Melawan Privatisasi Pendidikan dan Sesat Pikir Vincent Ricardo

Muhammad Adrian Gifariadi
7 min readMay 5, 2017

--

Balasan untuk tulisan Vincent Ricardo yang dimuat di: http://numbers.id/2017/05/04/mendukung-komersialisasi-pendidikan-tinggi-dan-sesat-pikir-michael-j-sandel/

“Jadi bagaimana universitas-universitas tersebut memiliki kualitas yang tinggi? Jawabannya sederhana, dengan logika pasar” — Vincent Ricardo

Pertama-tama, izinkan saya mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya terhadap kawan Vincent Ricardo. Tanpa tulisannya, saya mungkin tidak akan tahu — dan tidak akan pernah membaca — karya-karya Michael J. Sandel. Oleh karena itu, saya anggap bahwa kritik kawan Vincent terhadap kawan Sandel benar adanya — untuk sementara ini. Yang hendak saya sorot dalam tulisan ini adalah pernyataan dan anggapan menggelikan soal pendidikan tinggi dalam tulisan kawan Vincent.

Sebagai pemaparan singkat serentetan pernyataan dan informasi menarik yang irrelevan, tulisan kawan Vincent sangat berguna. Kegunaan tulisan tersebut, sayangnya, berhenti disitu.

Dalam tulisannya, kawan Vincent memberikan tiga alur argumen utama untuk mendukung privatisasi pendidikan. Pertama, mekanisme pasar dan insentif keuntungan meningkatkan kualitas universitas. Kedua, bahwa pembayar pajak (taxpayer) tidak perlu membiayai pengeluaran publik. Ketiga, pinjaman mahasiswa (student loan) dapat menjadi alternatif mendapat pendidikan tinggi yang terjangkau.

Dalam ranah teoretik, maupun pembuktian empiris, ketiga argumen yang dipaparkan kawan Vincent rupanya sesat pikir. Mari kita bahas satu persatu.

Memahami mekanisme pasar

Ekonomi neoklasik menyamakan persaingan pasar dengan perbaikan kualitas. Asumsinya, pasar yang kompetitif secara inheren memberi insentif bagi pelaku pasar untuk bersaing dan memperbaiki kualitas. Kunci dari pemahaman ini adalah sifat rasional pelaku pasar — baik konsumen dan produsen — yang memiliki ketersediaan informasi sempurna untuk membuat keputusan berdasarkan kualitas barang dan jasa yang ditawarkan.

Dalam hal ini, ekonomi skala nasional sekalipun beroperasi dengan bagai pasar tradisional — atau bayangan utopis daripadanya; konsumen dan calon konsumen bisa berpindah dan memilah barang dagangan berdasarkan harga dan kualitas semata. Sistem pasar ini dapat meregulasi diri sendiri: Gerak dan gaya pasar secara pasti menuju suatu general equilibrium, dimana persediaan dan permintaan barang dan jasa setara. Kawan Vincent mencoba mengaplikasikan skema ini pada sektor pendidikan tinggi nasional.

Menurut kawan Vincent, pendidikan adalah komoditas yang pasti mematuhi hukum pasar.

Namun apakah benar demikian? Pertama, tidak seperti komoditas primer, seperti jasa transportasi atau sayur, pendidikan tinggi memiliki RoI (Return of Investment) pada jangka waktu yang cukup lama. Gratifikasi konsumen dari “membeli” pendidikan tinggi hanya bisa digunakan secara efektif setelah wisuda, atau setelah memegang gelar sarjana; dimana lulusan tersebut dapat kemudian terjun ke pasar kerja. Pengeluaran pribadi pada pendidikan tinggi tidak memutar roda ekonomi oleh akibat RoI yang lama tadi.

Hal ini berarti bahwa pada umumnya ada jangka waktu “kontrak” selama 4 tahun antara tenaga pendidik dan konsumen pendidikan. Artinya, informasi yang dimiliki konsumen dalam menentukan pilihan pendidikannya secara intrinsik terbatas waktu dan ketidakpastian masa depan. Pergerakan gaya pasar di pendidikan tinggi setelah liberalisasi pun terbilang lambat dan kaku. Potensi dari liberalisasi pendidikan tinggi bukan menciptakan pendidikan tinggi yang lebih dinamis, melainkan menaikkan biaya dan ketidakpastian berlangsungnya pendidikan itu sendiri. Mengenyam bangku kuliah selama satu atau dua semester saja tidaklah memiliki nilai di pasar kerja. Dengan mekanisme pasar sekalipun, pilihan pendidikan konsumen jauh dari optimal.

Kedua, institusi pendidikan tinggi, sebagaimana badan-badan pendidikan lainnya juga merupakan produsen informasi dan pembentuk opini. Sebagai institusi budaya, pendidikan tinggi tidak melulu beroperasi di ranah rasio; sebaliknya, pendidikan tinggi turut memengaruhi apa yang kita sebut akal dan persepsi. Universitas, sebagaimana media dan institusi budaya lainnya, secara inheren memonopoli informasi. Liberalisasi hanya akan membuat pangsa-pangsa monopoli di jalinan tenun budaya masyarakat.

