang personal, atau menggunakan kalimat pamungkas seperti “banyak-banyak belajar lagi ya mas…”

Saat masih sekolah dulu, saya seringkali memandang sebelah mata pelajaran Bahasa Indonesia, dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, saya berpikir, jangan-jangan justru pelajaran berbahasa itulah yang lebih penting, dibandingkan fisika dan kimia yang mungkin sebagian dari kita tidak pernah memakainya lagi. Orang-orang dengan kemampuan berbahasa yang rendah sangat rentan untuk diprovokasi, diadu domba, dan dibodohi. Keterbatasan kemampuan membaca juga membatasi kita dari berbagai macam ide dan gagasan yang ada di dunia, dan dapat membuat kita menjadi orang yang berpikiran tertutup. Sebaliknya, kitapun juga kehilangan kemampuan untuk mengkritisi gagasan-gagasan yang dibawa dari luar, dan dengan mudahnya menerima gagasan-gagasan tersebut asalkan ia dibungkus dengan manis, walaupun belum tentu itu baik bagi kita.

Satu hal lagi yang mengkhawatirkan bagi saya adalah penelitian di atas dilakukan di Jakarta, ibukota negara yang dapat diasumsikan lebih maju dibandingkan daerah-daerah lainnya. Jika di Jakarta saja hasilnya seperti itu, bagaimana dengan di daerah-daerah lain yang lebih terpencil dan memiliki akses pendidikan yang lebih terbatas?

Saya teringat akan sebuah artikel yang ditulis oleh Elizabeth Pisani (dapat dibaca di http://www.insideindonesia.org/a-nation-of-dunces). Artikel tersebut menyoroti tentang rendahnya keterampilan dasar murid-murid di Indonesia, baik dalam berhitung maupun membaca. Salah satu akar masalahnya, menurut Pisani, adalah “Too many teachers, too little teaching”. Banyaknya jumlah guru di atas kertas, namun sedikitnya kegiatan belajar mengajar yang terjadi secara aktual di dalam kelas. Dari pengalamannya melakukan penelitian di suatu wilayah terpencil di Sulawesi, tidak ada satupun guru yang masuk mengajar pada hari ia kebetulan berkunjung, walaupun para siswa yang jumlahnya sekitar 100 orang sudah berkumpul. Dalam sebuah studi di dataran tinggi Papua, 7 dari 10 kepala sekolah tidak berada di sekolah pada saat para peneliti berkunjung, dan separuh dari guru-guru yang terdaftar tidak hadir.

Melihat fakta-fakta di atas, yakinkah kita bahwa bonus demografi yang katanya akan terjadi pada 2030 itu akan menguntungkan bagi kita? Mendapatkan jutaan tambahan penduduk tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas dan perencanaan pendidikan yang matang bisa jadi justru menjadi bumerang bagi kemajuan kita sebagai bangsa.

Sumber : www.eurekapendidikan.com

Masih Ada Harapan

Terlepas dari semua data diatas yang terdengar cukup memprihatinkan, sebenarnya masih ada secercah harapan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Statistik nasional menyebutkan bahwa angka partisipasi sekolah untuk anak 13–15 tahun meningkat dari 88% di 2011 menjadi 95% di 2015. Hal ini perlu diapresiasi, mengingat bukan hal mudah menyekolahkan jutaan anak Indonesia yang tersebar di ribuan pulau, dengan tantangan lokalnya masing-masing.

Dari segi kualitas, menurut hasil PISA pada tahun 2015, dalam bidang sains Indonesia merupakan negara tercepat kelima dalam melakukan perbaikan dari 72 negara yang dibandingkan sejak tahun 2012 hingga 2015. Dalam bidang matematika, Indonesia merupakan negara yang melakukan perbaikan terbesar dari tahun 2003 hingga 2015.

Namun demikian, skor PISA Indonesia masih dibawah prediksi untuk sebuah negara dengan pendapatan perkapita selevel ini. Menurut perkiraan World Bank, jika Indonesia tetap mempertahankan laju peningkatan kualitas pendidikan seperti beberapa tahun terakhir, maka dibutuhkan waktu 50 tahun untuk menyamai skor negara-negara OECD dalam kemampuan berhitung, 69 tahun untuk kemampuan membaca, dan 134 tahun untuk sains.

Berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya dengan peningkatan alokasi dana pendidikan, program peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum yang memacu daya berpikir kritis, dan lain-lain. Namun demikian, perlu kita sadari bahwa untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain di era yang semakin mengglobal ini, perbaikan tidak cukup dilakukan hanya dengan berjalan atau bahkan berlari. Perlu sebuah lompatan inovasi untuk menyelesaikan persoalan ini secara tepat waktu, sebelum bom waktu itu meledak. Perbaikan tidak bisa lagi dilakukan secara gradual, melainkan harus secara eksponensial.

Saya sangat mengapresiasi munculnya berbagai start-up dan inovasi di bidang pendidikan. Sudah saatnya kita melupakan cara-cara lama, dan memanfaatkan era teknologi dan informasi ini untuk memberikan terobosan bagi berbagai isu pembangunan. Adalah pekerjaan rumah kita semua untuk sama-sama berpikir dan mencari cara untuk mengelevasi proses perbaikan ini, agar pada waktunya Indonesia dapat menjadi bangsa dengan sumber daya manusia yang tidak hanya unggul secara kuantitas, tapi juga kualitas.

--

--