Lantas mungkinkah seorang Gilbert atau Alex membuat keputusan yang seratus persen rasional, yang tidak mengindahkan subjektifisime dari informasi itu sendiri? Tentu tidak. Kenyataannya, apabila kondisi pasar yang optimal adalah ketersediaan informasi objektif secara setara, kondisi itu sama sekali tidak ada dalam sektor pendidikan dunia.

Universitas-universitas di Indonesia, baik PTN maupun swasta, mengejar suatu pasar calon mahasiswa yang terpetak-petak oleh lokasi, budaya, agama dan tradisi. Ketika menghadapai persaingan, jauh lebih mudah bagi universitas untuk mengamankan pangsa tersendiri daripada meningkatkan mutu dan isi. Fakta bahwa universitas sendiri berperan dalam pembentukan persepsi dan opini menafikan adanya pasar bebas dan kompetitif yang sehat dalam ranah pendidikan tinggi.

Student Loan: Sebuah solusi?

Namun apakah hal ini membenarkan praktek Student Loan, atau pinjaman mahasiswa? Dalam tulisannya, kawan Vincent memberikan analogi antar dua mahasiswa: Gilbert dan Alex, serta memaparkan biaya kuliah di FHUI yang berkisar antara 5 hingga 30 juta. Analogi ini cacat. Biaya kuliah yang demikian sudah disubsidi negara — hingga kini, pemerintah mensubsidi setidaknya 2/3 biaya operasional PTN.

Apabila diaplikasikan ke dunia nyata, Alex mungkin harus meminjam lebih dari 15 juta per semesternya oleh akibat dari ketiadaan subsidi langsung pemerintah dalam skema pasar pendidikan yang telah diliberalisasi. Apakah “kebebasan” Alex memperhitungkan RoI nya sepadan dengan putusnya akses dia terhadap pendidikan tinggi?

Terlebih lagi, praktek Student Loan, yang selama ini dikenal di Amerika Serikat dan Inggris Raya memiliki banyak cacat. Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah federal menyediakan Student Loan bagi para mahasiswanya. Akibatnya, universitas swasta pun berlomba-lomba menaikkan biaya kuliah, karena daya beli mahasiswa disubsidi negara.

Efeknya, mahasiswa lulus dengan hutang yang bertumpuk, sehingga daya beli nyata mereka beberapa tahun setelah lulus pun mengalami penurunan. Student Loan mengerdilkan daya beli dan skala ekonomi, bukannya membantu mahasiswa mencapai “kebebasan”. Bukankah ini bentuk kapitalisme kroni yang paling keji?

Rekonsiliasi pasar dan pendidikan tinggi

“Ada dua jalan yang dapat dilakukan untuk mencapai pendidikan murah. Yang pertama, para pengajar dipaksa melakukan kerja rodi, tanpa insentif dan tanpa pamrih. Yang kedua adalah orang-orang lain dipaksa untuk membayar biaya kuliah melalui pajak.” — Vincent Ricardo

Saya rasa adalah seuatu kesia-sian untuk mengutip atau merumuskan suatu pembenaran filosofis dan moral atas penarikan pajak. Toh, misalnya, apabila kita menggunakan pembenaran ala Mills, Rawls dan Polanyi untuk mendukung perpajakan, sudah ada puluhan kutipan Mises dan Hayek untuk menjegal dan mengritik definisi yang kita berikan. Biarkan saya disini berasumsi: Pendidikan sepantasnya dianggap sebagai Social Overhead Capital.

Pada umumnya, istilah Social Overhead Capital merujuk pada infrastruktur yang menunjang dan memfasilitasi berlangsungnya aktivitas perekonomian. Ini mencakup jalan raya, rel kereta, jalur telepon, dan pembangkit daya. Walau begitu, disini definisi Social Overhead Capital juga bisa meliputi berbagai keperluan dasar yang esensial dalam berlangsungnya aktivitas pertukaran pasar bebas.

Pasar sepatutnya dimengerti bukan sebagai dorongan inheren manusia untuk berkompetisi, melainkan suatu institusi sosial yang membutuhkan penunjang dan pelengkap untuk memastikan keberlangsungan dirinya. Pertukaran barang dan jasa dengan medium uang, misalnya, tidak bisa terjadi apabila uang tidak dicetak dan diakui, atau bila tidak ada tempat bagi para penjual dan pembeli untuk bertemu, menawar harga, dan bertransaksi. Ini berarti bahwa pasar bukan suatu gaya monolitik yang bebas dan surgawi, melainkan konstruksi yang dibangun atas kesepakatan bersama dalam masyarakat, lengkap dengan hal-hal penunjangnya: akses terhadap informasi, jalan, dan uang.

Pendidikan formal adalah salah satu institusi yang menunjang dan memudahkan aktivitas pasar.

Agar pasar bisa beroperasi dengan cair dan efisien, dibutuhkan pelaku pasar yang memiliki akses informasi, tenaga kerja yang terlatih, serta kepastian atas kebutuhan hidup yang primer. Pelaku pasar, misalnya, harus bisa mengenali dan menghargai uang dan nilai barang itu sendiri apabila pasar diharapkan berfungsi. Pendidikan adalah prasyarat untuk berpartisipasi dalam pertukaran pasar.

Agar kompetisi yang sebebas-bebasnya dapat terjadi di pelbagai sektor ekonomi, dibutuhkan akses ke informasi dan cara pikir yang lebih tinggi — cara pikir yang tersedia di pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi menyediakan jalur mobilitas sosial yang mempersiapkan manusia menjadi pelaku pasar kompetitif yang sejati.

Oleh karena itu, pajak yang digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi bukanlah tindakan si negara pencuri. Pembiayaan pendidikan tinggi oleh negara adalah investasi Social Overhead Capital oleh publik dengan maksud melanggengkan keberlangsungan pasar yang bebas dan kompetitif. Tanpa investasi ke institusi-institusi penunjang pasar, apakah kita bisa berharap bahwa pasar bebas benar-benar berfungsi, dan bukannya jatuh ke relung kapitalisme kroni oleh akibat dari ketimpangan informasi?

Kesimpulan

Lantas apa yang sebenarnya tercapai dengan liberalisasi pendidikan tinggi? Yang terjadi bukan terbukanya akses pendidikan ke semua orang, melainkan pemusatan tenaga pengajar, karya ilmiah, dan daya intelektual pada sejumput universitas elit, dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Liberalisasi pendidikan tinggi mengurangi kesempatan rakyat biasa untuk mengenyam pendidikan tinggi, meraih kesempatan kerja dan berjuang demi mobilitas sosial.

Peran pemerintah, sebagaimana diakui Undang-Undang №12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, adalah “bahwa mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis[1];”

Peran ini tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar, yang secara intrinsik mengungkung calon mahasiswa dalam keterbatasan daya beli.

Pun yang lebih lucu lagi, kawan Vincent mengutip sejumlah publikasi, terutama THE World University Rankings, untuk membuktikan “keunggulan” privatisasi perguruan tinggi. Apabila kita meminjam “metodologi” yang digunakan kawan Vincent untuk “menganalisa” keunggulan perguruan tinggi, 10 Universitas Terbaik di dunia berdasarkan sistem ranking yang sama ternyata mencakup 6 universitas negeri (public university) dan 4 universitas swasta (private university). Data ini toh masih inkonklusif — tapi cukup jelas bahwa jawabannya tidak sesederhana “logika pasar”.

Sesat pikir kawan Vincent adalah gejala dari pemahamannya akan pasar yang inkonsisten dan membingungkan. “Mendukung Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Sesat Pikir Michael J. Sandel” ditulis dengan asumsi bahwa 1) pasar pendidikan di Indonesia secara inheren adil, bebas, dengan ketersediaan informasi yang tak bersekat dan tak berbatas, 2) pengeluaran di bidang pendidikan menggerakkan ekonomi pasar, dan 3) Mekanisme pasar dapat menaikkan kualitas pendidikan tinggi (baca: memusatkan tenaga pengajar ahli di beberapa universitas elit) tanpa mengurangi akses orang lain mengecap pendidikan. Dilihat dari lensa pro-pasar sekalipun, argumen yang dituangkan pada tulisan tersebut hanya menawarkan stereotipe dan korelasi data yang patut dipertanyakan.

Amat disayangkan bahwa tulisan kawan Vincent belum bisa memberikan kontribusi yang berarti pada debat mengenai ketersediaan dan keterjangkauan pendidikan tinggi. Alih-alih mempelajari bukti-bukti empiris dan kajian yang relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, kawan Vincent memilih untuk memaparkan rasionalisasi abstrak kemahabesaran pasar bebas dan segala yang mengalir daripadanya.

Yang patut dikritik adalah tendensi untuk mereduksi permasalahan kompleks menjadi dua kata: “Pasar Bebas”. Dengan demikian, posisi kawan Vincent selaku penulis “Mendukung Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Sesat Pikir Michael J. Sandel” patut dipertanyakan: Apakah penulis benar-benar mendukung pasar bebas, sebebas-bebasnya, atau sekadar kapitalis kroni pendukung kebijakan yang akan membatasi akses pendidikan penduduk Indonesia?

Ditulis oleh Muhammad Adrian Gifariadi, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Referensi

Esping-Andersen, Gøsta, ed. Welfare States in Transition: National Adaptations in Global Economies. Sage, 1996.

Hayek, Friedrich August, and Bruce Caldwell. The Road to Serfdom: Text and Documents: The Definitive Edition. Routledge, 2014.

“Tekan Biaya Kuliah Mahal, Pemerintah Harus Subsidi PTN : Okezone News.” Okezone Kampus. Okezone.com, 13 June 2015. Web. 05 May 2017.

Polanyi, Karl. The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Beacon Press, 2001.

Ricardo, Vincent. “Numbers ID | Mendukung Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Sesat Pikir Michael J. Sandel.” Numbers.id. Numbers.id, 04 May 2017. Web. 05 May 2017.

[1] Undang-Undang №12 Tahun 2012

--

--